Jadi, bohong bahwa politisi yang sudah dipenjarakan tidak bisa bermain di politik lagi. Inilah kebohongan keempat. Â
Lupa jika Sudah Berkuasa
Kebohongan kelima, kalau sudah berkuasa biasanya lupa. Itu hal biasa. Kalau tetap ingat, namanya 'malaikat'. Kalau diingatkan, selalu bilang, maaf, mereka lupa. Maklumlah, manusia.
Anehnya, karakter rakyat kita sangat pemaaf. Jadi tidak pernah ada masalah sekalipun pihak yang berkuasa lupa, tidak menepati janji-janjinya. Politisi lupa, bahwa mereka pada dasarnya merupakan 'pelayan' rakyat. Mereka lupa, sehingga yang terjadi kebalik. Kini, rakyat yang jadi pelayan mereka.
Rakyat jadi susah untuk menemuinya. Rakyat jadi dibuat sulit hidupnya. Birokrasi diperketat, pajak makin banyak. Regulasi juga ribet. Hidup tidak lagi mudah. Mulai dari sekolah, hingga mencari kerja dengan gaji layak. Apalagi di tengah Corona.
Tapi, jangan sebut politisi jika tidak mampu menjawab mengapa semua ini terjadi. Ujung-ujungnya, rakyat disuruh kerja keras. Sementara politisinya hanya tinggal tanda tangan.
Sesudah selesai jabatannya, tinggal menikmati 'uang tabungan' yang dulu dia terima ketika berkuasa. Tidak terpilih lagi pun pada Pemilu mendatang, tidak masalah.
Politisi, mungkin saja ada yang baik. Kalaupun ada, bisa dihitung dengan jari. Itu pun, dipastikan akan banyak kalangan yang musuhnya. Bisa jadi nasibnya kayak Novel Baswedan.
Bahkan, masyarakat pun akan dibuat tidak percaya dengan segala ketulusan dan kejujurannya. Seolah kita semua sudah dibuat nikmat, dengan segala kebohongan politiknya.
Malang, 1 September 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H