Perjuangan berat profesi keperawatan di Indonesia belum berakhir. Profesi yang berusiaseumur jagung lantaran undang-undang yang mengatur secara legal profesi baru saja diketok palunya 7 tahun silam, tergolong masih sangat muda dibanding Singapore (1957), IndIa (1949), Filipina (1929) apalagi Amerika Serikat yang pada tahun 1899 sudah berdiri. Jadi, kita tidak perlu bersusah payah membandingkan dengan mereka.
Agar maju pesat, kita harus lari extra kencang supaya bisa duduk bersanding bersama perawat-perawat dari negara-negara besar sekelas USA, Canada, Inggris dan Australia. Bahkan dengan Singapore saja, kita masih ngos-ngosan untuk berdiri sama tinggi. Perawat kita belum 'diakui' oleh Singapore. Jika kita kerja di sana, paling banter masih sedianggap sekelas Care Giver. Memang 'nelangsa' jadi perawat Indonesia.
Itu anggapan bagi yang tidak suka atau terpaksa jadi perawat. Tetapi tetap bangga bagi yang menikmatinya. Saya salah satu insan Indonesia yang dibuat bangga bisa memanggul profesi ini di Bumi Indonesia. Kita masih butuh waktu, tenaga, biaya dan fikiran agar sama dengan mereka di luar sana yang menyebut diri sebaga professional competent yang self-confident. Â Â
Tapi kita tidak punya pilihan mengapa harus lahir di Indonesia. Menjadi perawat, itu pilihan kita. Jika sudah jadi pilihan, kemudian sudah terlanjur terjun di dalamnya, rasanya kurang etis jika kita hanya minum airnya tapi tidak bersedia bersusah payah memelihara dan membinanya.
Kita patut salut dan acungkan jempol pada penggede-penggede perawat kita era 70-an yang memperjuangkan bagaimana supaya perawat bisa maju. Dari pendidikan selevel Penjenang Kesehatan, Pengatur Rawat, SPK, Akper hingga lahir pendidikan FKIP di UI pada tahun 1985, mereka berjuang keras untuk meraihnya. Tentu tidak mudah. Perawat Indonesia dalam sejarahnya tidak pernah lepas dari bayang-bayang profesi lain, yakni kedokteran. Itu harus diakui.Â
Perawat 'berhutang budi' kepada profesi sebelah ini. Diakui atau tidak, perawat-perawat senior kita yang sukses, baik dalam karir maupun finansial, digembleng oleh professor atau doctor dari profesi sebelah. Bahkan dari profesi seperti Farmasi, Gizi, hingga Kesehatan Masyarakat, mereka turut berperan menggarap bagaimana agar perawat Indonesa bisa tumbuh, berkembang, diharapkan menjadi 'besar' dan 'mandiri'.
Kini, usia organisasinya 47 tahun. Di tengah usia yang beranjak memasuki masa dewasa tua ini perawat Indonesia masih butuh waktu untuk berjuang keras, berbenah diri agar benar-benar menjadi perawat atau 'Ners' sebagian kalangan lebih suka menyebutnya.
Besok hari 'H', kedua pendekar, Bapak Harif Fadillah (FH) dan Bapak Edy Wuryanto (EW) akan hadir dalam munas ke sepuluh di Bali. Dua sosok besar keperawatan yang mengantongi gelar 'pakar' ini akan bertarung merebut siapa yang layak jadi 'Juara' dan bermahkota 'Ketua Umum'. Sebuah jabatan mulia. Mulia karena tidak dibayar dan suka rela. Suka jadi ketua, namun rela dibully sama teman-temannya. Berat kan? Yang ringan itu mencemooh, melecehkan atau merendahkan.
Di era informasi dan teknologi modern ini, orang boleh berbeda pendapat. Kita bebas ber-opini sepanjang bisa diertanggungjawabkan. Tidak asal njeplak orang Jawa bilang. Makanya, jika ada pendapat menggiring opini, siapa yang layak dipilih, sah-sah saja. Sepanjang tidak mencemooh, menghina dan melecehkan orang lain.
