Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kita Dididik Jadi Pembeli dan Pengguna, Bukan Peneliti Vaksin

24 Agustus 2020   20:29 Diperbarui: 25 Agustus 2020   09:24 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
shutterstock via kompas.com

Penelitian Masa Kuliah

Budaya yang ada di SMA, masih membekas saat kuliah. Mahasiswa tidak pernah menuntut bagaimana agar daya kreativitas dan inovasinya bisa berkembang. Tujuan kuliah hanya satu: yang penting lulus, wisuda dan dapat kerja dengan penghasilan layak. Kalau perlu jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Kalau pintar, bisa dapat kesempatan untuk ikut program pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Tujuannya bukan untuk mengembangkan penelitian. Rata-rata untuk 'melancong' atau paling banter dapat 'tiket' agar bisa jadi dosen atau bisa kerja di BUMN.

Jika sudah lolos, mahasiswa yang pintar atau berprestasi jangankan mikir Vaksin, paling-paling ujung-ujungnya jika ingin jadi dosen, jurusan bergensi. Teknik, Kimia, Fisika, Geologi, Kedokteran atau IT. Kalau ada yang mimpi kayak Habibie, bisa dihitung dengan jari. Lebih enak jadi politisi.

Sama seperti waktu SMA, kondisi di kampus mirip. Mau melakukan penelitian, tidak ada fasilitas atau tidak diperbolehkan. 

Laboratorium hanya untuk pajangan agar dapat Akreditasi Kampus atau peningkatan nilai sertifikasi. Fasilitas kampus hanya pajangan agar disebut kampus bagus, ternama dan terakreditasi A.

Saya kuliah di jurusan Ilmu Keperawatan. Meskipun demikian, saya tidak melihat ada laboratorium klinis di kampus kami. Kampus tidak punya satu pun mikroskop. Lucu. Mahasiswa keperawatan tidak pernah meliat bakteri, cacing, mikroba dan lain-lain di kampusnya. Saya yakin, kami tidak sendiri.

Jadi jangan heran, pembuatan Vaksin, hanya mimpi. Yang kuliah di luar negeri, pulang balik ke Indonesia, kembali seperti semula, kayak orang kita lagi. Oleh-oleh dari luar negeri tidak bisa diterapkan di negeri sendiri. Akhirnya frustasi.  

Dunia Nyata

Banjirnya lulusan S3 di negeri ini hanya ijazahnya yang banyak. Kualitasnya tanda tanya. Seperti yang saya sebut di atas. Kalau soal akreditasi, banyak kampus yang sudah memenuhi syarat dan bisa dilihat di website nya Dikti. Namun soal kualitas, nanti dulu.

Sekarang ini, orang mengejar pendidikan S3 untuk tujuan kenaikan pangkat, jabatan atau masuk saja partai politik agar bisa kaya mendadak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun