Jakob Oetama. Waktu itu saya masih duduk di bangku SMP. Sesekali pernah lihat namanya tertulis di Koran Kompas. Meski tidak kenal dengan beliau, dalam hati saya berkata, orang-orang yang namanya tertulis dalam jajaran direksi ini pasti dulunya pernah nulis.Â
Saya pernah dengar namanya,Betapa senang jadi seorang penulis. Nama harumnya sudah otomatis dikenal karena kepiawaiannya dalam merangkai kata.
Sering saya baca di buku-buku tentang bagaimana kiat menulis. Sesering itu pula saya ketahui bahwa nulis itu "gampang". Sebetulnya, istilah "gampang" itu hanya sebagai penghibur, guna memotivasi agar orang rajin menulis.
Di Indonesia ini susah mencari penulis professional. Yang saya maksud adalah seorang penulis yang mempunyai landasan sebagai profesi tertentu sambil aktif nulis, kecuali hanya sedikit jumlahnya.
Dari ini saya sadar, ternyata, menulis itu pasti tidak gampang.
Salah satu bukti terkuat bahwa menulis itu tidak gampang adalah hari ini. Hari ketika kita kehilangan seorang Wartawan Senior, Legendaris, Bapak Jakob Oetama, yang telah puluhan tahun mengabdikan dirinya dalam dunia tulis menulis. Lulusan dari Universitas Gajahmada Jurusan Ilmu Sosial Politik tahun 1961.
Membaca perjalanan karirnya, Pak Jakob salah satu pendiri beberapa media cetak ternama di Indonesia, selain Kompas, Reader's Digest, the Jakarta Post serta pendiri beberapa anak perusahaan di bawahnya, pasti bukan perkara muda. Selain menulis, beliau pasti banyak mikir.
Nah, kata "mikir" inilah yang menjadi inspirasi saya yang membuat kalau menulis juga harus mikir. Bukan hanya mikir untuk menentukan tujuan menulis. Tetapi juga mikir, siapa targetnya, relevansinya dengan kekinian, isi atau muatannya, jenis dan gaya tulisan, serta butuh tidaknya analisa.
Benar juga. Menulis itu lebih dari mikir. Kalau hanya nulis tidak perlu mikir bisa sih. Tetapi hasilnya bisa jadi tidak menarik, tidak ada yang baca, komodistasnya tidak jelas, tujuan tidak ngarah dan lain-lain yang perlu mendapat pertimbangan saat menulis.
Jika demikian hasilnya, mengapa harus capek-capek menulis?
Pak Jakob pasti mengajarkan itu semua. Mendapatkan nama "Kompas" dari Bung Karno pun, Bapak Proklamasi kita, pasti bukan persoalan mudah. Karena kualitas karyanya lah, sehingga bisa dekat dengan orang-orang besar semacam Pak Karno.
Tulisan-tulisan Pak Jakob yang termuat, baik selama sebagai Editor, Ketua Editor, Redaksi, Pemimin Redaksi, hingga Presiden Komisaris beberapa media kondang, tentu melalui perjalanan panjang. Beliau pasti sudah mengalami manis getirnya, jatuh bangun dalam memperjuangkan karya-karyanya agar bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.