Selama masa pandemi ini permintaan perawat yang meningkat tajam turut mendongkrak harga mereka. Ada hikmahnya, yakni secara tidak langsung mengurangi angka pengangguran tenaga kesehatan professional.
Menurut International Council of Nurses (ICN), pada masa pandemic Covid-19 telah terjadi kekurangan tenaga perawat yang mencapai 20%, atau sekitar 6 juta perawat menurut World Health  Organization (WHO). Khususnya di negara-negara kaya dan maju. Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah dan Jepang merupakan beberapa tempat yang bisa disebut.
Dua bulan terakhir ini ada permintaan tenaga perawat ke Jerman, disusul Belanda. Selain yang sudah rutin adalah yang ke Jepang, United Arab Emirates, Saudi Arabia, Kuwait, serta Qatar. Negara-negara ini sangat kekurangan tenaga perawat. Mereka mendatangkan tenaga profesi keperawatan ini dari luar negeri.
Selama ini pemasok tenaga perawat terbesar di dunia adalah dari Filipina. Perawat Filipina menembus pasar kerja di lima benua. Hampir tidak ada negara kaya di dunia ini yang tidak ada perawat asal Filipinanya. Sungguh luar biasa daya tembus bisnis negara ini. Ini semua bukti bahwa di negera-negara maju sangat kekurangan jumpah perawatnya.
Saat praktik profesi keperawatan, memang image profesi ini beda dengan profesi kedokteran. Profesi kedokteran hanya berkecimpung dengan obat. Kalaupun dokter bertemu dengan pasien, boleh jadi sangat terbatas. Dokter ketemu pasien selama 30 menit itu sudah lama banget. Paling banter kalau di bangsal-bangsal rumah sakit bisa sekitar 5 menit. Waktu mereka pun sangat tidak banyak karena jumlah pasien yang meluber. Kecuali mahasiswa kedokteran yang bisa berjam-jam, termasuk Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Â
Lain halnya dengan perawat. Mereka harus jaga 24 jam. Meskipun tidak berada langsung di tepi tempat tidur pasien, perawat harus selalu ada di sana sehari penuh, dibagi 3 shift. Tiga atau empat orang perawat, merawat 30-40 pasien. Bayangkan!
Tugas perawat kalau di Indonesia masih harus merangkap-rangkap, all round, bukan hanya merawat. Jika tidak ada dokter, perawat yang diberi dlegasi mengobati. Tidak ada teknisi Gizi, perawat yang mengatur menu pasien. Tidak ada fisoterapi, perawat yang melatih pasien untuk berolah raga. Itu belum terhitung tindakan keperawatan dan prosedur kedokteran lain yang dilimpahkan ke perawat.
Nah, di sinilah ketemu sudah alasannya mengapa orang-orang dari keluarga kaya memiliki image yang kurang 'positive' terhadap profesi ini. Apalagi ketika mereka mengetahui salary nya. Sebesar apapun gaji perawat di Jerman, USA, Australia, Timur Tengah dan Jepang, meskipun gelarnya S2, masih kalah dengan jebolan computer Diploma. Aneh memang.
Di Indonesia, gaji anak-anak SMK Otomotif aja bisa mencapai Rp 3 juta di Malang. Sementara perawat, untuk nego dapat gaji segitu, ngotot banget di rumah sakit atau klinik swasta. Perawat kita ada yang hanya Rp 400 ribu per bulan di Aceh.
Dalam hal pekerjaan, perawat melelahkan. Soal gaji, lebih memprihatinkan. Mereka yang berada di negara-negara kaya dan maju, tentu sangat paham dengan fenomena ini. Makanya mereka lebih milih mendatangkan perawat dari negara-negara sedang atau negara berkembang seperti Indonesia.