Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Layanan Kesehatan, Pengawasan dan Harga Obat: Bahan Promosi Para Menteri

11 November 2021   13:36 Diperbarui: 11 November 2021   13:48 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada barang yang paling mahal di dunia ini yang mengalahkan nilai kesehatan, jiwa atau raga. Sekaya apapun orang, kalau sakit, tidak bakal mampu menikmati lezatnya makanan betapapun sangat mahal harganya. Sedemikian tingginya makna kesehatan bagi tubuh manusia, sehingga banyak orang yang rela tidak memiliki apa-apa alias biar miskin, asal sehat. Kita lihat berapa banyak orang kaya, padahal masih usia muda yang berbaring semua di rumah sakit lantaran kesehatanya terganggu. Sebaliknya, betapa banyak orang desa yang miskin harta, tetapi awet muda, sehat bugar di pegunungan sana.

*****

Sekitar awal April 2021 lalu, saya mengalami gangguan kesehatan. Merasa punya kartu BPJS, juga Astra Life, saya berobat menggunakan keduanya. Namun untuk menggunakan kartu BPJS  harus melalui rujukan kedatangan, juga rujukan kedua dari RS terdekat. Padahal saya harus menemui seorang spesialis mendesak, akhirnya saya cari jalan termudah. Saya gunakan kartu asuransi kesehatan Astra Life.

Malangnya, kata Customer Service di rumah sakit (RS), sebuah RS besar di Malang, saya tidak bisa menggunakannya alias tidak tercover untuk konsultasi ini. Tidak ada jalan lain kecuali saya harus merogoh dari saku sendiri.

Masih berada dalam masa-masanya tingginya pasien Covid-19 waktu itu. Kota Malang termasuk dalam kategori Zona Merah. Saya booking lebih awal. Bahkan saya harus ambil kartu antrian pada pagi hari sebelum jam 7. Sore disuruh datang lagi untuk temui dokternya.

Anehnya, saya tetap harus antri lagi, karena nomer kartu antrian tidak 'berlaku', alias disesuaikan dengan pasien siapa yang datang duluan.

Sungguh, saya tidak mengeri dengan kebiajakan seperti ini. Mengeluh pada RS? Kira-kira apa langkah mereka jika praktik seperti ini sudah berlangsung tahunan?

Saya pun diperiksa. Lewat jalur swasta. Bahasa sederhananya, bayar sendiri.

Tidak lebih dari 5 menit diperiksa, saya diberi selebaran untuk pemeriksaan laboratorium, balik lagi ke CS. Keluhan demam saya tidak mendapatkan tanggapan meski sudah saya sampaikan. Saya disuruh bayar Rp 150 ribu kontan. Saya bayar cash di depan dokter walaupun yang menerima perawatnya atau apapun profesinya saya kurang tahu. Yang pasti saya tidak diberi kwitansi.

Sekali lagi, saya dibikin heran. Sungguh heran. Rumah sakit segede ini, sistem pembayaran masih kalah dengan kios kecil di depan rumah kami pinggiran jalan di Singosari. Bukan jumlah uangnya yang kami persoalkan. Tetapi system pembayaran seperti ini mestinya tidak terjadi. Saya saja malu untuk meminta kwitansinya di depan dokternya. Ini pembayaran di depan dokter dan mereka ngasih besarnya Rupiah dalam angka ke kita.

My goodness....

Saya melihat banyak layar televisi kosong, mati, di ruang tunggu. Mestinya layar kaca tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik sebagai pengganti panggilan pasien dengan suara langsung sang perawat. Sehingga tidak perlu memanggil satu-satu pasien yang akan diperiksa. Nomor antrian yang diberikan pada kami tidak berlaku. Kami harus memperhatikan kapan dipanggil oleh perawat di tengah kerumunan manusia.

Saya melihat tugas perawat hanya mencatat dan memanggil pasien. Menurut saya ini salah satu bentuk 'pelecehan' profesi. Mengapa hanya untuk mencatat daftar nama pasien serta memanggil mesti dikerjakan oleh perawat yang sarjana. Bahkan saya melihat dua orang perawat senior. Mestinya cukup lulusan SMK saja.

Saya tidak menyalahkan pihak manajemen rumah sakit. Sang perawat juga salah karena menerima jenis pekerjaan yang bukan kompetensinya.

Sayang banget lah!

Belum lagi pembenahan obat-obatan. Di Indonesia ini tidak ada system pembenahan atau pengawasan harga obat. Sehingga antara apotek satu dan lainnya harga obatnya beda. Ini mengacaukan harga dan membuat rakyat susah. Seharusnya seperti India, di mana harga obat sudah tercantum di bungkusnya. Orang tidak perlu milih-milih mana apotek atau toko obat yang murah. Kita punya banyak lulusan pendidikan farmasi. Mereka bisa diberdayakan sebagai pengawas obat dan harganya di masyarakat.  

Anehnya lagi, dokter di RS memberi resep, tetapi obatnya tidak ada di RS. Koq bisa? Seharusnya ada network system di mana professional kesehatan bisa melihat ada tidaknya obat di RS tersebut. Di RS tidak tersedia, di luar juga repot. Lha terus mengapa kami diberi obat yang susah dicari? Saya pernah menunggu satu jam lebih di apotek milik RS terbesar di Aceh, tapi obat tidak ada. Payah kan?

Well.....Saudara-saudara.....

Saya yang berprofesi perawat, minimal sedikit tahu tentang seluk beluk pelayanan kesehatan secara umum, bisa pusing tujuh keliling. Kalau kami saja pusing, bagaimana dengan rakyat biasa?

Besok, 12 November 2021, Hari Kesehatan Nasional, menurut  Indeks Akses & Kualitas Layanan Kesehatan (HAQ) Indonesia menempati urutan ke-92 dar 149 negara berkenaan dengan kualitas layanan kesehatan. Ada banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi di negeri ini. Kesehatan sangat penting sebagai tolok ukur kesejahteraan rakyat. Karena rakyat yang sehat, bisa membuat negara makmur dan sejahtera.

Oleh sebab itu, saran kami kepada para menteri yang ada di Jakarta serta anggota Dewan di pusat, ada baiknya bisa mempromosikan diri lewat pembenahan pelayanan kesehatan, tertibkan system manajemen RS, awasi harga dan penjualan obat serta tempatkan professional yang tepat dalam pelayanan sesuai Tupoksinya.

Hemat saya, tidak harus Menteri Kesehatan yang berlatar belakang Bank untuk membantu membenahi sistem kesehatan nasional kita.

Makassar, 11 November 2021

Ridha Afzal  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun