Â
Pekan lalu, tetiba muncul di Group WA saya, foto John Sir (JS) bersama keluarga. Dengan segores keterangan di bawahnya, termaktub: Jhon Sir bebas.
JS, seorang perawat senior yang bertugas di Pulau Seribu, sempat mendekam di penjara beberapa bulan lamanya lantaran konflik dengan kolega, semasa profesinya. Ada yang bilang ini murni masalah pribadi, ada yag masalah organisasi, ada pula yang bilang ini murni masalah profesi.
*****
Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana rasanya tinggal di penjara selama enam bulan (?). Hidup yang semula biasa bebas, meski bukan orang kaya, kemudian pindah di balik jeruji besi, pasti sulit. Karena kebebasan tidak bisa diukur dengan uang.Â
Terlebih, tinggal di penjara, meski ada orang yang memahami, bahwa dipenjarakan tidak selalu di pihak yang salah. Namun lebih banyak yang berfikiran negative tentang penjara.
Dulu, pahlawan kemerdekaan kita, orang-orang besar, hidupnya akrab dengan penjara. Mereka keluar masuk, dari satu penjara ke penjara lainnya. Dari satu pulau, ke pulau lainnya. Namun mereka tetap memiliki jiwa Patriot, tidak gentar dengan segala rintangan dan ancaman penjajah. Hingga pemerintah kolonia bosa memperlakukan. Penjajah tidak tahu harus bagaimana.Â
Dengan ancaman dibunuhpun ibaratnya, orang-orang ini tidak akan mundur. Mereka tokoh-tokoh nasiona kita.
Akan tetapi, ada pula orang-orang yang picik jalan pikirnya. Mereka yang masuk dalam penjara adalah mereka yang diangap salah, menentang, criminal, suka berbuat onar, serta mengganggu ketertiban dan kenyamaan masyarakat umum.Â
Orang-orang seperti inilah yang dianggap layak menjadi penghuni hotel prodeo. Inilah persepsi umum dalam masyarakat kita. Â
*****
Saya tidak tahu persis bagaimana kisahnya, mengapa John Sir masuk penjara. Kalaupun John Sir bercerita sejujurnya, orang lain bisa saja memiliki interpretasi yang berbeda. Apa yang dianggap John Sir baik, nyatanya buat orang lain belum tentu benar. Sedangkan apa yang dianggap John Sir (JS) benar, belum tentu baik bagi orang lain.
Hemat saya sebagai orang yang awam akan hukum, inilah yang terjadi di masyarakat. Interpretasi yang salah atau yang berbeda ini, telah membawa JS ke rana hukum.Â
JS dianggap telah membuat orang lain tersinggung, sakit hati, dilecehkan atau dihina. Akibatnya, korbannya yang bersangkutan tidak terima dan mengangkatnya ke pengadilan.
Berbulan-bulan berlalu sudah. Saya juga tidak mengikuti bagaimana prosesnya. Pasti alot dan memakan banyak waktu tenaga, fikiran, serta uang. Keputusan terakhir yang saya lihat di medsos adalah: JS dijebloskan ke dalam penjara.
Suara Selama di Penjara
'Perang' dengan teman sejawat itu berat. Menormalisasikan perasaan yang berseberangan itu tidak gampang. Sebagai manusia biasa, terkadang tidak lepas dari yang namanya rasa benci, muak hingga dendam. Karena itu, tidak sedikit orang yang keluar masuk penjara, lantaran tidak mampu meredam semua ini. Apalagi mengambil hikmah di balik semua peristiwanya.
Bisa dimengerti apabila ini terjadi dulu pada zaman penjajah, di mana Soekarno dijeboskan ke dalam penjara oleh Belanda. Soekarno tidak henti-hentinya bersuara lantang, menuntut kemerdekaan, mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu menentang sang penjajah.
