Sudah hampir sepuluh bulan lamanya, aku menghabiskan waktuku dalam rumah. Amarah, putus asa, rasa benci pada tuhan, rasa benci pada diri sendiri sudah tertanamkan dalam diriku. Aku berpikir, untuk apa aku keluar rumah? Untuk apa aku bersosialisasi dengan orang sekitar? Untuk apa aku melakukan terapis? Apabila penyakit kanker ini tetap tinggal dalam tubuhku. Satu hal, aku tidak percaya akan keajaiban. Begitupula dengan Tuhan.
Selama hampir sepuluh bulan aku mempekerjakan seorang perawat dirumahku. Tentunya untuk mengurusi diriku yang tidak berdaya ini. Keseharianku hanyalah berbaring di tempat tidur, menonton acara televisi, makan, dan melakukan pengobatan. Aku sudah tidak memiliki rambut. Kerontokan ini membuatku harus mencukur rambutku hingga habis. Akan tetapi perawatku tetap patuh mengurusiku. Meskipun aku tidak memiliki rambut, dia tetap saja memijat dan mengeramasi kulit kepalaku. Tapi terkadang aku menepis tangannya agar tidak terlalu sering untuk melakukan hal seperti itu. Namun dengan patuh dia menuruti kata-kataku sambil tersenyum. Rasanya sungguh menyebalkan. Dia itu sehat. Dan aku tidak. Mengapa aku selalu tersinggung apabila dia melakukan pijitan atau mengeramasi kulit kepalaku?
Aku tidak membencinya, hanya saja rasa amarah ini seringkali meluap ketika perawatku melakukan segala sesuatu. Anehnya, dia selalu tersenyum dengan bentakan-bentakan yang keluar dari mulutku ini. Apakah dia tertawa dalam hati? Apakah dia mengasihaniku? Banyak pertanyaan muncul dalam benakku. Seringkali suamiku menasihatiku untuk tidak terlalu keras pada perawatku.Â
Aku mengerti, perawatku tidak melakukan kesalahan sama sekali. Namun entah mengapa aku seringkali kesal melihatnya. Mungkin aku berpikir bahwa tuhan benar-benar tidak adil. Usiaku yang masih 32 tahun sudah terkena kanker sedangkan dia tidak. Usianya yang sudah tua renta namun kondisinya sangatlah bugar. Kulihat dia mampu mencuci piring dengan cepat, mengangkut jemuran dengan kuat, dan hal berat lainnya. Intinya, usianya tidak sama dengan fisiknya. Terbilang fisiknya sangatlah baik.
Hari itu aku menunggu perawatku yang belum juga datang. Biasanya, dia sudah stand by didapur untuk menyiapkan sarapanku namun kali ini tidak. Sudah satu jam lamanya perawatku belum juga datang. Apakah diam-diam dia melarikan diri dari pekerjaan ini? Bahkan aku sudah menggajinya kemarin. Akhirnya kutunggu hingga sore hari dan perawatku tidak kunjung datang.
Tidak lama, suara telepon rumah berdering. Suamiku langsung mengangkat teleponnya dan memberitahuku bahwa perawatku itu sedang ada urusan. Sehingga dia tidak bisa datang kerumah hari ini. Cih, menyebalkan. Gaji mingguan sudah kuberikan! tapi dia tidak meminta izin terlebih dahulu! pikirku dalam hati.
Keesokan harinya perawatku datang sangat pagi. Mungkin dia merasa bersalah bahwa kemarin dia tidak izin terlebih dahulu untuk tidak datang. Seperti biasa, dia menyiapkan sarapanku dan bersih-bersih rumah. "Bu, apakah mau saya pijat kepalanya?" tanya perawatku sambil tersenyum. "Tidak, tidak usah. Lebih baik kamu ceritakan, mengapa kemarin kamu tidak datang? Kamu tahu kan, saya ini sedang sakit, dan saya membutuhkan kamu untuk mengurusi saya. Apakah uang yang saya berikan kemarin tidak cukup?" tanyaku kesal. Kulihat dia menghampiriku dan duduk dilantai. Dia menunduk, dan sepertinya dia ingin berbicara sesuatu namun tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya.
"Ada apa? Kenapa tidak jadi beri jawaban?"
"Maaf bu, kemarin saya ada perlu,"
Hanya itu? Alasan macam apa itu?Â
"Lain kali tolong izin terlebih dahulu Mbok! Mbok tau sendiri kan, kalau mas Fajri sibuk kerja!"