Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kuliahnya di Luar Negeri, Nangisnya di Dalam Negeri

26 Maret 2021   13:20 Diperbarui: 27 Maret 2021   20:24 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya juga ingin kuliah di LN (Personal Collection)

Tiga dari presiden kita yang pernah kuliah di luar negeri adalah Presiden Gus Dur, Habibie dan Pak SBY. Apakah mereka mampu mengubah Indonesia? Butuh beberapa perspective agar kita mampu menjawabnya. Yang pasti, rata-rata orang Indonesia, jika ada sesuatu yang berbau luar negeri, bisa bikin bangga. Setidaknya demikian. Apalagi soal kuliah. Apakah dengan duit sendiri, beasiswa atau dibiayai oleh orang lain. Pokoknya rasa bangga itu pasti ada.

Suatu hari saya bertanya kepada seorang dosen di sebuah kampus  terkenal d Malang tentang mengapa program Bahasa Inggris di kampus tidak jalan, padahal beberapa dosen jebolan luar negeri. Ada 3 jawabannya. Pertama, birokrasi kampus yang ribet. Kedua tidak mendapat dukungan dari teman sesama dosen. Ketiga budaya kampus.

Terkait birokrasi ini tidak mudah. Ibaratnya, dalam kehidupan kampus itu, mahasiswa takut sama dosen, dosen takut sama Kaprodi, Kaprodi takut sama Dekan, Deka takut sama Rektor, Rektor takut sama Mendikbud, Mendikbud takut sama Presiden, Presiden takut sama mahasiswa. Ribet kan? Begitu seterusnya.

Kedua masalah dukungan dari teman. Orang kita ini kadang bikin pusing. Ada rekan yang membawa ilmu dan keterampilan baru anehnya tidak didukung, malah 'dimusuhin'. Akibatnya, mereka yang baru tiba dari luar negeri merasa asing di negerinya sendiri.

Makanya untuk membudayakan bahasa Inggris, Jepang, Jerman, Belanda, Arab atau apapun namanya, tidak gampang. Semua harus dimulai dari proposal nol, kemudian dapat persetujuan dari level bawah hingga level atas, sampai yang menyusun proposal jenuh dibuatnya. Bisa juga kadang putus asa.

Ujung-ujungnya, jebolan kampus luar negeri yang pulang kampung, saat balik kerja ke kampusnya sesudah tugas belajar atau apapun istilahnya, dengan segudang ide, tinggal ide. Begitu balik, pertanyaan terbesar yang menyambutnya adah: "Who are you?" Dia diperlakukan kayak dosen junior lagi.

Yang ketiga, budaya. Mahasiswa kita, zaman gini, kalau ada temannya yang ngomong pakai Bahasa Inggris, dibilang sok gaya. Ini yang bikin mahasiswa gak PD, malu, akhirnya ngambek, gak mau gunakan Bahasa asing meski kuliah ambil jurusan tersebut. Ini pula yang menyebabkan orang kita susah kalau mau menjemput peluang kerja di luar negeri.

Parah kan?

Jebolan kampus luar negeri itu senang-senang susah. Senangnya, siapa yang tidak ingin ke luar negeri? Siapa yang tidak bangga dengan predikat lolos seleksi ke Auatralia, USA, Canada, Inggris, Belanda, Jerman, Norwegia, Jepang atau Thailand?

Akan tetapi, susahnya, kuliah di sana, hidup bukan berarti senang-senang. Hidup di luar negeri, meski diberi uang saku, bukan berarti berleha-leha, rekreasi terus. Ada yang malah penuh keprihatinan, karena meninggalkan keluarga dengan seribu kebutuhan. Ditinggal kuliah ke luar negeri, bukannya dijamin hidup lantas berubah jadi lebih baik. Bukan tidak mungkin, malah sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun