Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kuliahnya di Luar Negeri, Nangisnya di Dalam Negeri

26 Maret 2021   13:20 Diperbarui: 27 Maret 2021   20:24 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dilema jebolan kampus luar negeri (Source: Suneducation)

Mengapa?

Karena penghasilan berubah. Pemasukan ekstra tidak ada. Yang ada justru pengeluaran ekstra makin bertambah. Kalau dari keluarga kaya, berkecukupuan tidak masalah karena ada dana. Yang jadi persoalan adalah jika berangkat kuliah dengan biasiswa, kemudian sudah berkeluarga, dari ekonomi pas-pasan. Untuk yang terakhir ini, umumnya candidate mikir hingga empat kali sebelum terbang ke manca negara.

Belum lagi sesudah balik ke kampus bagi yang statusnya tugas belajar. Saya punya teman yang disambut bukannya dengan bangga oleh kampus nya tempat belajar, dia malah diperlakukan kayak 'orang asing' yang tidak tahu apa-apa. Betapa sedih mendengar ceritanya.

Saya juga ingin kuliah di LN (Personal Collection)
Saya juga ingin kuliah di LN (Personal Collection)

Itulah sebabnya mengapa banyak doctor atau professor jebolan luar negeri yang putus asa karena tidak mampu mengubah keadaan. Tidak sedikit yang sebenarnya ogah balik ke Indonesia karena masalah ini. Mereka akhirnya milih tinggal di sana, untuk selamanya.

Bayangkan saja, hidup di Jepang serba kecukupan, fasilitas pendidikan, laboratorium dan penelitian semuanya ada. Begitu balikk, kondisinya 180 beda. Bukan hanya fasilitasnya saja yang tidak ada, yang namanya dukungan moral saja, bisa memelas. Pada akhirnya lulusan luar negeri, terkesan tidak mampu berbuat apa-apa. 

Inilah sejumlah alasan mengapa kondisi pendidikan kita kita beubah seperti Malaysia. Kita saat ini sibuk ngurusin seragam dan mata pelajaran agama, sementara negara lain sudah sibuk meneliti alat-alat canggih lewa berbagai temuan. Kita masu berkompetisi masih belajar pidato bahasa Inggris, sementara negara lain semua bukunya tertulis dalam bahasa asing.

Perlakuan masyarakat kita terhadap jebolan luar negeri masi terbatas pada wah, senang atau bangga. Namun guna menerapkan ilmunya di negeri ini, nanti dulu. Karena kita mash suka barang eksport ketimbang bikin sendiri dengan keilmuan kita. Kita lebih suka kursus dari pada mencetak buku yang langsung dengan bahasa aslinya. Kita sibuk terjemahkan dalam bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris, saat skripsi sibuk lagi menerjemahkan ke Bahasa Inggris  hanya untuk bikin Abstrak. Sesudah wisuda, kursus bahasa untuk mengikuti hanya interview dan bikin CV.

Jadi, untuk apa dosen-dosen, doctor dan professor belajar ke luar negeri jika di abad Revolusi Industri 4.0 ini nyatanya kita masih sibuk ngurusin kursus dan terjemahan? Memang sangat dilematis. Tidak belajar ke luar ketingalan zaman. Belajar di luar hasilnya tidak mendapat penghargaan. Sayangnya kita tidak pernah belajar dari pengalaman. Atau mungkin karena kita hanya suka menimbun gelar dan berwisata?

26 March 2021

Ridha Afzal   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun