Namaku Diva, Diva Kurnia Dwi Cahyani. Aku tinggal di Kota Surabaya, Jawa Timur. Kedua orang tuaku meninggal lima tahun yang lalu. Mereka meninggal dalam kecelakaan Pesawat salah satu maskapai penerbangan. Sekarang aku hidup sendiri. Aku bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang bergerak dibidang garmen di kota ini. Aku bekerja dari pagi hingga pukul empat sore. Setiap hari aku menjalaninya selama empat tahun terakhir.
   Letih rasanya. Aku ingin mencari pekerjaan lain. Pekerjaan yang tidak membuat aku merasa terikat dan tertekan. Saat ini semua tugasku harus selesai sesuai deadline. Kadang aku juga ingin liburan sebagaimana karyawan-karyawan yang lain. Namun itu tidak pernah aku rasakan.
  Aku bekerja seperti mesin yang tidak pernah berhenti, bukan hanya di kantor, di apartemen tempat tinggalkupun, aku masih dijejali oleh pekerjaan kantorku. Sebentar-sebentar bos menelponku untuk menyelesaikan pekerjaan kantor yang baru. Ingin rasanya aku menolak pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepadaku. Aku berpikir tampaknya ada manajemen yang salah di kantor, mengapa semua pekerjaan sepertinya dibebankan kepadaku.
   Pagi ini aku terbangun kelelahan. Aku tidak tahu pukul berapa Aku tertidur tadi malam, yang jelas aku menyelesaikan semua laporan yang diminta Bos, laporan itu harus selesai malam tadi dan harus segera dikirim.
   Tatapan mataku tertuju kepada jam dinding yang ada di kamarku. Ternyata sudah pukul 07.45. Divaaa!! kamu Terlambaat!!, teriakku, Aku bergegas menuju kamar mandi, berkemas, dan segera berangkat ke kantor.
***
   Dengan Langkah sedikit cepat, aku menuju ruangan ku, Orang-orang menatapku aneh. Yeni teman dekatku juga hanya melongok melihatku. Mengapa terlihat sedikit berbeda, gumamku. Ya, mungkin karena aku terlambat, tapi mengapa mereka menghukumi aku seperti ini, padahal baru terlambat sekali, pikirku.
   Tiiiit, bunyi bel panggilan dari Ruangan bos. "Bu Diva Tolong Ke Ruangan" Kata Bos. Aku segera menuju ruangan Bos. Pikiranku langsung menuju kepekerjaanku tadi malam, mungkin banyak yang tidak sesuai, atau karena aku terlambat datang ke kantor pagi ini.
   "Bu Diva", kata Bos memulai pembicaraan, "Ya Pak", Aku menyahut sambil tertunduk. Kakiku mulai bergetar aku takut Bos marah padaku. Siapa yang tidak mengenal Pak Bimantoro, orang terkaya di kota ini, dan dia juga salah satu dari 50 orang terkaya di Indonesia persi Majalah Forbes, memiliki banyak perusahaan, sahamnya dimana-mana, orangnya tegas, sudah banyak karyawan yang tak disiplin dipecatnya.Â
   Suasananya begitu menegangkan, lidahku kelu tapi aku harus mendahului pembicaraan sebelum Pak Bimantoro melanjutkan perkataannya, kupaksa mengeluarkan apa yang ada dalam benakku. "Pak, Diva minta maaf, laporan yang Diva buat, mungkin banyak yang tidak sesuai, Diva Akan perbaiki, dan pagi ini Diva terlambat, ini kesalahan Diva Pak, mohon dimaafkan." Aku berbicara dengan cepat. Aku takut nasipku sama seperti Sindi. Sekertaris sebelumnya yang dipecat karena salah membuat laporan dan merugikan perusahaan.Â
Tatapan mata Pak Bimantoro begitu tajam, akupun menunduk, "Bu Diva, kamu harus keluar dari kantor ini" Tegasnya. Badanku mulai menggigil, keringat dingin terasa menyeruak di sekujur tubuhku. Tak sadar air mataku mengalir. Pupus sudah harapanku, akankah aku mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik dari pekerjaanku sekarang, walaupun aku kadang mengeluh namun aku cinta pekerjaanku, aku mencoba memelas "Apa Diva tidak bisa bekerja lagi pak, Diva akan perbaiki kesalahan Diva", tandasku.
"Tentu saja tidak bisa Bu Diva, Bu Diva tidak bisa bekerja di kantor ini lagi, karena Bu Diva harus bekerja memimpin anak Cabang Perusahaan kita yang di Jakarta. Aku mengangkat kepala melihat Pak Bimantoro, semula aku tak mengerti namun dia mempertegas, "Bu Diva, perusahaan kita yang di Jakarta membutuhkan pimpinan yang tekun, jujur dan beintegritas, dan orang yang tepat menurut saya, adalah Bu Diva. Saya sangat tahu kinerja Bu Diva, Saya yakin perusahaan kita akan semakin pesat, jika anda yang memimpinnya. Selamat Bu Diva, Direktur baru".Â
****
   Seakan tak percaya, tambah deras air mataku mengalir, hampir habis tisu diatas mejaku untuk mengeringkan air mata ini. Namun tak kunjung berhenti. Jangan di tanya bagaimana perasaanku saat ini. Rasanya benar-benar tak bisa aku ungkapkan. Bahagia tak terkira.Â
  Ternyata Bos hanya mengujiku. Aku sudah berburuk sangka kepadanya. Pak Bimantoro orang yang sangat baik. Ingatanku menuju lima tahun yang lalu waktu Papa dan Mama masih hidup. Pak Bimantoro ke rumah. Dia yang membantu menyelesaikan masalah almarhum Papa waktu itu. Papa difitnah Mark Up dana hibah dari slah satu perusahan di Jepang oleh Pak Tedy, teman kantornya. Kasian papa tidak tahu tentang dana itu, tapi dia yang terjerat.Â
  Lamunanku terhenti mendengar ketukan dari balik pintu ruanganku. Cepat-cepat Aku bersihkan sisa air mataku. "Ya..., silahkan masuk." Kataku. Ternyata Pak Bimantoro. Aku bergegas berdiri. " Ya Pak...," Jawabku sambil membungkukkan badan. "Bu Diva, anda bisa berangkat sore ini, tiket sudah ada di Bu Yeni. Bu Diva, perusahaan juga sudah menyediakan apartemen untuk anda di Jakarta, Bu diva tinggal menghubungi sekretaris Bu Diva, Pak Rudy namanya", Pak Bimantoro sedikit mendekat dan bersuara lirih, "Orangnya ganteng dan masih lajang." Pak Bimantoro tersenyum dan berlalu pergi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H