Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prabowo Dihadang

6 September 2020   07:10 Diperbarui: 6 September 2020   07:08 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  Gerindra optimis Prabowo masih bisa maju di Pemilu 2024 nanti. Terbukti dari beberapa survey, meski disebut terlalu awal, Prabowo masih tetap berada di puncak. Mengalahkan kandidat lain, seperti Ganjar, Ridwan Kamil dan Anies.

Dari berbagai simulasi versi Indo Barometer yang dilakukan Februari 2020 lalu, pasangan Prabowo-Puan, dari 3 simulasi yang ada, selalu ada di puncak tangga, dengan presentase masing-masing: 39.3%, 38.6% dan 37.0% (Detiknews.26/2/2020).

Posisi Prabowo ini masih akan diperkuat lagi dengan dukungan Perjanjian Batu Tulis, apabila perjanjian tersebut aktif lagi. 

Perjanjian antara Gerindra dan PDIP yang diselenggarakan pada tanggal 15 Mei 2009 di Batu Tulis, Bogor itu, antara lain adalah adanya kesepakatan bahwa Megawati akan mendukung Prabowo pada Pilpres 2014 (Detiknews, 26/2/2020). Jika ini terwujud, Prabowo bakal mendapatkan dukungan lumayan besar dari PDIP.

Faktor ketiga dukungan Prabowo adalah 'kedekatannya' dengan Jokowi. Secara politis, Prabowo akan mendapatkan nilai tambah dari kedekatan ini. Minimal meredahnya 'social and political distancing' orang-orang yang semula benci terhadap Prabowo sebagai rival Jokowi pada Pemilu 2019 lalu. Terlebih, dalam Kabinet Jokowi ini Prabowo ditunjuk sebagai Menhan oleh Jokowi.

Tiga faktor pendukung di atas, bukan bebarti Prabowo akan begitu saja mulus jika maju terus dalam Capres 2024.  

Mereka yang Dikhianati

Sehari sesudah mendengar kabar dari Jakarta bahwa Prabowo ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan, saya agak kecewa. Walaupun secara pribadi sebagai pro-Prabowo, saya mengerti apa arti politik yang selalu berubah-ubah. Saya, tidak sendirian.

Saya adalah satu dari 2.400.746 suara warga Aceh yang memilih Prabowo tahun lalu, di mana Prabowo meraih kemenangan mutlak (85.59%) (Detiknews.15/5/2019). Rekapitulasi nasional tersebut belum terhitung di 13 provinsi lainnya, di mana Prabowo menang (Tempo, 21/5/2019).

Mereka merasa bahwa kepercayaannya terhadap Prabowo telah dikhianati. Apapun alasannya, terutama penggemar Prabowo yang fanatik, menganggap apa yang dilakukan Prabowo tidak konsisten dengan isi orasi-orasinya.

Sangat bisa dimengerti ini terjadi, karena mereka tidak mengerti. Juga tidak mungkin Prabowo keliling lagi ke daerah-daerah di mana dia bersama Sandiaga Uno, memberi penjelasan kepada penggemar Paselon Nomor 2 ini, terkait mengapa Prabowo harus menerima pinangan Jokowi untuk masuk dalam Kabinetnya dengan posisi strategis sebagai Menhan.

However, rakyat kecil tidak paham, bahwa ini bisa jadi bagian dari agenda besar, buat kepentingan nasional. Bukan pribadi atau atas nama politik. Prabowo adalah ahli strategi yang tentu paham akan hal ini. Bedanya, rakyat di level bawa, mana mau tahu?  

Oleh karenanya, mereka yang merasa tersakiti ini, bukan tidak mungkin akan berubah haluan, kapok, tidak akan pilih Prabowo lagi di Pemilu mendatang.

Fanatik Jokowi

Sekalipun Jokowi memilih Prabowo dalam Kabinetnya, Prabowo yang semula 'musuh' menjadi 'teman', bukan berarti orang-orang terdekat Jokowi mengikuti begitu saja langkah Jokowi untuk berteman-ria dengan Prabowo.

Bagaimapaun, mereka pasti tahu siapa Prabowo. Mereka akan berfikir  dua kali, bahwa Prabowo juga 'man of strategy'. Prabowo adalah seorang ahli strategi. Mereka mikir bahwa gabungnya Prabowo dengan Jokowi merupakan bagian dari strategi Prabowo untuk menuju langkah berikutnya.

Kecurigaan inilah yang dijadikan alasan kuat sebagai pihak Jokowi yang fanatik, untuk tetap tidak akan pro-Prabowo sekalipun sudah merapat di barisan Jokowi dalam Kabinet ini. 

Provinsi Jawa Tengah, Jatim bagian barat dan selatan, Bali, NTT, Sulut, Maluku dan Papua, memiliki fanatisme tinggi terhadap Jokowi.  Betapapun Jokowi tidak menduduki jabatan sebagai Presiden lagi.

Anti Militer

Di masyarakat, masih ada orang-orang yang merasa 'phobia' dengan zaman Orde Baru, di mana cengkeraman sepatu militer sangat kuat. Waktu itu, semua jabatan dari tertinggi hingga Ketua RT/RW, dipegang oleh militer. Belum lagi mereka yang dijebloskan di balik tirai besi oleh Soeharto, tanpa ada kesalahan.  
Orang-orang seperti ini masuk dalam Barisan Sakit Hati (BSH) yang Prabowo pasti tahu. Mereka menganggap Prabowo merupakan bagian dari Militer, yang dikuatirkan akan membawa bangsa ini kembali ke zaman Orde Baru, seperti era Soeharto lagi.

Mereka sudah kapok dengan perlakuan otoriter Soeharto, terlepas dari berbagai prestasi yang diukir oleh the Smiling General ini. Kelompok ini anti militer. Mereka sudah trauma. Mereka tidak peduli, betapapun Prabowo berbusa-busa berusaha menjelaskan, bahwa dia bukan bagian dari rezim Orba, tidak bakal mempan. Belum lagi isu penculikan yang tidak pernah reda.  

Kesulitan menjernihkan suasana ini membuat 'musuh' Prabowo dalam kategori ini masih tetap eksis serta menjadi ancaman serius penurunan suara Prabowo dalam Pemilu 2024 sekiranya pasangan Prabowo-Puan tetap maju.

Butuh Perubahan

Kelompok keempat yang menjadi ancaman pasangan Prabowo-Puan atau siapapun nanti sebagai Cawapres nya nanti, adalah kelompok yang menginginkan adanya perubahan. Kelompok ini memiliki harga mati, yang tidak bisa ditawar. Mereka menginginkan adanya perubahan dalam kepemimpinan negeri ini.

Kelompok ini akan diwakili oleh pemuda-pemuda dan mahasiswa yang tidak bisa dikesampingkan. Jumlah mahasiswa di Indonesia mencapai 17 juta jiwa atau sekitar 11% dari total suara Pemilu 2019 lalu.

Mereka yang menginginkan perubahan ini tidak ada kaitannya dengan suka atau benci pada Prabowo. Mereka telah mempelajari jejak Prabowo di beberapa kali Pilpres yang mengalami kekalahan.

Bagi mereka, ini menjadi bahan pertimbangan. Mereka melihat adanya perubahan generasi di sejumlah negara seperti Finlandia, Haiti, Elsavador, Costa Rica, New Zealand, Korea Utara dan Irlandia. Usia para pemimpin negara-negara tersebut antara 30-40 tahun menjadi bahan inspirasinya.  

Sementara, Presiden kita termuda saat menjabat adalah Soekarno yang waktu itu berumur 44 tahun. Selebihnya, dijabat oleh Soeharto (47 th), Habibie (61 th), Gus Dur (59 th), Megawati (54), SBY (55 th) dan Jokowi (53 th).

Singkatnya, jika maju pada Pilpres 2024 nanti, Prabowo dipastikan akan menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dari Pemilu 2019 lalu. Jika tetap maju, Timses nya harus menyiapkan strategi yang jauh lebih cerdik daripada tahun lalu, sekiranya ingin meraih suara lebih.

Jangankan perolehan suara lebih. Guna mendapatkan suara yang minimal sama dengan tahun lalu saja, Prabowo dan Gerindra nya harus mereview ulang strategi pemenangannya.

Malang, 6 September 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun