Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Aplikasi Academic Writing Skills di Tempat Kerja

11 November 2021   05:28 Diperbarui: 11 November 2021   05:31 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Simple. Orang yang banyak menulis, otomatis banyak membaca. Kalau tidak membaca, lha bahan yang digunakan untuk menulis apa?

Saya menyadari betapa besar manfaat pandai menulis ketika sudah kerja. Saat ini saya bekerja di sebuah perusahaan besar PMA, milik Amerika Serikat. Salah satu kegiatan rutin kami ada yang disebut Weekly Check in. Sebuah kegiatan di mana kami, para staff di divisi Health Care, diminta untuk mengupas, menganalisa jurnal (tentu saja internasioal) kemudian dipresentasikan. Dalam bahasa Inggris. Pesertanya kami dari seluruh Indonesia. Kegiatan tersebut rutin kami lakukan.

Sejauh ini saya sudah mendapatkan giliran 5 kali presentasi. Tiga di antaranya adalah karya saya, dalam bentuk jurnal internasional berbahasa Inggris. Dua dari tiga jurnal tersebut pernah kami presentasikan dalam forum International Conference, di Solo dan Jakarta. Satu presentasi dinobatkan sebagai The Best Presenter di International Conference, Stikes Mitra Keluarga Jakarta.  

Alhamdulillah, dari 17 staff kami yang ada di divisi Health care, sepertinya hanya saya yang pernah menyampaikan kupasan dan analisa jurnal karya sendiri yang tentunya sudah diterbitkan. Dari sana saya baru ngeh, ternyata besar sekali manfaat Academic Writing Skills di tempat kerja.

*****

Selama kuliah, jujur saya mau katakan bahwa minat menulis di antara teman-teman kampus sangat rendah. Itu terbukti dari bukan hanya produktivitas menulis sesudah wisuda yang sangat rendah. Saat kuliah, kegiatan menulis kami lakukan hanya karena tuntutan kampus serta untuk mengejar nilai. Kami membuat laporan, menulis studi kasus di tempat praktik, hingga menyusun skripsi tidak lain karena untuk mendapatkan nilai.

Oleh sebab itu yang banyak dilakukan oleh teman-teman adalah copy paste karya-karya mahasiswa sebelumnya, baik dari kampus yang sama maupun di kampus yang berbeda. Dan itu sangat mudah dilakukan. Ada yang tinggal mengubah nama, kampus, hari dan tanggal saja. Anehnya, banyak dosen tidak mengetahui. Atau pura-pura tidak tahu? Atau bisa jadi dosen pernah melakukan hal yang sama?

God knows.....

Ada kejadian yang pernah saya temui sangat lucu. Skripsi dibuat dengan nyaris 100% nyontek karya orang lain. Lucunya, dia lupa tidak mengganti bahkan nama penulis.

*****

Menulis belum menjadi tulang punggung professional karena beberapa faktor di bawah ini:

Pertama, tidak adanya program sistematik yang bertujuan mendongkrak kegiatan menulis dari sejak awal masuk kampus. Memang ada beberapa perguruan tinggi yang memberlakukan kegiatan Academic Writing Skills ini pada semester awal. Misalnya di Universitas Gajah Mada (UGM). Ada kegiatan yang namanya Soft Skills. Di sana mahasiswa digembleng untuk berlatih secara aktif membaca, menganlisa karya ilmiah, menulis, presentasi serta mengkuti event internasional semacam seminar atau symposium. Itupun, menurut Akhir Fahruddin, mahasiswa pascasarjana, fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM, persentasenya sangat kecil. Teman-temannya banyak yang mengeluh ketika mendapat tugas menulis 1000 kata dalam waktu 90 menit mata kuliah. Ini merupakan contoh sederhana bahwa menulis di kampus belum menjadi tuan rumah bagi mahasiswa yang sebenarnya tugasnya murni belajar menulis.

Kedua, dosen tidak memberikan contoh nyata. Tidak jarang dosen-dosen yang pernah saya temui menggunakan materi karya orang lain saat kuliah. Memang tidak masalah karena materi kuliah sudah disusun standard dalam kurikulum guna menjaga kualitas kompetensi lulusan. Hanya saja idealnya, dosen menulis sendiri. Materi kuliah bisa berupa kumpulan jurnal, kemudian dibendel dan diberikan kepada kami mahasiswaya. Contoh konkrit seperti ini secara tidak langsung memberikan kesan bahwa jika dosen tidak memberi contoh nyata, bagaimana mahasiswa diharapkan melakukannya?

Ketiga, kegiatan menulis dianggap hanya sebagai karya sastra, bukan tuntutan keharusan bagi professional. Ini saya ketahui langsung saat sudah kerja. Teman-teman rajin menulis laporan untuk kepentingan perusahaan yang hakekatnya kepentingan orang lain. Memang sih dibayar. Ironisnya, mereka lupa dengan kepentingan diri sendiri yang sebenarnya mendapatkan prioritas.

Mengapa?

Suatu hari nanti kita tidak bekerja pada perusahaan yang sama. Bisa dipecat, selesai kontrak atau karena alasan lain. Oleh sebab itu penting sekali mengasah keterampilan menulis untuk diri sendiri sejak dini. Jika pemikiran kita tentang menulis itu untuk kepentingan karya sastra, yang terjadi adalah karya-karya penelitian di masyarakat jadi sangat minim. Kita miskin penelitian karena hal yang satu ini. Ini yang membedaka kita dengan masyarakat di negara-negara maju.  

Keempat, menulis karya ilmiah belum dijadikan sebagai aktivitas umum yang lumrah dikerjakan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Indonesia, dalam kebiasaan membaca menurut Reading Habits, menduduki posisi ke 60 di dunia. Kita masih di bawah Thailand (59), Malaysia (33) Turkey (50) bahkan Brazil (43). Kenyataan ini sebenarnya pahit untuk ditelan. Bisa dimengerti mengapa kebiasaan membaca kita tergolong rendah, karena adanya empat penyebab ini.

*****

Masyarakat kita mayoritas masih beranggapan sangat tradional tentang kebiasaan menulis karya ilmiah. Padahal sebenarnya jika dijadikan kebiasaan akan sangat mudah serta memberikan keuntungan besar di tempat kerja. Menulis jurnal tidak sulit bagi yang sudah biasa. Keuntungan lainnya adalah mengasah kemampuan analisa jadi lebih tajam. Kita jadi pintar dalam menyusun laporan yang tidak sekedar dalam bentuk angka atau deskripsi. Laporan bisa jadi lebih bermakna karena dibuat oleh orang-orang yang terbiasa dengan academic writing ini.

Oleh karena itu, ada baiknya ditinjau kembali kurikulum pendidikan kita. Seperti yang banyak dilakukan oleh kampus-kampus luar negeri, di Australia misalnya. Academic writing skills dijadikan agenda tetap bagi mahasiwa baru. Setiap mata kuliah wajib membuat karya ilmiah. Setiap kampus perlu memiliki system Plagiarism Check. Mereka yang ketahuan nyontek karya orang lain dikeluarkan dari statusnya sebagai mahasiswa.

Usulan ini kelihatannya agak nyleneh dan terkesan memaksakan.

Sebenarnya tidak demikian. Setiap mahasiswa di abad ini hampir dipastikan sudah memiliki gadget dan akses internet. Tidak sulit bagi mereka mendapatkan referensi. Mereka sebenarnya senang menulis dan membaca, meskipun saat ini masih sebatas pada menulis dan membaca status di media social (medsos). Potensi ini yang perlu diarahkan dan dikembangkan.

Trust me!

Jika saja mereka tahu manfaat menulis di tempat kerja, akan mudah mendapatkan pekerjaan. Bukan hanya yang kelasnya nasional. Yang sekelas dunia, di bawah lembaga-lembaga dunia seperti WHO atau UNICEF, tidak sedikit peluang kerja yang ditawarkan, hanya karena satu syarat yang mereka minta apakah sudah dipernuhi: menulis jurnal.

Bukankah peluang kerja tersebut membuktikan bahwa hidup sejahtera itu hanya persoalan pilihan?

Makassar, 11 November 2021

Ridha Afzal    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun