Saya pernah melihat dari dekat bagaimana kondisi Panti Jompo (PJ) di beberapa wilayah di negeri ini. PJ kita belum begitu populer, terutama bagi orang asli Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan.
Jangankan di kirim ke PJ. Untuk ke RS saja jika ada keluarga, khususnya orangtua yang sudah sakit parah, mereka kadang tidak bersedia. Lebih baik dirawat bersama keluarga hingga ajal menjemutnya.
Tradisi ini sangat kuat melekat. Mereka yang mengirimkan orangtuanya, bapak atau ibu ke PJ, bisa disebut sebagai anak yang 'durhaka' yang tidak berbakti pada ibu bapanya.
Berbicara kata PJ, kondisinya tidak sama dengan PJ di luar negeri. Karena profesi saya perawat, jadi bukan hanya mendengar, tetapi sering melihat langsung bagaimana PJ di sana. Bagusnya, mereka memang tidak menggunakan istilah PJ sebagaimana kita.
PJ di kita ini erat hubungannya dengan orang-orang yang sudah tua renta, tinggal di gedung tua, dan dirawat oleh perawat-perawat yang kurang ramah.Â
Gambaran semua penghuninya sangat bergantung pada orang lain, menggunakan kursi roda, tongkat, pelupa, tidak mampu mendengar atau berbicara dengan baik serta aneka kemunduran fisik lainnya.
Pendeknya, PJ itu konotasinya 'sangat' tidak menarik.
Berbeda dengan di Singapore, Korea atau Jepang di film-film yang pernah saya lihat. Lembaga yang mengurus para manusia lanjut usia (Manula) ini, umumnya kondisinya sangat bagus, memiliki alat-alat bantu modern, dan penghuninya tidak sama dengan yang ada di negeri kita.
Di Singapore juga demikian. Standard pelayanan Geriatric Center atau Center for the Elderly atau Eldercare mereka menyebutya, mengedepankan kualitas layanan keperawatan dengan tenaga kesehatan yang terampil, teregistrasi, kompeten dan dibayar layak. Di Singapore memiliki banyak nama untuk lembaga yang satu ini. Mulai dari Eldercare, Health Home Care Services, Homage Home Care, dan lain-lain.
Di kita, sangat beda. Kita hanya memiliki satu istilah yang disebut Panti Jompo atau Panti Werdha. Jika kita tidak memiliki inisiatif untuk mengubahnya, bisa dipastikan bisnis JP selalu lesu, karena tidak ada yang tertarik. Image nya kurang bagus. Â
Teman-teman saya yang menempuh pendidikan profesi keperawatan sangat sedikit yang minat bekerja di PJ. Boleh dibilang zero. Kalaupun ada, kemungkinan besar sangat kecil jumlahnya.Â
Kalaupun mungkin bersedia, jika di luar negeri. Teman-teman perawat Indonesia mayoritas kurang tertarik kerja di PJ dalam negeri karena image nya dari awal kurang bagus. Fasilitas minim, kerja berat, gaji rendah dan pengembangan karir tidak ada.
Akan halnya jika ada peluang caregiver ke Jepang yang memang rata-rata bekerja di PJ. Mereka betah meskipun kerja berat. Tidak lain karena fasiitas lengkap, sarana dan prasarana memadai, gaji tinggi serta memungkinkan pengembangan karir. Hingga kini lebih dari 2.400 perawat kita yang bekerja di panti-panti perawatan manula di Jepang.
Lain Singapore, lain Jepang, lain India dan Arab. Di India dan Timur Tengah, mereka memiliki latar belakang adat istiadat dan budaya yang mirip dengan Indonesia.Â
Menurut seorang kenalan asa India, PJ tidak umum di sana. Mereka lebih suka orangtua mereka tinggal bersama anak-anak-anaknya. Bisnis PJ di India tidak begitu laku. Bahkan dari kalangan orang kaya pun tidak mengirimkan orangtuanya ke PJ. Mereka memanggil Caregiver sebagai gantinya.
Demikian pula yang terjadi di negara-negara Arab. Kalaupun ada, bisa dihitung jumlah lembaganya. Itu pun tidak dihuni oleh orang asli Arab yang pada umumnya memuliakan orangtua mereka dengan tinggal bersama anak-anaknya.
Kita memang tidak sama dengan orang Jepang Korea, Eropa, Australia dan Amerika di mana orangtua dan anak-anak bisa hidup terpisah. Orangtua lebih suka menyendiri tidak diganggu, dan anak-anakpun lebih suka mandiri dengan tidak tinggal bersama mereka.
Salah satu tujuan memiliki Social Security Card di sana adalah agar di hari tua mereka ada yang menjamin, bisa hidup di Homecare Center ini. Sebuah lembaga yang belum begitu populer di negeri kita tetapi dijadikan masa depan di negara-negara maju. Â
Oleh sebab itu, pendiri bisnis PJ di kita boleh jadi ragu untuk saat ini guna menanamkan investasi di pusat layanan kesehatan untuk kaum manula ini.Â
Tidak lain karena mayoritas rakyat kita masih belum bisa menerima kehadiran PJ di tengah masyarakat khususnya di daerah. Repot memang status PJ ini. Tidak ubahnya gajah di tengah jembatan. Mau mundur sudah terlanjut, mau maju pun berat. Entah kondisinya 10-20 tahun lagi. Wallahu a'lam..... Â Â
Makassar, 3 November 2021
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H