Istilah Entrepreneur, Entrepreneurship dan sejenisnya 2-3 tahun terakhir ini mulai redup. Tidak sehangat 5-8 tahun lalu, di mana-mana, hampir setiap profesi mengangkat istilah tersebut sebagai bentuk kekinian, updated. Mulai dari artikel, jurnal hingga buku, banyak yang mengupas tuntas masalah tersebut.
Pembicara juga ramai diundang ke sana- ke mari untuk memaparkan kiat-kiat atau strategi dalam entrepreneur. Pengusaha muda hingga yang senior ada dalam daftar antrian untuk mengisi seminar, workshop dan berbagai pelatihan entrepreneur. Pendek kata, seolah kita ini berada dalam abad 'Latah', ketika orang melakukan, kita harus pula melakukannya agar bisa disebut melek peradaban.
Setiap ide atau invovasi dalam usaha  yang menghasilkan uang, otomatis disebut entrepreneur. Padahal, jauh sebelum istilah ini memanas, orang banyak yang sudah melakukan, tetapi tidak menggunakan istilah tersebut. Mereka adopsi istilah tersebut dalam profesi yang ditekuni. Sebut saja Nurspreneur dalam profesi keperawatan, Teacerpreneur dalam keguruan, Pondokpreneur, Brillianpreneur, Mompreneur dan lain-lain.
Mengapa kemudian redup?Â
Setiap manusia mengalami masa-masa lahir, tumbuh, berkembang, menua, kemudian mati. Kita kenal dengan sebutan Sunatullah. Lumrah, wajar. Bukan hanya istilah ini. Dulu, masih ingat dengan musim Burug Lovebird yang harganya bisa mencapai jutaan Rupiah? Kini hanya Rp 30 ribu.
Dulu, marak tanaman mahal seperti Gelombang Cinta, Sri Rejeki, Kamboja Jepang. Kini jadi sangat murah bahkan dibuang. Dulu, bangunan rumah minimalis sangat trendy, kini sudah biasa. Tahun lalu, 3 bulan pertama Corona menyerang orang sangat gandrung dengan aneka Masker, kini sudah tidak lagi.
Pada intinya, setiap manusia mengenal proses ini. Kalau dalam sebuah cerita novel atau film, ada klimaksnya. Kemudian meredup lantas menghilang. Demikianlah yang terjadi pada Entreprenuer ini. Tetapi bukan pada esensinya.
Mengapa?Â
Pertama, karena manusia mengenal kebosanan dalam hidupnya dan itu wajar. Segala sesuatu yang dilakukan terus menerus dalam jangka waktu lama akan menimbulkan rasa bosan. Jangankan yang berbentuk istilah. Yang berupa makanan utama saja, Nasi misalnya, orang bisa bosan kemudian makan Kentang, Ketela, Roti dan lain-lain sebagai penggantinya.
Kedua, manusia membutuhkan sesuau yang baru sebagai refreshing. Manusia butuh hal-hal baru yang lebih menyegarkan serta memberikan motivasi. Seperti trend bunga, burung, model baju, rambut hingga rumah. Selalu ada ha-hal baru yng diinginkan dan diminati orang. Bahkan dalam dunia pendidikan juga demikian. Yang sudah lama dan membosankan akan ditinggalkan. Akan tetapi bukan tidak mungkin suatu saat akan muncul lagi.
Lantas apa gantinya?Â
Sebenarnya, esensi Entrepreneur adalah usaha dan dunia usaha. Dagang istilah tradisionalnya. Selalu ada dan tidak pernah lenyap karena itu kebutuhan manusia, sejak zaman dahulu kala. Orang selalu memiliki kebutuhan dasar yang butuh pemenuhan. Dari makanan, rumah, rasa nyaman hingga aktualisasi diri. Dalam dunia jual beli, manusia dituntut untuk menghasilkan pembaruan atau inovasi agar laku produk dagangannya. Dalam bentuk apa? Bergantung pada ide, tujuan, target, waktu, serta bagaimana marketing strateginya.
Jadi harus bagaimana?Â
Ikuti saja setiap perubahan dan perkembangan yang ada. Tapi harus tetap mengedepankan ide-ide baru, kualitas dan tidak lupa memegang prinsip marketingnya. Sepanjang produk yang dijual dibutuhkan oleh masyarakat, baik dan halal serta mengikuti aturan jual bei yang benar, tidak ada istilah tidak laku. Mau gunakan entrepreneur, dagang, usaha, dodolan, selling, shopping atau apapun, kebutuhan manusia tidak berubah. Mereka akan mencari produk guna memenuhi kebutuhannya.
Yang pasti, di era seperti ini, Covid-19, orang memburu dagangan khususnya guna memenuhi kebutuhan primernya, yang praktis, murah, berkualitas dan jika mungkin tahan lama.
March 24, 2021
Ridha Afzal Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H