Yang dihadapi JS ini beda. JS berhadapan dengan kolega sendiri. Rekan sendiri dalam satu atap organisasi. Terlepas dari betapa sakit rasanya dikhianati, atau apapun namanya, ibaratnya baik yang menang ataupun yang kalah, toh yang JS hadapi adalah 'teman' sendiri.
Hampir setiap hari saya masih bisa melihat cuitan JS di medsos. Setiap kali itu pula saya rasakan nuansa 'kebencian' JS terhadapnya. Entah soal manajamen organisasi, entah soal uang, ataukah soal kepemimpinan.
Luapan kebencian JS seluruhnya dimutahkan di sana. Dalam bentuk tulisan besar (Capital Letter) warna putih, merah atau hitam, kemudian di-screenshot di FB atau WA.
Jujur saja, terkadang saya 'kasihan' sama JS, tetapi tidak bisa apa-apa. Yang membuat saya kasihan adalah, JS sepertinya belum mampu melihat realita, bahwa masuknya dia ke dalam Penjara adalah keputusan terakhir yang diambil oleh pihak pengadilan.
Yang saya harapkan adalah JS mengerti dan paham akan hal ini. Sehingga tidak perlu memperpanjang masalah yang membuat dia makin sedih, atau sakit hati berkepanjagan. Ini tentu akan merugikan dia sendiri.
Maksud saya, kalaupun JS di pihak yag benar, biarlah nanti Tuhan yang membalas, memberi hukuman kepada 'lawannya'.Â
Inilah keadilan sejati yang manusia tidak bisa mengambil alihnya. Saya berharap JS berhati besar dalam menerima kenyataan ini sebagai 'keputusan Tuhan'. Toh, masih bayak kebaikan yang bisa dikerjakan nanti setelah bebas dan penjara.
Pasca Penjara
Sebagai seorang perawat senior, menurut saya tidak lama lagi JS akan memasuki pension. Pasti banyak dirindukan oleh teman-teman seprofesi kisah-kisah 'heroiknya' selama masih muda serta perjuangannya dalam membangun profesi. Teman-teman pasti tidak ingin mendengar adanya 'konflik' berkepanjangan yang hanya akan membawa duka.
Dua tahun terakhir ini, dunia medsos keperawatan banyak diisi dengan diskusi terkait JS, seolah-olah tidak ada masalah lain yang perlu dibicarakan dalam profesi ini. Sementara profesi perawat di Indonesia menghadapi berapa masalah besar yang membutuhkan solusi.
Di antaranya adalah masalah Ukom, perolehan STR, kesempatan kerja, honor, upah yang tidak layak, pelatihan serta mahalnya pendidikan berkelanjutan. Tujuh masalah ini masih belum ditambah dengan Covid-19.
Adalah sangat bijak jika JS mengubah jalan fikirnya. Yang sudah, sudahlah. Biarlah berlalu. Hidup di dalam penjara itu merupakan masa lalu yang harus dikubur dan tidak perlu dikenang lagi, kecuali hikmahnya. Sebaliknya, ada baiknya kini fokus menatap masa depan.
Tidak ada masalah organisasi yang tidak ada solusi, terlebih, di Indoensia ini tidak lama lagi akan ada Konsil. Sebentar lagi, organisasi profesi kita akan dibina oleh Konsil Keperawatan.Â
Jadi, untuk apa menumpuk konflik sesama sejawat? Lebih baik duduk bersama, bicarakan dan cari jalan keluar bersama. Tengkar terus, tidak elok dipandang profesi sebelah.
Hindari saling olok-olok sesama profesi, yang hanya menimbulkan rasa saling benci dan bully. Sudah tidak ada gunanya lagi. Perawat muda kita butuh perawat-perawat senior yang akur, bersatu, serta bisa jadi panutan.
Kalau ada yang tidak benar, diingatkan saja. Jika tidak mempan diingatkan, diganti saja. Pasti banyak peggantinya yang lebih berkualitas di jagat Nusantara ini.
Welcome back...... John Sir...
My Best Regards,
Malang, 12 September 2020
Ridha Afzal Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H