Tidak ada barang yang paling mahal di dunia ini yang mengalahkan nilai kesehatan, jiwa atau raga. Sekaya apapun orang, kalau sakit, tidak bakal mampu menikmati lezatnya makanan betapapun sangat mahal harganya. Sedemikian tingginya makna kesehatan bagi tubuh manusia, sehingga banyak orang yang rela tidak memiliki apa-apa alias biar miskin, asal sehat. Kita lihat berapa banyak orang kaya, padahal masih usia muda yang berbaring semua di rumah sakit lantaran kesehatanya terganggu. Sebaliknya, betapa banyak orang desa yang miskin harta, tetapi awet muda, sehat bugar di pegunungan sana.
*****
Sekitar awal April 2021 lalu, saya mengalami gangguan kesehatan. Merasa punya kartu BPJS, juga Astra Life, saya berobat menggunakan keduanya. Namun untuk menggunakan kartu BPJS Â harus melalui rujukan kedatangan, juga rujukan kedua dari RS terdekat. Padahal saya harus menemui seorang spesialis mendesak, akhirnya saya cari jalan termudah. Saya gunakan kartu asuransi kesehatan Astra Life.
Malangnya, kata Customer Service di rumah sakit (RS), sebuah RS besar di Malang, saya tidak bisa menggunakannya alias tidak tercover untuk konsultasi ini. Tidak ada jalan lain kecuali saya harus merogoh dari saku sendiri.
Masih berada dalam masa-masanya tingginya pasien Covid-19 waktu itu. Kota Malang termasuk dalam kategori Zona Merah. Saya booking lebih awal. Bahkan saya harus ambil kartu antrian pada pagi hari sebelum jam 7. Sore disuruh datang lagi untuk temui dokternya.
Anehnya, saya tetap harus antri lagi, karena nomer kartu antrian tidak 'berlaku', alias disesuaikan dengan pasien siapa yang datang duluan.
Sungguh, saya tidak mengeri dengan kebiajakan seperti ini. Mengeluh pada RS? Kira-kira apa langkah mereka jika praktik seperti ini sudah berlangsung tahunan?
Saya pun diperiksa. Lewat jalur swasta. Bahasa sederhananya, bayar sendiri.
Tidak lebih dari 5 menit diperiksa, saya diberi selebaran untuk pemeriksaan laboratorium, balik lagi ke CS. Keluhan demam saya tidak mendapatkan tanggapan meski sudah saya sampaikan. Saya disuruh bayar Rp 150 ribu kontan. Saya bayar cash di depan dokter walaupun yang menerima perawatnya atau apapun profesinya saya kurang tahu. Yang pasti saya tidak diberi kwitansi.
Sekali lagi, saya dibikin heran. Sungguh heran. Rumah sakit segede ini, sistem pembayaran masih kalah dengan kios kecil di depan rumah kami pinggiran jalan di Singosari. Bukan jumlah uangnya yang kami persoalkan. Tetapi system pembayaran seperti ini mestinya tidak terjadi. Saya saja malu untuk meminta kwitansinya di depan dokternya. Ini pembayaran di depan dokter dan mereka ngasih besarnya Rupiah dalam angka ke kita.
My goodness....