FH berasal dari Curup, masuk dalam Suku Rejang, Bengkulu. Konon orang-orang Curup yang berbahasa Melayu sangat menjunjung tinggi moral dan kekerabatan. Tampilan fisiknya berkulit kuning. Â FH menempuh program Diploma Keperawatan di Akper RS Islam Jakarta tahun 1991. Dianjutkan dengan S1 di UI tahun 1998. Fakultas Hukum tahun 2007. Demikian seterusnya hingga FH menyelesaikan program S2 dan doktoralnya bulan Maret 2021 lalu di Unair. Memasuki organisasi profesi PPNI tahun 2005 sebagai sekretaris 1, dan seterusnya hingga sekarang menduduki posisi sebagai Ketua Umum PPNI. Saat ini kita sedang menunggu apakah FH bisa lanjut duduk di peride kedua untuk posisi yang sama.
Di satu sisi, FH dianggap telah memberikan sumbangsih besar pada OP dengan ikut serta aktif semasa proses lahirnya Undang-Undang Keperawatan, walaupun saat itu FH belum menjabat sebagai Ketum. Posisinta diuntungkan saat menjadi Sekretaris Jenderal periode sebelumnya di bawah kepemimpinan Ibu Dewi Irawati, 2010-2015. Selama 6 tahun terakhir, FH banyak dihadapkan pada isyu-isyu besar terkait masalah hokum, registrasi, pekerjaan, gaji, hingga spesialisasi perawat. FH besar di organisasi profesi dan profesi lainnya yang ia raih, Hukum. FH menghadapi persoalan rumit dan boleh dibilang paling rumit dibandingkan periode kepemimpinan PPNI sebelumnya. Oleh sebab itu, kita patut hargai jika FH ingin melanjutkan visi misinya di lima tahun ke depan agar klop. Agar lengkap agendanya.
Di sisi lain, ada yang jenuh dengan kepemimpian FH yang dianggap tidak membawa perubahan yang berarti. Kita mengusung EW yang sebenarnya bukan pendatang baru, tetapi belum bisa diketahu sepak terjangnya dalam kanca nasional dan internasional keperawatan. Minimal FH pernah bicara di Jepang atau forum internasional lain. EW belum. Namun tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu, dengan pengalaman di parlemen dua tahun ini bisa membawa PPNI kea rah yang lebih baik. EW berasal dari Jawa Tengah, lulus Akper Muhammadiyah Semarang tahun 1990. Setahun lebih tua disbanding FH. Doktoralnya diambil di UGM. Latar beakangnya banyak dihabiskan di akademik yang FH tidak miliki.
Keduanya memiliki kelebihan. Keduanya memiliki kekurangan. Keduanya doctoral. Tetapi bukan itu yang dikehedaki oleh perawat Indonesia. Perawat Indonesia menghendaki kepemimpinan  masa depan adalah kepemimpinan yang cerdas, jujur dan berwibawa. Cerdas sebagai perawat kelas internasional yang mengedepankan prestasi akademik, menjunjung tinggi praktik, mengaktifkan dunia penelitian keperawatan agar bisa setara dengan perawat lain di dunia. Jujur karena perawat Indonesia sudah bosan dengan ketidak-terbukaan terutama masalah keuangan, anggaran dan rencana anggaran belanja organisasi, STR, seminar, pelatihan dan lain-lain kegiatan yang ada dananya. Berwibawa, karena perawat Indonesia tidak ingin dipandang dengan sebelah mata oleh rakyat, oleh profesi lain. Menjadi perawat cerdas, jujur dan berwibawa bukan persoalan panjangnya gelar. Sangat sederhana. Terlebih penekanan harus ada pada seberapa besar kita bisa meletakkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi.
Bagaimanapun, kita tidak bisa berharap bahwa pemimpin masa depan kita bisa mewakili suara semua orang. Â Keduanya tidak sempurna sebagaimana kita manusia. Meskipun demikian, kita boleh berharap, bahwa keduanya harus jauh lebih baik dari harapan kita.
Mari kita tunggu presentasi visi misi kedua Jawara itu besok mulainya di Bali. Yang terpenting adalah, siapapun pemenangnya, tetap kolega kita, perawat. Mari kita junjung dan dukung bersama. Â Â Â
Aceh, 20 October 2021
Ridha Afzal  Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H