Dua bulan terakhir, saya melakukan perjalanan, Makassar, Surabaya, Jakarta, Banda Aceh, dan Bandung. Kemudian kembali ke Banda Aceh dan balik lagi ke Makassar. Bisa dihitung berapa kali harus disogok-sogok hidung ini? Â Pergi ke rumah sakit, nunggu antrian, butuh waktu, tenaga, transport dan tentu saja kocek, karena PCR tidak dianggung oleh BPJS. Tapia pa boleh buat?Â
Rakyat ini tugasnya harus patuh pada aturan Pemerintah. jika tidak, katanya kita tidak mau bekerjasama mendukung program Pemerintah. Jadinya, rakyat kecil ini ya...nurut saja apa yang sudah menjadi kesepakatan atau keputusan pemangku jabatan di atas.
Padahal, kami ini sudah vaksinasi. Katanya vaksin akan mencegah terjadinya Covid-19. Kami juga tidak pernah lepas dari masker, cuci tangan, jaga jarak serta aneka langkah prevensi lainnya. Hasilnya terlihat, kita sudah bebas dari Zona merah. Toh, semuanya tidak sanggup mengubah kebijakan yang namanya wajib PCR jika terbang.
Barangkali inilah salah satu penyebab mengapa meski sudah tidak ada Red Zone, bandara masih sepi, toko-toko dan warung di bandara tutup, hingga penumpang pesawat paling banter 50%.
Pekan lalu teman saya dari Papua yang terbang ke Surabaya mengatakan tidak sampai 40% penumpangnya. Tidak hanya pesawat. Naik darat pun jika jaraknya mencapai 250 km wajib PCR.
Hari ini saya membaca sebuah berita di Repelita, yang sumber asalnya diperoleh dari Tempo, PCR ini mendapat penolakan luas dari masyarakat. Yang jadi persoalan adalah mengapa berita tentang PCR ini jadi heboh menjelang akhir tahun?
Kata Saidi Sudarsono dalam Twit nya (2-11-2021) sebagaimana dimuat Repelita, "Hoalahhh, masalahnya sederhana saja. Stock PCR numpuk. Ada PCR import dari China numpuk di 10 perusahaan importer. Expired date 31 Desember 2021. Akan digunakan untuk libur Natal dan Tahun Baru. Digunakanlah kekuatan pemerintah melalui SK Mendagri, Paham ora son?" (Repelita, 4 Nov. 2021).
Ada orang yang dalam hidup ini memilih diam agar tidak ada masalah. Ada orang-orang yang suka bersuara agar didengar pendapatnya. Ada lagi yang lebih milih menulis karena akan lebih banyak yang membaca. Di Kompasiana ini hemat saya merupakan ajang yang tepat untuk menyuarakan uneg-uneg kita lewat tulisan. Minimal bisa sharing dengan sesama Kompasianer sudah lega rasanya.
Saya suka menulisnya karena lebih efektif dan tidak bikin sakit hati. Saya punya prinsip jika tidak bisa mengubah orang lain, harus ubah diri sendiri. Jadi, karena saya bukan pejabat, bukan pula pengambil kebijakan atau artis terkenal yang punya pengaruh, maka saya harus ubah cara pandang saya.
Kalau tidak mau PCR, ya tidak perlu ke luar rumah naik pesawat atau jalan jauh. Kalau mau terbang, ya sudah, risikonya harus ikuti aturan. Protes pada airlines pasti tidak ada gunanya meski sampai berbusa-busa.
Apalagi jika protes ke Pak Luhut, kenalpun saya tidak. Mau ke Pak Prabowo, terlalu kejauhan tidak konek. Lebih-lebih kalau ke Pak Anies Baswedan. Beliau hanya Gubernur.