Dalam hidup ini kadang kita tidak punya pilihan. Untuk sendiri, nikah, cerai, pOligami hingga cerai, it is not us the one who have the right to judge. Bukan hak kita untuk mengadili mereka. Terlebih menghakini bahwa mereka tidak baik.
Jangan-jangan kualitas hidup mereka jauh lebih baik dari pada kita.
Tapi yang namanya manusia. Umumnya lebih suka ngasih komentar terhadap orang lain dari pada diri sendiri.
Makanya saya lebih milih untuk diam daripada ngurusin kehidupan orang lain yang kita tidak punya hak untuk mencampuri urusannya. Termasuk mereka yang statusnya (I am sorry to say) single parent.
Pastinya, bukan kehendak mereka untuk menjadikannya demikian.
Jadi single parent, ada yang karena keterpaksaan. Ada yang karena tidak punya pilihan. Bisa pula karena faktor eksternal lainnya.Â
Atau, bisa saja karena kecelakaan hingga kematian. Semuanya terjadi lantaran suratan takdir yang harus dihadapi. Dan itu terjadi bukan hanya di kampung kami, kecamatan, kabupaten, atau di provinsi kami. Bahkan di tingkat negara pun terjadi.
Single parent ada yang menganggap persoalan pribagi. Ada pula yang menganggap fenomena sosial yang butuh solusi.
Menurut  Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), sekitar 11% dari seluruh keluarga di Indonesia yang berjumlah 67.7 juta jiwa, 7.9 juta di antaranya adalah ibu dengan status Mother single parent. Lebih dari 80% adalah wanita.
Menurut Gallup World Poll, mayoritas mom single parent ini social ekonominya rendah. Anak-anak mereka di bawah usia 15 tahun. Bisa dibayangkan betapa berat perjuangan mereka.
Nasib Tidak Pilih Kasih
Sama seperti kita, ada yang buruk, banyak yang baik. Kita tidak bisa memilih akan jenis takdir yang menimpa di hari depan. Walaupun kita bisa milih jodoh, akan tetapi apa yang akan terjadi nanti sering kali di luar kendali.
Saya punya seorang kenalan senior perawat, dengan dua orang anak. Mother single parent. Suaminya mengalami kecelakaan lalu lintas. Akibatnya, semua rencana keluarga berantakan. Bisnis suaminya tidak ada yang ngurus, termasuk sejumlah propertinya. Anak masih kecil-kecil.
Biasalah, harta kadang bikin masalah. Keluarga sang suami 180% berubah sikap. Istri yang ditinggalkan dengan dua orang anaknya harus berjuang keras, banting tulang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Bagaimanapun Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang pada umatNya.
Teman saya yang kuat fisik dan mentalnya, bekerja tanpa mengenal lelah. Selain kerja di rumah sakit, dia melayani panggilan perawatan Homecare dari rumah ke rumah, jualan online, bercocok tanam dan lain-lain aktivitas yang menghasilkan.
Kini satu anaknya sudah kuliah, dan yang satunya lagi sedang di SMA. Keduanya laki-laki. Status single parent tidak membuatnya sedih berkepanjangan sesudah ditinggal mendiang suaminya.
Meski ada sementara beberapa orang di masyarakat memandang sebelah mata, penuh curiga, baginya tidak pernah mengubah prinsipnya. Yang penting tidak mengganggu dan merugikan mereka. Life goes on. Hidup jalan terus.
Mereka juga Manusia
Kalau masalah kesalahan, single parent juga manusia, sama seperti kita. Bisa berbuat kesalahan. Sayangya kebaikan yang mereka ukir tidak membekas, sehingga yang disoroti hanya keburukannya.
Jadi, tidak perlu jadi artis untuk mampu mengundang perhatian. Single parent mother tidak kalah terkenalnya. Apalagi jika masih muda. Dunia terasa semakin panas.
Di rumah, di masyarakat, atau di kantor. Kasihan sekali bagi mereka yang tidak kuat mentalnya. Bisa menderita stress. Bukan hanya omongan kanan kiri tetangga. Sorotan mata mereka saja bernada sinis.
Itulah sebabnya para single parent ini kalau di Amerika Serikat misalnya, memiliki komunitas guna mendapatkan dukungan serta solusi terhadap segala persoalan yang mereka hadapi.
Beruntung saat ini kita punya medsos, sehingga para single parent ini bisa curhat pada teman-temannya yang senasib sepenanggungan.
Yang jadi persoalan lagi adalah apabila mother single parent ini tidak tahu harus bekerja apa karena keterbatasan yang dimilikinya. Bisa karena minimnya keterampilan, pengetahuan, atau jaringan.
Itulah mengapa mayoritas mother single parent ini menimpa pada orang-orang dengan status social ekonomi rendah, baik beberapa negara di Amerika, Asia, serta Afrika. Â Â
Pemberdayaan
Pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, memperhatikan serius masalah ini dengan memberikan pembinaan melalui pelatihan serta bantuan usaha Mikro.
Melalui pembinaan, pemberian aneka pelatihan kewanitaan serta Keluarga Berencana misalnya, mother single parent yang tidak bekerja akan terhibur, memiliki kegiatan. Mereka bisa produktif. Hasilnya bisa dimafaatkan untuk membantu biaya hidup anak-anaknya.
Akan halnya image mereka di masyarakat, relatif sifatnya. Akan ada saatnya nanti di mana persepsi masyarakat bakal berangsur berubah. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Ustadz Abdul Somad, semua ada masanya.
Yang pasti, Pemerintah juga sudah mulai memberikan perhatian positif dengan memberdayakan mereka. Melibatkan mereka menjadi kader KB, organisasi-organisasi kewanitaan, pelatihan, kegiatan Posyandu dan lain-lain merupakan sejumlah aktivitas yang perlu diapresiasi.
Masyarakat juga dihimbau, khususnya ibu-ibu untuk mengajak mereka dalam bebagai kegiatan social. Hal ini sangat membantu mother single parent, minimal mengurangi beban mentalnya.
Peran ganda yang dimainkan oleh mother single parent sejatinya tidak mudah. Sangat berat karena mereka selain sebagai ibu dari anak-anaknya, kerap kali merangkap sebagai laki-laki dalam keluarga. Sebuah peran ganda dalam kehidupan nyata, jauh lebih kompleks dari pada bermain ganda dalam badminton.
Have a nice day...
Makassar, 17 November 2021
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H