Tiga dari presiden kita yang pernah kuliah di luar negeri adalah Presiden Gus Dur, Habibie dan Pak SBY. Apakah mereka mampu mengubah Indonesia? Butuh beberapa perspective agar kita mampu menjawabnya. Yang pasti, rata-rata orang Indonesia, jika ada sesuatu yang berbau luar negeri, bisa bikin bangga. Setidaknya demikian. Apalagi soal kuliah. Apakah dengan duit sendiri, beasiswa atau dibiayai oleh orang lain. Pokoknya rasa bangga itu pasti ada.
Suatu hari saya bertanya kepada seorang dosen di sebuah kampus  terkenal d Malang tentang mengapa program Bahasa Inggris di kampus tidak jalan, padahal beberapa dosen jebolan luar negeri. Ada 3 jawabannya. Pertama, birokrasi kampus yang ribet. Kedua tidak mendapat dukungan dari teman sesama dosen. Ketiga budaya kampus.
Terkait birokrasi ini tidak mudah. Ibaratnya, dalam kehidupan kampus itu, mahasiswa takut sama dosen, dosen takut sama Kaprodi, Kaprodi takut sama Dekan, Deka takut sama Rektor, Rektor takut sama Mendikbud, Mendikbud takut sama Presiden, Presiden takut sama mahasiswa. Ribet kan? Begitu seterusnya.
Kedua masalah dukungan dari teman. Orang kita ini kadang bikin pusing. Ada rekan yang membawa ilmu dan keterampilan baru anehnya tidak didukung, malah 'dimusuhin'. Akibatnya, mereka yang baru tiba dari luar negeri merasa asing di negerinya sendiri.
Makanya untuk membudayakan bahasa Inggris, Jepang, Jerman, Belanda, Arab atau apapun namanya, tidak gampang. Semua harus dimulai dari proposal nol, kemudian dapat persetujuan dari level bawah hingga level atas, sampai yang menyusun proposal jenuh dibuatnya. Bisa juga kadang putus asa.
Ujung-ujungnya, jebolan kampus luar negeri yang pulang kampung, saat balik kerja ke kampusnya sesudah tugas belajar atau apapun istilahnya, dengan segudang ide, tinggal ide. Begitu balik, pertanyaan terbesar yang menyambutnya adah: "Who are you?" Dia diperlakukan kayak dosen junior lagi.
Yang ketiga, budaya. Mahasiswa kita, zaman gini, kalau ada temannya yang ngomong pakai Bahasa Inggris, dibilang sok gaya. Ini yang bikin mahasiswa gak PD, malu, akhirnya ngambek, gak mau gunakan Bahasa asing meski kuliah ambil jurusan tersebut. Ini pula yang menyebabkan orang kita susah kalau mau menjemput peluang kerja di luar negeri.
Parah kan?
Jebolan kampus luar negeri itu senang-senang susah. Senangnya, siapa yang tidak ingin ke luar negeri? Siapa yang tidak bangga dengan predikat lolos seleksi ke Auatralia, USA, Canada, Inggris, Belanda, Jerman, Norwegia, Jepang atau Thailand?
Akan tetapi, susahnya, kuliah di sana, hidup bukan berarti senang-senang. Hidup di luar negeri, meski diberi uang saku, bukan berarti berleha-leha, rekreasi terus. Ada yang malah penuh keprihatinan, karena meninggalkan keluarga dengan seribu kebutuhan. Ditinggal kuliah ke luar negeri, bukannya dijamin hidup lantas berubah jadi lebih baik. Bukan tidak mungkin, malah sebaliknya.
Mengapa?
Karena penghasilan berubah. Pemasukan ekstra tidak ada. Yang ada justru pengeluaran ekstra makin bertambah. Kalau dari keluarga kaya, berkecukupuan tidak masalah karena ada dana. Yang jadi persoalan adalah jika berangkat kuliah dengan biasiswa, kemudian sudah berkeluarga, dari ekonomi pas-pasan. Untuk yang terakhir ini, umumnya candidate mikir hingga empat kali sebelum terbang ke manca negara.
Belum lagi sesudah balik ke kampus bagi yang statusnya tugas belajar. Saya punya teman yang disambut bukannya dengan bangga oleh kampus nya tempat belajar, dia malah diperlakukan kayak 'orang asing' yang tidak tahu apa-apa. Betapa sedih mendengar ceritanya.
Itulah sebabnya mengapa banyak doctor atau professor jebolan luar negeri yang putus asa karena tidak mampu mengubah keadaan. Tidak sedikit yang sebenarnya ogah balik ke Indonesia karena masalah ini. Mereka akhirnya milih tinggal di sana, untuk selamanya.
Bayangkan saja, hidup di Jepang serba kecukupan, fasilitas pendidikan, laboratorium dan penelitian semuanya ada. Begitu balikk, kondisinya 180 beda. Bukan hanya fasilitasnya saja yang tidak ada, yang namanya dukungan moral saja, bisa memelas. Pada akhirnya lulusan luar negeri, terkesan tidak mampu berbuat apa-apa.Â
Inilah sejumlah alasan mengapa kondisi pendidikan kita kita beubah seperti Malaysia. Kita saat ini sibuk ngurusin seragam dan mata pelajaran agama, sementara negara lain sudah sibuk meneliti alat-alat canggih lewa berbagai temuan. Kita masu berkompetisi masih belajar pidato bahasa Inggris, sementara negara lain semua bukunya tertulis dalam bahasa asing.
Perlakuan masyarakat kita terhadap jebolan luar negeri masi terbatas pada wah, senang atau bangga. Namun guna menerapkan ilmunya di negeri ini, nanti dulu. Karena kita mash suka barang eksport ketimbang bikin sendiri dengan keilmuan kita. Kita lebih suka kursus dari pada mencetak buku yang langsung dengan bahasa aslinya. Kita sibuk terjemahkan dalam bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris, saat skripsi sibuk lagi menerjemahkan ke Bahasa Inggris  hanya untuk bikin Abstrak. Sesudah wisuda, kursus bahasa untuk mengikuti hanya interview dan bikin CV.
Jadi, untuk apa dosen-dosen, doctor dan professor belajar ke luar negeri jika di abad Revolusi Industri 4.0 ini nyatanya kita masih sibuk ngurusin kursus dan terjemahan? Memang sangat dilematis. Tidak belajar ke luar ketingalan zaman. Belajar di luar hasilnya tidak mendapat penghargaan. Sayangnya kita tidak pernah belajar dari pengalaman. Atau mungkin karena kita hanya suka menimbun gelar dan berwisata?
26 March 2021
Ridha Afzal  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H