Mohon tunggu...
ridha clasnita
ridha clasnita Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Apa Kamu Belum Kapok dengan Penyesalan?

4 September 2016   06:56 Diperbarui: 4 September 2016   08:14 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Penyesalan selalu hadir di akhir, kalau di awal namanya pembukaan”, kalimat yang sedari dulu terucap dari tetua-tetua dalam hidupku, terutama ayahku dan guruku. Awalnya kalimat itu adalah kalimat biasa yang tak kuhiraukan bagaimana efeknya kelak. Menurutku kalimat itu hanyalah kalimat fiktif yang hanya menakuti masa bermainku seharian penuh. Hanyalah hantu yang hanya ada dalam sinetron yang tak pernah terbukti kehadirannya.

“Masa bermainku”, ya aku sangat mencintai masa itu. Dalam hariku yang aku butuhkan hanyalah bermain sampai lapar lalu makan lalu main lagi sampai lelah dan akhirnya tertidur lalu berganti hari dan dimulai dari bermain lagi. Aku sangat ingat sekali  mainan yang paling aku sukai adalah bongkar pasang, adalah mainan yang terbuat dari kertas setebal sampul buku tulis lalu terbentuk gambar-gambar lucu berupa gadis berbi dengan pakaian dan segala aksesorisnya yang menggemaskan. 

Yang kedua adalah pasar-pasaran, mainan yang sangat lazim di kalangan putri kecil. Bermain dengan daun, air, kaleng susu bekas, pisau, lalu diramu seolah menjadi makanan yang lezat dan sedap. Hahaha, tak ada lucunya mainan itu semua namun selalu terngiang dalam pikir. Ketika tangan harus tersayat pisau, kulit yang tiba-tiba gatal karna tak tahu ada ulat bulu di daun, kadang marahan dengan teman karna merusak pasar-pasaran.

Masa itu berjalan cukup lama. Hingga aku harus sering mendapat omelan dari ayah karna aku jarang berlajar. Membuka buku hanya diwaktu mengerjakan PR dan disekolah. Selain itu aku rasa tidak perlu. Aku ingat sekali sepanjang hari ayah memarahiku, dengan suara yang tegas mata melotot. 

Aku ingat sekali rautnya, matanya hampir tidak berkedip udara disekelilingnya hampir tak dihirup. Saat itu juga aku takut tiba-tiba saja ayah lupa bernapas dan lupa bagaimana cara bernapas. Namun akulah yang kala itu harus termehek-mehek menghirup udara, karena tangisku yang sudah tak terbendung. Air mata lumer keseluruh muka, ingus mbeler kebawah hingga melintasi bibir. Terasa asin, entah itu rasa air mata atau ingus.

“Baca, baca, baca rid! Kamu tahu kenapa ayah beri kamu nama ridha?”

Aku menggeleng.

“ketika ayah atau ibu atau orang lain (atau Tuhanmu) memanggilmu rid, ayah berharap itu adalah doa untukmu, agar kamu gemar membaca”

“gak nyambung yah” jawabku terputus-putus

“bahasa inggrisnya baca read, cara bacanya itu rid”

“kamu nanti menyesal nak, inget-inget omongane ayah iki”

Itulah penggalan kalimat yang kuingat. Sering sekali ayah menyebut kalimat yang terakhir itu ketika memarahiku. Seribu kalimat itu tak mampu menyadarkanku dari kecanduan bermainku. Hingga tibalah disuatu hari, ketika aku membutuhkan banyak ilmu. Membutuhkan banyak buku untuk kubaca, bukan kubakar. 

Ya, aku terjatuh dari segala kesenangan bermainku. Sakit sekali rasanya. Seperti mendaki gunung lalu melangkah keawan lalu dijatuhkan awan gelap bersama banyak rintik hujan.  Saat itu juga aku ingin sekali menarik segala masa bermainku itu, dan ingin kuganti dengan segala macam buku dan ilmu. Dunia, dunia. Aku harus sadar dunia ini tidak menyuguhkan mimpi tanpa perjuangan, dunia ini tidak menyuguhkan pesona tanpa usaha. Ingin melihat bagaimana bumi terhampar, namun tak mau mendaki gunung. Ada gambar namun terasa hambar, tak berasa nikmat ketika sudah dipuncak.

Penyesalan itu membawaku atas kesadaran yang harusnya tumbuh di jauh-jauh hari. Penyesalan itu membawa luka atas pembunuhan yang dilakukan waktu kepadaku. Sebenarnya waktu tak kan membuhku jika saja aku berbaik kepada masa depanku-kala itu-.

Aku sadar, sederas apapun tangisku tak kan mungkin menggantikan air di sungai brantas. Dan tak kan mungkin mengubah air kotor menjadi air bersih, atau memenuhi kebutuhan air bersih di daerah timur sana. Maka dari itu, karena sesalku ini belum terlalu terlambat sehingga aku masih diizinkan masuk kelas sama guru BK. Dari sesal ini aku harus bisa membayar segala kekurangan ilmu dan bukuku. Walau ngebut dan banyak mblayer-mblayer, aku harus berproses dan terus berjuang.

Nah, inilah kisah sesalku yang sangat mendalam. Jangan pernah coba-coba karena hal ini tidak untuk dicoba. Aku menulis, karena keprihatinanku atas masih banyak anak yang sangat masa bodoh dengan masa mudanya. Mungkin tulisan ini amat bodoh atau tidak penting bagi kalian. Tapi ini sangat penting bagiku, karena aku sayang kalian. 

Cukup sekian cerita dariku, karena aku kebelet pipis. Beruntunglah hanya kebelet pipis, kalian setelah baca ini jangan kebelet nikah karena nggak nyambung. Ilmu dan buku tetaplah nomor satu, kalau yang kebelet nikah taruhlah di nomor dua. Karena nikah itu juga butuh ilmu, biar nggak nikah cerai nikah cerai. Udah ya, selamat kebelet. (Kebelet cari ilmu dan buku)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun