Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Duka Lara Perawat Papua

29 Oktober 2021   19:15 Diperbarui: 31 Oktober 2021   06:56 1416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Personal Collection. Sebuah kampus keperawatan negeri, Poltekkes di Wamena

"Bayangkan. Dengan gaji yang sama dengan teman-teman di Jawa, harga beras bisa mencapai Rp 20.000 per kg. Ikan yang di Malang harganya Rp 35 ribu, bisa Rp 100 ribu di Wamena. Belum lagi buah-buahan yang didatangkan dari Jayapura. Harga yang melangit, gaji rendah meski pangkat dan golongan tinggi, membuat perawat Papua tidak bisa hidup sejahtera," kata dia

"Saya yang sudah berpangkat III/C saja, mestinya bisa hidup sangat sejahtera jika di Jawa. Namun di Papua sangat beda. Kami masih tinggal di perumahan dosen yang sangat sederhana, nebeng dengan asrama mahasiswa. Tidak seperti perumahan dosen Poltekkes yang ada di Malang," ungkapnya.

"Oleh sebab itu. Lantaran harga barang yang sangat mahal, kami mengusulkan mendapatkan jatah beras dalam bentuk fisiknya, tidak berupa uang karena sangat rugi. Guna memperoleh perhatian semacam ini, kami harus mengajukan permohonan berkali-kali. Proses tersebut tidak mudah. 

Itu status saya yang pangkat dan golongannya boleh dibilang sangat bagus untuk perawat Papua. Bagaimana dengan perawat-perawat lain di pedalaman yang pangat dan golongannya di bawah kami, sudah berkeluarga atau yang masih honorer atau sukarelawan," tuturnya.

Dikatakannya, perawat di Papua sangat jauh masa depan kesejahteraannya dengan di Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan atau Sulawesi. Di Papua, jangankan untuk mendapatkan pekerjaan sampingan, untuk bisa dapat pekerjaan sesuai profesinya saja, sangat terbatas. Di pedalaman, tidak ada internet. Apalagi jualan pulsa. 

"Bagaimana kami bisa mendapatkan akses untuk belajar online?" ujarnya.  Belum lagi pondokan, makanan yang kurang bergizi. Ditambah lingkungan yang masih rawan, bencana alam, hujan dan angin yang kencang, nyamuk Malaria dan lain-lain penyakit yang hanya rakyat Papua yang tahu. Kami cukup mengerti mengapa perawat provinsi lain enggan bekerja di Papua karena tantangan yang besar seperti ini di pedalaman."

"Freeport itu di Papua. Tetapi Papua itu besar sekali, lebih dari tiga kali luasnya pulau Jawa. Freeport itu sebagian kecil wilayah yang ada di Timika yang orang-orangnya banyak yang makmur. Tahukah Anda bahwa rakyat Papua yang ada di sana itu mayoritas bekerja di posisi bawah seperti cleaning service atau Satpam. Jadi, Papua itu bukan Freeport atau pabrik-pabrik tambang internasional lain yang besar di Papua yang memberikan gaji besar. Rakyat Papua dianggap tidak mampu untuk bersaing agar bisa bekerja di sana sebagai professional yang kompeten," sebutnya.

"Memang ada perawat-perawat Papua yang bekerja di sana, tetapi mayoritas bukan perawat asli Papua. Inilah yang membuat kami sedih. Alasan klasiknya biasanya perawat kami dianggap belum atau tidak kompeten, malas, dan sebagainya. Bukankah besarnya, kuantitas dan kualitas perawat Papua adalah tanggungjawab kita bersama? Perawat asli Papua juga orang Indonesia yang punya hak untuk bisa maju, bareng bersama perawat-perawat Indonesia lainnya. Kadang kami merasakan adanya perlakuan diskriminatif," imbuhnya.

"Saya setuju seandainya di Papua juga ada Universitas Indonesia (UI), sehingga nama besar UI bukan hanya ada di Jakarta. Bukannya saya tidak setuju dengan adanya nama Universitas Cenderawasih."

"Akan tetapi menyandang predikat UI di Papua, yang juga milik RI, membuat rakyat Papua tidak perlu jauh-jauh untuk belajar di UI Jakarta karena di Jayapura sudah ada. Bukan hanya UI saja, kalau perlu ada UGM, Unair dan ITB di Papua. Itulah yang saya sebut sebagai pemerataan pembangunan pendidikan. Inilah salah satu akar besar masalah mengapa pendidikan di Papua tertinggal."

"Kondisi di Papua yang demikian berat, harga barang-barang mahal, suhu panas, gaji tidak beda dengan Jawa inilah yang membuat dosen-dosen luar Papua tidak bersedia ditugaskan di Papua. Kalaupun ada orang-orang non-Papua yang ada di kantor kami misalnya, mereka itu sejak dulu kala sudah ada di Papua, yang notabene tidak mampu memberikan perubahan besar di Papua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun