Pengalaman Ibu Kartinah
Dua tahun lalu, Ibu Kartinah, istri Pak Mingan, penduduk desa terpencil di Trenggalek Selatan, Jawa Timur, didiagnosa menderita Kanker Kandungan. Sebuah penyakit 'menakutkan' yang belum ada pengobatan terbaik kecuali yang selama ini dikenal masyarakat luas: operasi atau kemoterapi. Hanya ada dua aternatif itu.
Itupun, tidak ada jaminan sembuh. Semula Bu Kartinah tidak banyak mengeluh karena difikir penyakit biasa. Akan tetapi terlambat, ketika tahu bahwa dia menderita Kanker tidak bisa dideteksi dini sudah stadium II.
Kalau operasi, berarti harus diangkat jaringannya, dalam hal ini Rahim nya. Padahal, belum tentu juga bisa sembuh total. Ada risiko terjadinya penjalaran pada jaringan sekitar. Operasi hanya dilakukan pada stadium dini, sebagai cara paling efektif mengurangi sel ganas dan menghindari penjalarannya.
Sedangkan dengan Kemoterapi, efek sampingnya tidak sedikit. Seorang senior saya yang profesinya sebagai perawat, saat menjenguknya sebelum ajalnya, tubuhnya sangat kurus, kering, muka sudah menciut, rambut gundul.Â
Kemoterapi ini dapat juga mempengaruhi sel-sel sehat pada kulit, rambut, timbul rasa nyeri, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, sesak nafas, kelainan detak jantung, perdarahan, mudah terkena infeksi, sulit tidur, depresi, sariawan, konstipasi dan rasa selah sepanjang hari (Alodokter, Kemenkes, 2017).
Kontan, Pak Mingan bingung harus bagaimana. Semua cara ditempuhnya. Dari dukun, terapi alternative, perawat hingga dokter. Semua dilakukan. Yang terakhir, dia mengikuti advis dokter.Â
Dari pelosok Trenggalek Selatan, harus bolak-balik ke Blitar, naik turun bukit hanya untuk mencapai jalan raya di Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek guna mendapatkan transport ke kota cari bus, menuju Kota Blitar. Butuh 3 jam lebih perjalanan.
Oleh pihak RS di Blitar disarankan dirujuk ke RS Dr. Saiful Anwar di Malang. Mereka berdua datang ke Malang. Dari RS di Malang disarankan operasi. Pak Mingan dan istrinya setuju. Rencana operasi pun dijadwalkan.
Dalam perjalanan, mereka mampir ke rumah kerabat, yang tidak lain tempat kami tinggal saat ini. Disarankan menemui seorang Kyai di Lawang, tidak jauh dari rumah kami. Konon kyai tersebut biasa mengobati berbagai macam penyakit. Pak Mingan dan Bu Kartinah setuju.
Rencana operasi akhirnya dibatalkan. Bahkan tidak pernah lagi ke RS. Mereka fokus ke pengobatan Alternatif tersebut. Kata Bu Kartinah, waktu pertama kali datang, tidak diapa-apakan. Hanya disentuh daerah di mana terjadi kanker, kemudian diberi dua botol air untuk diminum.Â
Bu Kartinah heran, kyai tersebut mengerti apa yang terjadi dan sudah dilakukan. Setengah percaya setengah tidak. Seminggu lagi disuruh kembali. Demikian seterusnya dilakukan selama lebih kurang 6 bulan.
Orang mungkin tidak percaya. Tetapi sesudah rutin melakukan terapi alternatif itu, keluhan sakitnya hilang. Setahun sesudah pengobatan alternative, Bu Kartina ke RS untuk control dan melihat perkembangannya. Sungguh sulit dipercaya jika hasilnya NEGATIF. Tidak ada lagi sel ganas yang disebut Carcinoma tersebut. Believe it or not! Â
Praktik seperti yang dialami oleh Bu Kartina marak di Indonesia. Kisah di atas merupakan kisah nyata. Saya mendapatkan penuturan langsung dari yang bersangkutan. Bukan rekayasa. Pengobatan alternative bukan bualan. Karena itu cukup laris.
Sayangnya, Romo, demikian panggilan Kyai yang membantu proses peyembuhan Bu Kartinah, sudah pindah rumahnya. Kami berusaha untuk mencari dan bertanya kepada tetangga-tetangganya tidak berhasil. Â
Sama dengan Romo, ada satu lagi Pak Kyai Abdullah di Situbondo. Tinggal di sebuah desa terpencil di daerah pelosok kecamatan Asembagus. Mas Kris dan mbak Ratna yang berniat membantu kerabatnya yang menderita Stroke ke Kyai Abdullah, harus sabar menunggu antrian selama7-8 bulan. Saking begitu banyak pasiennya. Kalau datang langsung kata receptionist nya, harus menginap 3-4 malam di sana karena antri.
Demikian larisnya metode pengobatan alternative di Indonesia saat ini. Entah karena minimnya layanan metode pengobatan konvensional, kurangnya dokter yang kompeten, rendahnya kualitas layanan, atau masyarakat saat ini sedang mencari cara-cara baru layanan kesehatan yang lebih murah, praktis tapi hasilnya kelihatan. Â
Metode pengobatan alernatif sangat populer di daerah-daerah terpencil. Kecelakaan lalu lintas, patah tulang, tidak dibawa ke RS, tetapi ke 'Sangkal Putung'. Ternyata bisa sembuh, tulang yang patah, tersambung. Mau tidak percaya? Lha kenyataannya ada. Â
Obat Tradisional
Ibu Sri, keluarga dekat tempat kami tinggal di Malang, kalau mengalami keluhan kesehatan, biasa beli Jamu Tradisional. Kalau capek atau pega-pegal, panggil tikang pijat. Sama seperti Pengobatan Aternatif yang sangat murah, pengobatan tradisional juga demikian.Â
Kadang hanya cukup bayar Rp 10 ribu, penyakit mulas dan diare terhenti. Kalau ke Perawat harus bayar minimal Rp 50 ribu di pelosok desa. Kalau dokter tarifnya sampai Rp 200 ribu minimal.
Pengobatan tradisional masih tetap eksis di negeri kita meskipun tidak mendapatkan dukungan 'maksimal' dari Pemerintah. Kita tidak melihat adanya program-program menggalakkan masyarakat menggunakan pengobatan metode ini.
Dulu zaman Orde Baru sempat dihimbau menanam TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Kini jarang terjadi. Atau mungkin karena sudah tidak ada lahan? Jamu Nyonya Meneer, Cap Djago, Sidomuncul, Air Mancur, Kidang Kencono, tidak nyaring terdengar iklannya. Â Kini tinggal dongeng. Hanya satu dua toko kecil yang menjual. Padahal angka kesakitan kita mecapai 15%, ata sekitar 10.5 juta orang di Indonesia. Â
Pusat Penelitian Kesehatan
Kita sering membaca di media terkait berita orang-orang kita pintar yang tidak dihargai karyanya di negeri sendiri. Â Misalnya, Muhammad Kusrin yang ditangkap polisi lantaran diduga merakit TV sendiri. Kusrin lulusan SD, namun memiliki kelihaian dengan belajar otodidak. Dia bisa merakit TV dari barang bekas yang disulap menjadi sebuah TV siap pakai.
Dia jual hasil ciptaannya dengan harga murah, sekitar Rp 350 ribu tiap unitnya. Sayangnya, kini dia berhadapan dengan pihak berwajib, serta terancam hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 2,5 juta karena melanggar hukum perdagangan yaitu produknya tidak memiliki label SNI atau Standar Nasional Indonesia (Bombastis, 2020).
Kita punya orang-orang pintar yang karyanya besar tetapi tidak dihargai. Ironisnya, mereka lebih dihargai di luar negeri. Misalnya, Eng. Khoirul Anwar, di Jepang. Ciptaannya yang terkenal adalah teknologi broadband yang menjadi cikal bakal lahirnya generasi mobile 4G LTE, yang sekarang banyak dikembangkan dan dipakai di berbagai negara di dunia.Â
Ada lagi Warsito P. Taruno, lulusan (S1-S3) Jepang. Pakar Jurusan Teknik Kimia, Teknik Elektro dan beberapa risetnya di Amerika Serikat serta saat menjadi dosen Fisika Medis di Universitas Indonesia, berhasil menciptakan alat yang dirasa akan sangat berguna bagi dunia kesehatan.
Perlakuan seperti ini yang membuat dunia penelitian kita, termasuk bidang kesehatan tidak berkembang sehat. Contoh konkrit bidang kesehatan lainnya adalah temuan Dr. Teraman, kini Menkes, Metode Cuci Otak yang digunakan secara luas di Jerman, namun tidak kita gunakan. Ini menandakan sebenarnya Kepakaran Medis tidak Mati di negeri ini. Hanya saja tidak berkembang sehat.
Oleh sebab itu, Matinya Kepakaran Medis bisa dicegah dengan menghidupkan semangat meneliti sejak dini. Di bangku SMA mestinya sudah mulai dikenalkan penelitian sesuai jurusan, dalam hal ini Biologi. Di tingkat perguruan tinggi perlu memiliki Research Center.Â
Jangan hanya laboratorium dan perpustakaan. Pihak Pemerintah diharapkan menghimbau pihak swasta untuk terlibat mendukung program-program ini di lapangan. Tidak hanya mempekerjakan tetapi miskin penelitian. Â
Apa yang terjadi pada Ibu Kartina, serta orang-orang lain yang lebih memilih dukun, jamu atau obat alternative daripada dokter pengobatan konvensional, karena merasa kepakaran medis kita belum mampu menjawab kebutuhan layanan kesehatan mereka secara maksimal.Â
Ini bukan hanya menyangkut harga layanan kesehatan dan pegobatan saja yang mahal. Akan tetapi termasuk kelangkaan pakar medis yang ada serta tidak merata.
Kita akan bisa hindari warga Indonesia yang memiliki kepakaran medis ini lari ke luar negeri jika  karyanya terakomodasi di negeri sendiri. Jika tidak, ke depan kita bakal kekurangan pakar dan tingkat ketergantungan tinggi terhadap produk-produk kesehatan luar negeri, makin meningkat.
Malang, 5 August 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H