Sebuah jumlah yang cukup besar yang tidak pernah diperoleh perawat Indonesia pada masa-masa sebelumnya, kecuali di beberapa jenis pekerjaan tertentu dengan risiko tinggi.Â
Misalnya di perusahaan tambang atau eksplorasi minyak. Pekerjaan sebagai homecare juga bisa membuahkan hasil besar, bergantung pada jenis penyakit dan status social keluarga pasien, Konon ada yang bisa mendapatkan Rp 500 ribu per hari.
Kini, disinyalir masa Covid-19 akan berakhir (semoga). Ribuan perawat kita yang diserap menjadi tenaga sukarelawan selama pandemic boleh jadi harus siap-siap, bahkan ada yang sudah 'balik kandang'. Persoalannya, jika kandang di awal adalah (mudah-mudahan tidak) penganguran. Maka perlu diantisipasi.
Kondisi kita jauh berbeda bahkan bertolak-belakang dengan yang terjadi di Filipina. Di negaranya mantan presiden Ferdinand Marcos ini, terdapat 161 kampus keperawatan yang menelorkan 38.000 perawat per tahun.Â
Lebih dari 80% perawat Filipina mengincar peluang kerja di luar negeri. Saat ini, di Filipina hanya terdapat 65.000 perawat dari 500.000 perawat yang dimilikinya. Selebihnya 87%, tersebar di seluruh dunia.
Filipina tidak menghadapi masalah pengangguran perawat atau ancaman pengangguran pasca pandemic Covid-19 sebagaimana kita. Justru selama pandemi mereka mengalami defisit tenaga perawat di dalam negeri. Jumlah penduduk Filipina sekitar 100 juta jiwa, atau sekitar sepertiga penduduk Indonesia. Kita menang jumlah penduduk, namun soal sistem pendidikan keperawatan kita kalah dengan Filipina.
Filipina sudah menyelenggarakan pendidikan keperawatan sejak akhir tahun 1890-an. Sementara kita untuk jenjang sarjana keperawatan saja baru dimulai tahun 1985 di Universitas Indonesia. Human Development Index kita (urutan ke 111) masih di bawah Filipina (urutan ke 106).
Sepertinya kita masih harus banyak belajar dari negara tetangga sebelah ini dalam hal pengelolaan pendidikan keperawatan khususnya, agar tidak terjadi ancaman peledakan jumlah tenaga professional keperawatan yang berpredikat pengangguran. Kita perlu menyontoh kiat mereka bagaimana bisa begitu banyak professional keperawatannya diminati oleh negara-negara di dunia.
Di era global yang tidak lagi mengenal batas geografi, jarak, bangsa maupun ras ini, kesejahteraan rakyat harus dijadikan prioritas demi terciptanya negara yang menunjang kemakmuran rakyatnya. Mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri bukan aib suatu negara.Â
Justru di era global ini kerja sama, pertukaran ilmu dan teknologi bakal tercipta manakala kita bersatu, saling mengisi kekurangan dan saling memberi. Itulah yang dilakukan oleh Filipina.
Bedanya, dalam sejarahnya, Filipina dibesarkan oleh Amerika Serikat yang memiliki sistem pendidikan yang sudah tertata. Terlebih, bahasa kedua rakyat Filipina sekaligus bahasa pedidikan adalah Bahasa Inggris.