Artikel ini bukan bermaksud untuk membela Akper, akan tetapi mencoba mengeksplorasi bagaimana masa depan program pendidikan diploma keperawatan di Indonesia lewat jalur Poltekkes milik Plat Merah ini.
Kini 20 tahun sudah umurnya. Prodi Keperawatan yang sekarang bukannya lebih baik dari pada Akper pada tahun 1980-an. Baik itu kualias lulusan, perolehan kerja, serta penjurusan. Kalaupun ada yang lebih baik, barangkali infrastrukturnya ok lah.Â
Jumlah kampus lebih dari 33 buah se Indonesia, jumlah doctor (S3) sekitar 400 bagus, jumlah guru besar 5 orang, OK lah meski sangat minimalis.Â
Prestasi tersebut diraih sesudah 40 tahun perjuangan, bahkan jika mulai tahun 1960 an (saat di Bandung) berarti usia Akper yang kini berada dalam tubuh poltekkes itu 60 tahun. Sudah Manula.
Lulusan Prodi Keperawatan saat ini tidak bisa saya katakan 'lebih baik' dari era tahun 70-80 an, dari tiga 4 sisi.
Pertama, masalah perolehan kerja. Dulu, Akper merupakan pendidikan kedinasan. Pendidikan kedinasan dijamin perolehan kerjanya oleh Pemerintah. Bahkan Akper swasta pun sangat mudah untuk mendapatkan status PNS. Kini tinggal kenangan.
Namun demikian, belum nampak tanda-tanda bahwa Prodi Keperawatan dalam payung Poltekkes mengadakan perubahan untuk mengatasi masalah perolehan kerja ini.
Beberapa langkah dilakukan oleh sedikit Poltekkes yang bekerja sama dengan Jepang. Patut diakui bagus, namun belum cukup, karena pengiriman ke Jepang juga menuai kritik.
Setidaknya ada 3 hal mengapa Jepang bukan pilihan ideal bagi perawat. Dari sisi bahasa Jepang bukan bahasa internasional. Jepan juga bukan kiblat profesi keperawatan. Dan nilai azas manfaat teknologi yang tidak aplicabe di Indonesia sedah baik ke Indonesia. Apalagi berangkat ke Jepang sebagai Caregiver.
Kedua, dari sisi jurusan. Kita bandingkan dengan perkembangan RS 40 tahun lalu. RS daerah yang berdiri 40 tahun lalu, saat ini sudah memiliki layanan sub-sub-spesialisasi.