Yang jadi keprihatinan saya pribadi adalah, tidak semua orang punya duit lebih meskipun naik pesawat. Kadang hanya punya duit yang mepet banget. Namun karena ada kepentingan mendesak, mereka harus terbang. Atau, tidak ada jalan lain, misalnya dari Wamena ke Jayapura, kalau naik darat repot banget.
Bolak-balik test PCR, dananya berapa yang harus dikeluarkan jika dompet tipis? Padahal vaksin sudah dua kali. Jelas tidak ada gejala-gejala terpapar Covid-19. Wajib ya tetap wajib.
Apa tidak ada cara lain selain test PCR di era pasca Covid-19 ini?
Misalnya, tempatkan dua atau tiga dokter atau perawat di pos-pos pemberangkatan. Membayar mereka ini jauh lebih cost-effective dari pada melakukan PCR.Â
Yang penting calon penumpang sudah vaksin. Dengan demikian kita sangat hemat dan tidak memberatkan. Belum lagi berapa ribu hidung yang disogok-sogok. Itu semua trauma dan tidak jarang menimbulkan rasa sakit serta kemungkinan infeksi.
However, sederhananya cara berfikir rakyat kecil kayak saya yang meski buta dengan bisnis raksasa seperti proyek Covid-19 ini, intinya business is business.
Pembelian import reagen untuk test PCR yang mencapai Rp 7.3 trilliun itu tidak main-main. Belum lagi impor 203 ton alat-alat PCR per Agusts 2021, yang terbanyak dari China (idntime.com). Ini bukan dana yang sedikit.
Duit segitu bisa untuk beli laptop beserta perangkat onlinenya untuk 2 kali jumlah guru di Indonesia. Luar biasa kan? Tentu saja pengusaha yang terlibat di dalamnya tidak mau rugi. Makanya harus ada jalan keluar sebelum reagen ini expired akhir tahun ini yang tinggal 7 minggu lagi.
Anyway, yang namanya pengusaha besar pasti punya network global yang luas. Tidak perlu masukan dari saya, mau diapakan sisa reagen tersebut. Misalnya bisa dijual ke Amerika Latin atau ke negara-negara Afrika yang status social ekonominya minimal setaraf Indonesia atau di bawah kita.Â
Bisa juga ditawarkan ke Filipina, Vietnam, Bangladesh atau Nepal. Bisa juga sih, kalau mau investasi akhirat, diberikan gratis ke rakyat kita. Dari pada kadaluwarsa mubadzir. Â