Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tutut Soeharto dan Puan Maharani, Dua Srikandi Fenomenal

7 September 2020   21:43 Diperbarui: 7 September 2020   22:10 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  Semua pejabat di era Kabinet Indonesia Maju ini, pasti mengenal dan pernah merasakan bagaimana pahit manisnya zaman Orde Baru. Zaman di mana kekuasaan penuh ada di tangan salah satu orang terkuat di dunia: Soeharto.

Siapa di dunia ini yang tidak kenal Soeharto? Orang kedua di Indonesia, sesudah Soekarno, yang namanya begitu populer, meskipun sudah tiada. Soeharto sempat membawa harum nama Indonesia. Terlepas dari segala kontroversinya, the Smiling General yang bergelar sebagai Bapak Pembangunan di Indonesia telah banyak berbuat jasa bagi negeri ini.

Saya pribadi kalau mau obyektif mengakui, tidak ada presiden selevel Soeharto sesudahnya. Begitu kuat pengaruhnya, berwibawa dan nyaris tidak ada 'musuh politik' yang sanggup menandinginya.

Kalaupun kemudian lengser pada tahun 1998, barangkali karena sudah saatnya Soeharto turun. Soeharto sudah lelah, capek meski dalam hatinya tidak ingin melihat Indonesia 'hancur' pasca era Reformasi dan krisis ekonomi.

Satu dari tiga anak Soeharto yang dikader jadi politisi adalah mbak Tutut yang nama lengkapnya Siti Hartijanti Rukmana. Tutut sempat jadi anggota MPR dari fraksi Golkar, kemudian ditunjuk jadi Menteri Sosial pada Kabinet terakhir sebelum Soeharto tumbang.

Mbak Tutut

Walaupun sebagai anak presiden, karir Tutut untuk maju sebagai anggota MRP dari fraksi Golkar cukup alot. Umur Tutut waktu itu 49 tahun.

Tahun 80-an, Tutut pernah mendirikan Kirab Remaja yang bertujuan untuk memupuk rasa cinta tanah air di kalangan anak-anak muda. Ia juga memperkenalkan organisasi berbasis agama seperti Rohani Islam (ROHIS) sebagai wadah untuk mencetak generasi beriman (TirtoID.23/1/2019).

Pada tahun 1991, ia mendirikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang sangat digandrungi anak-anak. Jabatannya sebagai Direktur Utama TPI sejak 1991 hingga 1998. Pada tahun yang sama, Mbak Tutut menjadi Ketua Koordinator Bidang Pemberdayaan Wanita DPP Golkar sampai 1997, merangkap Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) hingga 1998. 

Presiden Soeharto menunjuk mbak Tutut sebagai Menteri Sosial RI pada Kabinet Pembangunan VII sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998. Hal ini menimbulkan kontroversi serta menjadi penyebab semakin kuatnya rakyat mendesak Soeharto turun dari kursi kepresidenan. (TirtoID, 23/1/2019).

Puan Maharani

Berbeda dengan Tutut yang ketika diangkat menjadi Menteri Sosial menimbulkan kontroversi, tidak demikian dengan Puan Maharani. Walaupun memang Megawati sudah tidak menjadi presiden. Tetapi pengaruh Mega sebagai Ketua Umum PDIP dan peran Pak Jokowi menjadi Presiden sangat kental terhadap karir Puan dua periode Pemilu terakhir khususnya.

Puan, meskipun sebagai cucu Presiden Soekarno, dia sebenarnya menjalani hidup normal sebagaimana rakyat biasa. Puan mulai mengenal dunia politik sejak duduk di bangku SMP, ketika diajak keliling oleh ibunya, Megawati ke beberapa daerah. Demikian pula saat sekolah di SMA hingga lahirnya PDIP lahir pada tahun 1999. Perlahan namun intens, Puan mulai akrab dengan dunia politik.

Puan giat terjun di dunia politik pada tahun 2006, ketika bergabung dengan DPP KNPI Bidang Luar Negeri. Dari situ kemudian Puan ikut mencoba masuk sebagai Anggota Legislatif perwakilan Jawa Tengah V, di mana dia memenangkan suara sebanyak 242.504. 

Karir Puan melonjak, saat dipercaya oleh Jokowi sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di Kabinet Jokowi tahun 2014-2019. Sesudah itu, Puan lah wanita pertama di kursi kepemimpinan DPR RI (Wikipedia).

Di sini barangkali perjuangan yang membedakan antara Puan dan Tutut. Tutut lebih banyak terjun dalam kegiatan sosial masyarakat dan kepemudaan sebelum terjun ke dunia politik, sedangkan Puan, langsung ke politik. Pengalaman lain yang Puan miliki adalah pernah magang di dunia jurnalistik pada Majalah Forum Keadilan.  

Perlakuan Orangtua

Kedua-duanya, baik Soeharto maupun Megawati, tergolong gigih dalam berjuang. Masa dan perspektifnya yang berbeda. Soeharto lebih ke penekanan sosial ke masyarakatan dalam mendidik Tutut. Sedangkan Megawati langsung ke politik praktis. Mereka berdua menjadi inspirasi bagi anak-anaknya.
Puan menempuh pendidikan FISIP Jurusan Ilmu Komunikasi. 

Sedangkan Tutut di Universitas Trisakti. Tutut lebih banyak menghadapi tantangan selama perjalanan karirnya, termasuk kasus misalnya TV TPI. Perjalanan karirnya dalam mendirikan partai politik yang tidak mulus di Partai Peduli Bangsa yang mandeg (2002-2014).  

Demikian juga ketika bersama saudara laki-lakinya Hutomo Mandala Putra, di Partai Berkarya yang pada Pemilu 2019 lalu tidak mendapatkan kursi.

Setuju atau tidak, pada masa lalu, saat Soeharto berkuasa, memang peran bapaknya ikut berpengaruh dalam karir politik Tutut. Namun setelah itu, Tutut berusaha bangkit lagi, tanpa dukungan orang-orang yang dulu bahkan sangat dekat dengan Soeharto.

Perlakuan ini berbeda dengan yang didapatkan Puan, di mana Megawati sebagai Ketum PDIP yang semua orang tahu kekuatan politiknya selama dua periode kabinet terakhir. Megawati adalah jembatan terkuat bagi Puan, guna memuluskan langkah karir politiknya.

Masa Depan

Mbak Tutut sudah 71 tahun umurnya, sementara Puan masih 47 tahun. Tutut (sepertinya) sudah tidak begitu antusias lagi meneruskan perjuangan karirnya di politik. Puan yang relatif muda, tentu peluangnya masih sangat luas. Terlebih, Megawati masih berkuasa. Puan sangat membutuhkan Mega dalam sepak terjangnya selagi ibunya duduk di puncak kepemimpinan.

Polemik yang dihadapi Puan terkait Sumatera Barat kemarin bisa jadi Boomerang bagi Puan khususnya dan nama baik PDIP pada umumnya, manakala Puan tidak memiliki corrective action. Ini kedala terbesar yang dihadapi oleh Puan selama karir politiknya.  

Hanya saja, mengoreksi perkataan itu tidak sama dengan koreksi tulisan. Kalau tulisan masih bisa dihapus. Sedangkan perkataan yang suda dilontarkan, tidak mungkin ditarik ulang.

Apa yang dialami oleh Puan ini tidak pernah dilakukan oleh Tutut. Di sinilah bedanya.Tutut yang lebih terlihat dewasa, ketika duduk di kursi jadi MPR kemudian jadi Menteri, lewat gemblengan ayahnya sendiri saat Soeharto jadi Presiden.

Sementara Puan yang terjun langsung masuk di dunia politik, memang kadang tidak bisa dikendalikan oleh Megawati, terutama saat ngomong, yang bisa saja terpeleset lidahnya.

Tutut yang sudah malang-melintang di dunia soial dan politik, tentunya paham bagaimana harus menjaga 'lidah' dalam meniti karirnya. Kalaupun saat ini tujuan politiknya tidak tercapai bersama adiknya dalam Partai Berkarya, mungkin nasibnya memang sampai di sini. Tantangannya berat.

Kalau Puan, sebetulnya tantangannya tidak seberat yang pernah dipikul Tutut. Puan kini sudah  berada di puncak dan, untungnya, beban beratnya dipikul bersama oleh orang-orang sekitar yang sangat patuh pada perintah Ibunya. How lucky Puan is......

Malang, 7 September 2020
Ridha Afzal  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun