Sewaktu saya kuliah di Banda Aceh, nyaris tidak ada teman-teman yang berasal dari keluarga kaya. Kaya secara material, finansial, dan sangat berkecukupan dalam banyak hal. Saya juga tidak memiliki teman yang orangtuanya pejabat, memiliki kedudukan tinggi di perusahaan atau pemerintahan.
Tidak pernah saya melihat ada teman yang orangtuanya punya mobi mewah. Paling-paling sekelas Innova itu sudah pol. Yang terbanyak adalah hanya motor biasa, yang boleh dibilang semua punya.
Gadget juga demikian. Tidak ada yang memegang HP sekelas IPhone mutakhir yang harganya Rp 10 juta ke atas. Pendeknya, menurut saya mahasiswa keperawatan ini tidak ada yang kaya.
Satu lagi, jarang sekali mahasiswa yang asli dari kota Banda Aceh atau Aceh Besar yang masuk dalam kategori 'kota' di provinsi Aceh.
Dalam hati saya bertanya, :"Why?" Â
Saat mengikuti sebuah event nasional di Bali, tahun 2014, kami ketemu dengan teman-teman mahasiswa keperawatan se Indonesia. Tidak kurang dari 250 kampus yang ikut andil. Saya tidak melakukan penelitian tentang latarbelakang sosial ekonomi mereka. Tapi mereka yang kaya dan yang biasa-biasa saja ekonominya pasti tampak.
Hipotesa sementara saya tidak meleset.
Setahun sesudah wisuda, saya sempat tinggal di Malang selama 2 tahun. Di sana kami tinggal bersama keluarga seorang perawat. Dari cerita tuan rumah, beliau pernah sampaikan, teman-teman seangkatannya hanya satu orang yang berasal dari Malang yang tergolong 'kota'. Itupun dengan latarbelakang social ekonomi menengah. Selebihnya dari kota-kota kecil atau desa.
Bukti ini menambah keyakinan pendapat saya, bahwa ternyata profesi perawat ini, pertama kurang diminati oleh keluarga dari perekonomian menengah ke atas, apalagi orang kaya. Kedua, profesi ini juga kurang populer di antara warga kota.
Friends....
Selama pandemic Covid-19 ini permintaan tenaga perawat meningkat tajam di seluruh dunia. Harga merekapun meroket. Di Indonesia, di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, perawat sukarelawan Covid-19 bisa dibayar Rp 8-Rp 10 juta per bulan. Setingkat dengan middle manajer di perusahaan-perusahaan swasta. Gaji perawat rata-rata sebelum pandemic, hanya Rp 3-5 juta. Kecuali perawat homecare yang bisa pasang tariff lebih. Ada yang Rp 500 ribu per hari. Namun selama Covid-19 ini tambah mahal.
Selama masa pandemi ini permintaan perawat yang meningkat tajam turut mendongkrak harga mereka. Ada hikmahnya, yakni secara tidak langsung mengurangi angka pengangguran tenaga kesehatan professional.
Menurut International Council of Nurses (ICN), pada masa pandemic Covid-19 telah terjadi kekurangan tenaga perawat yang mencapai 20%, atau sekitar 6 juta perawat menurut World Health  Organization (WHO). Khususnya di negara-negara kaya dan maju. Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah dan Jepang merupakan beberapa tempat yang bisa disebut.
Dua bulan terakhir ini ada permintaan tenaga perawat ke Jerman, disusul Belanda. Selain yang sudah rutin adalah yang ke Jepang, United Arab Emirates, Saudi Arabia, Kuwait, serta Qatar. Negara-negara ini sangat kekurangan tenaga perawat. Mereka mendatangkan tenaga profesi keperawatan ini dari luar negeri.
Selama ini pemasok tenaga perawat terbesar di dunia adalah dari Filipina. Perawat Filipina menembus pasar kerja di lima benua. Hampir tidak ada negara kaya di dunia ini yang tidak ada perawat asal Filipinanya. Sungguh luar biasa daya tembus bisnis negara ini. Ini semua bukti bahwa di negera-negara maju sangat kekurangan jumpah perawatnya.
Saat praktik profesi keperawatan, memang image profesi ini beda dengan profesi kedokteran. Profesi kedokteran hanya berkecimpung dengan obat. Kalaupun dokter bertemu dengan pasien, boleh jadi sangat terbatas. Dokter ketemu pasien selama 30 menit itu sudah lama banget. Paling banter kalau di bangsal-bangsal rumah sakit bisa sekitar 5 menit. Waktu mereka pun sangat tidak banyak karena jumlah pasien yang meluber. Kecuali mahasiswa kedokteran yang bisa berjam-jam, termasuk Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Â
Lain halnya dengan perawat. Mereka harus jaga 24 jam. Meskipun tidak berada langsung di tepi tempat tidur pasien, perawat harus selalu ada di sana sehari penuh, dibagi 3 shift. Tiga atau empat orang perawat, merawat 30-40 pasien. Bayangkan!
Tugas perawat kalau di Indonesia masih harus merangkap-rangkap, all round, bukan hanya merawat. Jika tidak ada dokter, perawat yang diberi dlegasi mengobati. Tidak ada teknisi Gizi, perawat yang mengatur menu pasien. Tidak ada fisoterapi, perawat yang melatih pasien untuk berolah raga. Itu belum terhitung tindakan keperawatan dan prosedur kedokteran lain yang dilimpahkan ke perawat.
Nah, di sinilah ketemu sudah alasannya mengapa orang-orang dari keluarga kaya memiliki image yang kurang 'positive' terhadap profesi ini. Apalagi ketika mereka mengetahui salary nya. Sebesar apapun gaji perawat di Jerman, USA, Australia, Timur Tengah dan Jepang, meskipun gelarnya S2, masih kalah dengan jebolan computer Diploma. Aneh memang.
Di Indonesia, gaji anak-anak SMK Otomotif aja bisa mencapai Rp 3 juta di Malang. Sementara perawat, untuk nego dapat gaji segitu, ngotot banget di rumah sakit atau klinik swasta. Perawat kita ada yang hanya Rp 400 ribu per bulan di Aceh.
Dalam hal pekerjaan, perawat melelahkan. Soal gaji, lebih memprihatinkan. Mereka yang berada di negara-negara kaya dan maju, tentu sangat paham dengan fenomena ini. Makanya mereka lebih milih mendatangkan perawat dari negara-negara sedang atau negara berkembang seperti Indonesia.
Terlepas dari mulianya tugas perawat yang menyentuh langsung kebutuhan kesehatan manusia, nyatanya perawat belum bisa disebut sebagai profesi yang bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Profesi yang membutuhkan orang-orang berhati 'malaikat' agar bisa terpanggil menekuninya. Jika tidak, akan berguguran di tengah jalan.
Itulah yang banyak terjadi di negeri ini. Itulah mengapa masih banyak orang menganggap kerja jadi perawat itu berat, ribet, tidak membuat kita kaya. Terlebih, image perawat di negeri ini tidak seperti profesi lain yang dianggap lebih bergengsi. Perawat identik dengan pekerjaan yang menggunakan tangan dan 'kotor'.
Kesimpulannya, sangat bisa dimengerti mengapa pada akhirnya profesi ini tidak begitu laku di negara-negara maju. Bagaimana dengan pendapat Anda?
Makassar, 7 November 2021
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H