Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Di Jepang Jaksa Mengundurkan Diri, Bukan Nobar Kebakaran

24 Agustus 2020   06:26 Diperbarui: 24 Agustus 2020   06:59 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi yang suka nonton film detective atau thriller, kalau ada berita kayak begini, cepat mendapat sorotan. Imajinasi bisa lari ke mana-mana. Saya suka dengan teka-teki yang disajikan dalam film-film seperti ini.  

Film Hollywood umumnya mengemas bagus. Film Korea terlalu banyak muter-muter. Kalau film India sudah bisa ditebak.  Sedangkan kalau film kita, belum bisa bikin skenarionya. Sebelum diputar, penonton sudah tahu jalan ceritanya.

Kalau dalam film, kebakaran seperti yang terjadi pada Gedung Kejagung itu, dapat dihentikan dengan sangat cepat. Mengapa? Ya....karena filmnya saja, hanya berdurasi 90 menit. Kecuali dalam filmnya serial.

Gedung terbakar, data tidak hilang

Koq bisa? Ya bisa saja! Jangankan gedung sekelas Kantor Kejaksaan Agung. Curriculum Vitae  saja, saya simpan di Google Drive bisa. Orang yang duduk di kantor Kejagung sana, itu bukan jebolan kampus abal-abal. Mereka juga punya dana cukup dari Pemerintah untuk bagaimana caranya menyimpan dokumen rahasia, jika suatu saat terjadi kecelakaan.

Lagi pula, tempat yang terjadi kebakaran tidak menyentuh bagian penyimpanan berkas. Terlebih, jika disimpan soft copy-nya. Maka bisa dipastikan, tanpa back up document, negara rugi besar dengan kebakaran seperti ini.
Siapa susah?

Hanya orang yang tidak punya rasa memiliki yang tidak susah. Tepatnya musuh negara. Itu gedung pubic property. Setiap wara negara yang bayar pajak, ikut serta, punya andil dalam pembangunan gedung dan fasilitasnya. Setiap warga negara dirugikan dengan adanya peristiwa nahas tersebut.

Berapa milyar negeri ini dirugikan? Bukan duitnya sih. Tetapi yang namanya sifat kebangsaan, membela persatuan dan kesatuan bangsa sudah lenyap bagi sang palakunya. 

Pelakunya tidak punya rasa sebagai warga negara. Patut dipertayakan loyalitasnya. Maklum, biasanya hanya orang yang jiwanya 'sakit' yang bisa melakukannya. Orang waras tidak akan mau atau bersedia.

Apakah Kecelakaan Biasa?

Orang tidak sekolah juga bisa menduga. Kebakaran sebesar itu di ibu kota, di kantor besar selevel Kejaksaan Agung, pasti bukan karena rembetan sampah yang terbakar atau karena arus pendek. 

Meski tidak boleh menuduh, kejadian seperti ini jadi pembelajaran yang sangat berharga bagi petugas keamanan kita. Juga pada masyarakat, untuk segera melapor apabila dijumpai hal-hal yang mencurigakan. Itu pertanda ada kerjasama antara masyarakat dan aparat.

Kejadian kemarin sungguh memalukan. Kita yang suka mengklaim mengedepankan gotong royong dan bahu membahu dalam banyak hal, ternyata mengetahui kebakara segede itu butuh waktu lama. Proses pemadaman lambat dan bisa jadi sehari.

Alasan keterlambatan juga kayak film-film murah. Karena macet jalanan di Jakarta, atau lambat pemberitahuan. Dikira kebakaran sekelas dapur rumah tangga.

Kita bukan negara kaya. Tetapi kayaknya tidak sulit banget kalau menyediakan dana untuk beli Helikopter guna tujuan pemadam kebakara seperti ini, agar cepat penanganannya. Seperti pemadaman kebakaran hutan di Kalimantan atau Sumatera.
Ironinya, ini tidak terjadi di Ibukota yang dekat dengan Istana Presiden, Kantor-kantor Kedutaan Besar serta lembaga negara lainnya.

Siapa Pelakunya?

Kecelakaan biasa itu tidak seperti kebakaran di Kantor Kejagung. Kantor segede itu, masak tidak kelihatan kebakarannya dalam jangka waktu lama dan penanganannya juga sangat lambat?
Petugas keamanan yang jaga ke mana saja? Lagi pula, masak tidak punya alarm pertanda kebakaran bagi gedung yang dihuni oleh para intelejen papan atas? Siapa pelakunya dan apapun penyebab nya, harus segera ditemukan.

Bukankah salah satu ruang yang terbakar adalah tempat pembinaan para intelejen negara? Kalau sampai kecolongan, berarti belum ada keharmonisan antara teori pembinaan dengan praktik lapangan. Dari kacamata negara, ini sungguh memalukan.

Apa Tidak Ada Petugas Piket?

Sarana dan prasarana untuk kepentingan keamanan, seharusnya menjadi prioritas utama bagi gedung sekelas Kantor Kejagung. Mestinya, Policy and Procedure nya jalan tanpa perlu ada komando. Alat perekam, CCTV seharusnya ada dii setiap sudut. Dan ada juga yang memonitor 24 jam. Ini bukan di pedalaman. Ini terjadi di tengah-tengah keramaian Ibukota sekelas Jakarta.

Di samping itu, alarm yang harganya tidak seberapa untuk ukuran gedung bergengsi milik pemerintah pusat, sudah menjadi kelayakan. Orang luar negeri, khususnya para Duta Besar yang tinggal di Jakarta, bisa geleng-geleng kepala dibuat oleh perlakuan aparat kita.

Mestinya aparat jangan hanya menonton. Kalau hal ini terjadi di Jepang atau Korea, pejabat atau Kepala Kejaksaan Agung akan diminta untuk mempertanggungjawabkannya. 

Di Jepang, seorang jaksa, Hiromu Kurokawa, mundur setelah adanya penyebaran virus Corona, hanya karena diketahui main Game Mahjong. Konon yang dilakukan bisa membuat malu Perdana Menteri Shinzo Abe. Ini bukan kantornya yang kebakaran lho! Di kita, boro-boro malu. Malah nonton bareng-bareng kebakarannya di depan gedung.

Jaksa Hiromu Kurokawa mundur. Source: Aljazeera.com
Jaksa Hiromu Kurokawa mundur. Source: Aljazeera.com

Kita Bisanya Hanya Menyalahkan

Kita hanya bisa menyalahkan. Ya...ini karena sistem tidak jalan. Kita rakyat kecil bisanya bayar pajak dan melihat apa yang para pejabat atau kepala kanor-kantor pemerintahan lakukan di lembaga tempat mereka bekerja.  

Tetapi kita bisa memberi masukan. Ke depan Quality Assurance harus diutamakan. Jika tidak paham, gunakan konsultan. Indonesia ini kaya orang pintar yang tidak digunakan. Sehingga kebakaran seperti ini sangat disesalkan.

Berapa kali kita alami jumlah kebakaran di pasar? Orang mungkin tidak peduli sekalipun menelan kerugian trilyunan Rupiah. Mengapa? Karena kerugian materi bisa dicari. Di pasar, hitungan kerugian  banyak yang milik individual.

Yang ini, kantor Kejaksaan Agung milik negara. Milik kita semua. Masak hanya menonton? Kejagung Terbakar di Ibukota Negara adalah aib di depan mata dunia yang terbuka bagi seluruh bangsa Indonesia.
 
Malang, 24 August 2020
Ridha Afzal
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun