Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang Bikin Berat Orang Asing Nikahi Orang Jawa

21 November 2021   18:28 Diperbarui: 21 November 2021   18:36 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perjalanan ke sebuah toko buku di Malang, Jawa Timur, pertama kali saya makan di restoran IndiaInd. Semula saya tidak tahu bahwa orang yang duduk di meja sebelah, yang saya kira orang India, adalah pemilik restorannya.

Sesudah pesan makanan saya baru ngeh, karena dia yang berbicara dengan pegawai restoran yang melayani kami. Ternyata, dia bukan orang India, tetapi Pakistan.

Mungkin karena nama restoran India lebih akrab di lidah kita, maka digunakanlah nama India. Bukan Pakistan.

Usai makan, kami diberi discount khusus. Dengan halus kami tolak. Bahkan kami beri Tips pada pegawainya atas keramahan yang diberikan kepada kami. Usai makan kami tidak langsung pamit. Navid namanya, asal Peshawar, bagian Barat Daya Pakistan. Sudah memasuki tahun ke tiga di Indonesia.

Dia berikan alamatnya di Tumpang. Navid menikah dengan orang Jawa. Mereka ketemu di Dubai. Profesinya sebagai engineer. Tetapi Navid orangnya sangat flexible dengan pekerjaannya. Apa saja dilakukan yang penting menghasilkan dan halal.

Ada hal menarik yang ingin saya bagikan, terkait apa kendalanya terbesar menyesuaikan diri dengan pasangannya yang orang Jawa secara khusus dan Indonesia pada umumnya.

*****

Undangan Navid kami penuhi. Suatu hari kami bertandang ke rumah kediamannya. Selain membuka restaurant, Navid juga membuka kios kecil, jualan HP, pulsa dan asesorisnya. Kami sempat disuguhi Bakso, bikinan mertuanya.

Sekilas kami melihat Navid begitu akrab dengan masyarakat sekitar. Sedikit perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia yang dia kuasai. Navid tinggal di desa, pelosok, sekitar 3 km masuk arah utara Pasar Kecamatan Tumpang, 25 km dari kota Malang.

Beberapa pelanggannya datang, menyapa dalam Bahasa Indonesia, tampak bahwa adaptasi Navid terhadap lingkungannya boleh dikatakan perfect. Hubungan sosial, iklim, soal kerjaan serta regulasi pemerintahan. Katanya tidak ada masalah. Yang berat adalah makanannya.

Navid benar-benar tidak mengerti mengapa orang kita Sarapan Pagi makana Nasi. Bukan hanya pagi. Siang dan malam juga nasi, 3 kali sehari, seminggu, sebulan dan seterusnya seumur hidup. Sayur bening baginya juga masih agak susah mencernanya.

Navid masak sendiri untuk makanannya. Orang Pakistan makan nasi mungkin sekali seminggu. Makanan utama mereka Rothi. Semacam roti Maryam tetapi dibakar, diameternya besar, lebih tebal. Biasanya dimakan dengan kentang yang dibumbu Balado. Atau mixed vegetables. Sayur campuran, wortel, kol, kentang, ucet, semuanya dicampur jadi satu. Ayam juga dimasak kare, campur kentang. Orang Pakistan menyukai masakan pedas, santan. Tetapi tidak terlalu pedas. Santan sepertinya wajib. Mereka tidak mengenal sayur bening. Itu saja.

Nasi Gurih mereka suka. Biasanya dibikin sepekan sekali, hari Jumat umumnya special. Ada lagi makanan penyertanya, manisan, berbagai jenis manisan yang mereka buat. Saya suka Panir semacam keju khas mereka, Kheer atau pudding dari bahan beras. Ada lagi Jelebi atau Gulab Jamun, Manis banget sih.....untuk orang kita agak sulit mencernanya. Semuanya ini pada umumnya tersedia di restaurant India. Saya pernah juga merasakannya di wilayah Kuningan, Jakarta. Chef nya asli orang India.

Wah, jadinya saya ngelantur ngomongin kuliner.....

Saya kenal tiga orang Pakistan yang nikah dengan orang kita. Setidaknya ada 4 orang.  mereka rata-rata pebisnis. Navid hanya contoh tapi bisa digunakan sebagai rujukan, bahwa secara sosiokultural mereka dekat dengan Indonesia. Sebagaimana kedekatan orang India. Maklum, nenek moyang kita juga dari Gujrat, 3000 tahun silam konon dicatat sejarahwan, berlabuh ke Nusantara.  

Sewaktu di Malang, saya juga pernah ketemu orang kita yang nikah dengan bule, asal Amerika Serikat. Saat ini mereka tinggal di Boston bersama 2 orang anaknya. Orang-orang Barat tidak mudah menyesuaikan diri dengan budaya kita katanya.

Senyum pada semua orang, jalan pelan, tidak tepat waktu dinggap biasa, salam Tempel (Nyogok, Red.) dan lain-lain, tidak biasa mereka lakukan. Soal makanan mereka juga tidak biasa makan nasi 3 kali sehari, serta bumbu pedas. Mereka makan nasi, tetapi jarang. Lebih suka roti, kentang. Keju, daging sosis, ikan, dan bumbu yang tawar. Hot chilly? No!

Kesimpulannya, cinta memang sifatnya universal, namun selera tetap selera. Tidak pandang suku bangsa. Mau Amerika, Eropa, Arab atau Afrika, kalau tidak suka, betapapun nilai gizinya tinggi, tetap tidak bisa dipaksakan. Navid contohnya.

Nyatanya tidak semua orang Pakistan seperti Navid. Tidak sedikit mereka yang 'doyan' semua jenis makanan kita, kayak suami mbak Ritmi, perawat kita yang ada di UAE, yang suaminya juga asal Pakistan. Sudah sekitar 20 tahun mereka bina rumah tangganya. Hingga kini mbak Ritmi masih di UAE.

Jadi, ya...relatif sih.

Makassar,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun