Dokter Indonesia (IDI) mengeluarkan sebuah edaran yang viral di medsos tentang himbauan mengheningkan cipta atas meninggalnya 100 orang dokter kita selama 5 bulan terakhir.
Dua hari lalu, tanggal 30 Agustus 2020, IkatanTentu saja Indonesia berduka. Bukan hanya karena kehilangan professional kesehatan yang sangat dibutuhkan. Bahkan setiap jiwa yang melayang karena dampak Covid-19 ini, kita semua berduka.
Sampai dengan bulan Juli lalu, jumlah dokter yang meninggal 65 orang, dan perawat sebanyak 39. Kemudian akhir Agustus ini jumlah dokter yang meninggal meningkat menjadi 100 orang. Berarti dalam kurun dua bulan terjadi peningkatan 35 orang (54%). Jumlah yang sangat tinggi. Belum diketahui pasti berapa peningkatan kematian di profesi keperawatan pada bulan yang sama. Â
Di dunia, angka kematian pada profesi kesehatan hingga bulan Agustus ini mencapai 3000 orang, yang terbanyak di Rusia (545 orang) diikuti Inggris (540) kemudian Amerika Serikat (507), sebagaimana disampaikan oleh Amnesti Internasional kepada Al Jazzera bulan lalu, yang dimuat di Kompas (14 Juli, 2020)
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa angka kematian pada dokter dan perawat tergolong tinggi? Padahal mereka tahu persis bagaimana usaha mencegah dan atau mengobatinya?
Kedisiplinan
Faktor terpenting di sini adalah disiplin diri. Saya seorang perawat. Jadi tahu sebagaimana semua orang profesi kesehatan juga tahu risiko tertinggi yang kami hadapi, jika kerja di pusat-pusat layananan kesehatan, khususnya rumah sakit (RS). Â
Bukan hanya Corona Virus saja. Kami petugas RS juga berisiko terpapar semua jenis peyakit infeksi yang penularannya bisa lewat percikan, udara, sentuhan (kontak kulit) hingga darah, petugas kesehatan tidak kebal. Perawat dan dokter terutama.
Perawat merupakan petugas kesehatan yang paling berisiko tertular pada tingkat paling awal.Â
Perawat lah yang biasanya menerima pasien kemudian mengkaji pada tahap ini. Sesudah itu baru dilimpahkan kewenangannya kepada dokter jika perlu. Sesudah dokter, umumya diberikan lagi kepada perawat untuk mengeksekusi tindakan sekiranya dibutuhkan pendelegasian.
Yang terlibat dalam penanganan pasien ini tentu saja bukan hanya perawat dan dokter saja di RS. Di awal, petugas administrasi juga terlibat. Pada pemeriksaan lain misalnya laboratorium, X-Ray, Farmasi, Fisioterapi, Gizi, hingga pengunjung juga ada kemungkinan terpapar.Â
Sekali lagi, bukan hanya kasus Corona saja. Namun penyakit lain tidak terkecuali, seperti Hepatitis, Tifus, TBC, Difteri, bahkan AIDS.
Oleh sebab itu, bagi pegawai RS, pasien termasuk penunjung, diharapkan memiliki kesadaran terkait pentingnya menjaga diri sendiri, melindungi diri sendiri agar tidak terjadi penularan. Bagi petugas kesehatan khususnya, tentu sangat penting. Karena yang mereka kerjakan adalah bukan hanya demi kepentingan keselamatan dan kesehatan pasien dan keluarganya (jika ada).Â
Yang tidak kalah pentingnya adalah memelihara dan menjaga diri sendiri. Bukan karena kasus Covid-19 ini saja. Tetapi secara keseluruhan.
Di sinilah pentingnya disiplin diri sendiri. Bagi petugas kesehatan, menjaga diri tidak terbatas pada pada masker, sarung tangan dan cuci tangan saja. Lebih dari itu, mereka harus ekstra hati-hati. Bahkan kecuali sangat diperlukan perlu, hindari kontak langsung/menyentuh pasien.
Mengapa jumlah dokter yang terpapar dari angka statistic di atas lebih banyak dari pada perawat? Bisa  jadi mereka lupa. Saya melihat beratnya tugas dokter, terutama saat Corona ini selama 5 bulan terakhir. Terlebih beban kerja di Unit Gawat Darurat.
Senior saya yang bekerja di Gawat Darurat di sebuah RS besar rujukan di Malang mengatakan, bahwa kerja di Gadar bebannya meningkat lebih dari 100% sejak ada Covid-19 ini. Dalam kondisi seperti ini, ada hal-hal yang kemungkinan terjadi di luar control petugas kesehatan.
Dengan beban kerja yang tinggi, otomatis akan terjadi kelelahan, capek. Daya tahan menurun, emosi bisa labil. Maklumlah, petugas kesehatan manusia yang bisa lupa.
Terlebih, mereka juga mengenakan Alat Pelindung Diri (APD). Secara fisik, APD ini memberikan beban. Selain APD berat, panas serta rasa kurang nyaman. Dalam jangka panjang, sangat mengganggu konsentrasi kerja.
Sementara itu, tidak ada tambahan jumlah pekerja. Tentu saja ini berisiko. Bukan tidak mungkin di tengah-tengah kerja akan ada rasa gatal atau ingin membuka barang sebentar Face Shield (Penutup wajah). Â Pada saat inilah ada cela, virus masuk, antara bersentuhan langsung atau lewat hidung atau mulut. Sementara, bisa jadi daya taha tubuh (imun) menurun.
Dokter Lebih Banyak yang Terpapar
Meskipun frekuensi dan durasi ketemu pasien secara kuantitatif perawat lebih banyak dibandingkan dokter kenyataannya dokter lebih banyak terpapar dari pada perawat. Hal ini menarik untuk dikaji.
Saya melihatnya, besar kemungkinan karena beban kerja yang menimbulkan stress. Tingkat stress dokter lebih tinggi dari pada perawat. Khususnya di IGD atau unit Corona. Tidak jarang, hal ini menyebabkan dokter lupa, misalnya: sering cuci tangan sesudah nyentuh pasien, makan tidak tepat waktu atau tidak mengenakan APD yang tepat.Â
Tiga hal ini sangat penting dalam upaya pencegahan terjagkitanya Covid-19.
Di tempat senior saya kerja di Malang, dikatakan 20% perawatnya, terpapar, Rapid Test Positive. 10% yang Swab Test positive. Angka ini tentu saja cukup tinggi. Dia tidak menyebutkan apakah berapa jumlah dokter yang terpapar.
Bagaimanapun gambaran statistic yag diberikan oleh IDI di atas cukup bisa dijadikan dasar bahwa minimnya jumlah tenaga kesehatan (dokter dan perawat khususnya), peningkatan beban kerja di lebih dari 100%, factor manusia (lupa, stress, disiplin) serta APD, turut memberikan kontribusi besar, terkait meningkatnya jumlah angka kematian di antara petugas kesehatan karena Covid-19 ini. Â Â
Himbauan pada Profesional Kesehatan, Pemerintah dan Masyarakat
Semuanya berpulang pada individu petugas kesehatan. Kita lah yang paling tahu dan mengerti bagaimana harus bersikap dalam usaha pencegahan dan penanganan Covid-19. Disiplin diri adalah kuncinya. Melindungi diri sendiri sangat penting, untuk semua kasus.
Perlakukan semua pasien memiliki kasus yang berpotensi menular. Jangan bersikap seperti pengadilan "Praduga tak Bersalah". Di kesehatan terbalik, semua pasien dianggap 'bersalah'.
Kepada Pemerintah, di tengah kesulitan ekonomi ini, sektor kesehatan mestinya mendapatkan prioritas. Minimal sebagai tenaga konktrak, sifatnya sementara. Penyediaan APD juga penting, selain sarana dan prasarana untuk cuci tangan, sarung tangan dan masker.
Kepada masyarakat, pastikan tetap sering cuci tangan, kenakan masker, jaga jarak dan hindari kerumunan atau batasi ke luar rumah. Jika tidak, jangan kaget. Jangankan orang awam, petugas kesehatan yang ahlinya saja, dalam hal ini dokter dan perawat, bisa terpapar.
Covid-19 tidak pilih kasih. Berhati-hatilah.
Malang, 1 September 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H