Di Banda Aceh, Kutaraja tepatnya, terdapat Gampong Jawa orang Aceh menyebutnya, atau Kampung Jawa. Kampung ini dihuni oleh orang-orang Jawa yang ada di Aceh. Sejarahnya panjang. Daerah yang dulu indah ini, kini kumuh. Daerah di pesisir pantai yang mestinya bisa dijadikan tempat wisata ini menjadi salah satu daerah paling miskin di Aceh.
Kampung Jawa ini boleh dikata saat ini sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Sekitar 180 ton sampah dibuang ke sana per hari. Dampaknya tentu saja menimbulkan polusi udara, bau dan estetika atau keindahan.
Entah kapan mulainya Kampung Jawa ini, yang saya dengar bermula sejak adanya Kerajaan Demak di pesisir Pantai Utara Laut Jawa.Â
Pada abad ke-15 pasukan dari Jawa yang mengusir tentara Portugis waktu itu, meminta bantuan dari Kerajaan Aceh Darussalam. Dari sana kemudian cikal bakal orang-orang Jawa tinggal dan menetap di Aceh.
Gampong Jawa ini merupakan potret kelam orang Jawa di Aceh karena terkesan kumuh dan miskin. Bahkan sangat miskin. Aceh termasuk provinsi termiskin di Sumatera dan memperoleh Bantuan Dana Desa terbesar sesudah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sekitar Rp 686 juta per tahun setiap desa. Sejak tahun 2015 hingga 2018, sebanyak Rp 14.8 triliun dana yang dikucurkan untuk Provinsi Aceh (Beritagar, 9/9/2019).
Di Gampong Jawa ini, sulit mendapatkan banguan infrastruktur yang layak pakai. Sumur saja, tidak sehat. Saat Musim Kemarau, kering. Rumah-rumah di pinggir laut terbuat dari papan. Anak-anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
Sejak tahun 2012, seorang lulusan UIN Ar-raniry Banda Aceh menginisiasi Sekolah Sore untuk anak-anak di Gampong Jawa ini, bagi mereka yang tidak mengenyam bangku sekolah.
Melihat Kampung Jawa ini, seolah menjadikan bukti bahwa orang-orang Jawa yang berada di perantauan khususnya di Aceh, gagal. Padahal kawasan ini dulu masyhur dan terkenal di kalangan para pengenal laut.
*****
Namun begitu, di sisi lain, di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, tepatnya di Kecamatan Jagong Jeget, kawasan yang dulunya rimba raya ini, kini berubah menjadi sentra Kopi yang maju di Aceh. Di kawasan ini, transmigram asal Jawa sudah bermukim selama 38 tahun, sejak tahun 1982, berubah total hidupnya.
Orang-orang asal Jawa ini gigih membuka lahan baru, menyulap hutan menjadi lahan kopi yang subur. Dari jumlah penduduk yang hanya 50 orang pada gelombang pertama datang bertransmigrasi, disusul gelombang kedua 48 orang dan gelombang ketiga 50 orang, kini jumlah mereka mencapai lebih dari 10.000 jiwa.