Hari ini saya melihat foto lama, zaman penjajahan saat Belanda ada di Indonesia. Sebagai warga Aceh asli Sigli, saya tahu bagaimana kondisi dan infrastruktur Sigli.Â
Dalam foto tersebut terpampang sejumlah tentara Kerajaan Hindia Belanda atau yang dikenal dengan Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang senang naik kereta. Kini, jangankan kereta beserta relnya.Â
Bekasnya saja tidak ada. Bisa jadi dibawa pulang ke negeri asalnya, Belanda. Atau, bisa pula raib dicuri orang. Â
Pencurian barang-barang zaman dulu, tidak pernah sepi beritanya. Jangankan benda purbakala yang mahal harganya. Kayu atau besi rel kereta api saja, bisa hilang di negeri ini.Â
Demikianlah gambaran kondisi negeri ini. Entah apa karena begitu miskinnya, sehingga butuh uang untuk makan tapi tidak tahu harus mendapatkannya dari mengambil barang-barang padahal bisa mengakibatkan melayangnya banyak orang.
Awal tahun ini, ada berita besi-besi rel kereta api di Lampung lenyap dicuri orang. Tahun lalu, kejadian serupa juga ada di Sumatera Barat. Di Malang, saya dengar ada kayu rel kereta api dicuri. Kalau ganjalan rel dari kayu jati dicuri, peninggalan purbakala tidak kalah menarik duitnya kan? Â
Pencurian
Pencurian maupun penjarahan barang-barang berharga warisan leluhur di Indonesia kerapkali terjadi. Misalnya, yang terjadi pada Museum Nasional yang dikenal juga sebagai Museum Gajah mengalami pencurian fenomenal yang dilakukan oleh Kusni Kadut alias Kancil.Â
Mantan prajurit Perang Kemerdekaan pada 1945 hingga 1949 itu pernah bergabung dengan Tentara Pelajar dan bertarung melawan Belanda. Namun, sesudah itu ia menjadi perampok untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak 1953.
Ia mencuri di Museum Nasional dengan menyamar sebagai polisi. Mengambil 11 butir berlian dan membunuh satu petugas. Pencuri harta peninggalan terkena ini kemudian divonis mati dan dieksekusi pada 16 Februari 1980 (Wikipedia.com).
Polresta Pekanbaru Riau mendapatkan laporan kehilangan koleksi yang terjadi di Museum Sang Nila Utama milik Pemerintah Provinsi Riau pada tahun 2017. Koleksi yang hilang berupa tiga keris khas Melayu, satu pedang Melayu Sondang, satu piring celadon emas, satu kendi peninggalan era VOC, dan satu kendi janggut (Antara News.com).
Pencurian ini sering terjadi bisa karena lalainya pengawasan keamanan barang warisan leluhur tersebut atau system keamanan yang terlalu longgar. Bisa pula karena ketidakpahaman masyarakat akan pentingnya barang-barang kuno tersebut.
Diambil Penjajah
Saya tinggal di Singosari. Sebuah kota kecamatan kecil sebelum masuk kota Malang dari arah Surabaya. Singosari terkenal dengan riwayatnya, Kendedes, Ken Arok dan Tunggul Ametung dalam sejarahnya Kerajaan Singosari. Sebelum masuk kota Singosari, terdapat kota kecil lainnya Lawang artinya 'Pintu'. Saya menduga itu 'pintu gerbang' sebelum masuk kerajaan Singosari.
Wajah Singosari asli tidak kelihatan sama sekali. Warisan peninggalan Kerajaan Singosari tidak ada kecuali hanya sebagian kecil berupa Candi Singosari yang terletak di jalan Tunggul Ametung, Candi Renggo, sekitar 1 km dari pusat kota.
NDi depan kantor Kecamatan Singosari juga terdapat patung kecil yang kelihatan tidak terawat. Di dekat pintu masuk kantor kecamatan, sebelah kiri paling ujung, sebuah patung Buta dalam posisi duduk.Â
Patung seperti ini sangat umum biasanya ada di bagian depan sebuah bangunan, kuil, candi besar atau pintu kerajaan. Seolah menggambarkan pasukan penjaga keamanan.
 Ada lagi tiga patung serupa, agak besar ukurannya, yang terletak di jalan Tunggul Ametung juga, di tempat terpisah, dengan jarak yang tida terlalu jauh satu dan lainnya. Patung-patung ini rilif nya juga sama, berupa seorang Buta yang membawa Gada, yakni semacam pemukul yang ujungnya melingkar, berbentuk seperti duri-duri diyakini sebagai salah satu senjata Wishnu dalam peradaban Hindu. Selebihnya, tidak ada yang bisa dilihat.
Untungnya, Pemerintah Kabupaten Malang mempunyai niat baik untuk mengumpulkan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Singosari ini dalam sebuah museum, bernama Museum Singhasari. Museum ini diresmikan pada tanggal 20 Mei 2015, lokasinya di Perumahan Singhasari Residence, Desa Kl ampok, Kecamatan Singosari.
Isi bangunan museum Singhasari rata-rata berupa replica, karena barang peninggalan aslinya sudah tidak ada. Antara dicuri, hilang, hancur, di tangan kolektor atau dibawa oleh penjajah. Sudah bukan menjadi rahasia, bahwa benda-benda bersejarah Kerajaan Singosari itu berada di negeri Belanda.Â
Yang paling terkenal adalah patung Kendedes. Saat ini replica patung Kendedes berukuran besar, berdiri di pintu masuk kota Malang, tepat sebelum naik Flyover menuju jalan Ahmad Yani Utara, kecamatan Blimbing, Kodya Malang.
Tahun 2019 lalu, mereka juga mengembalikan 1500 benda budaya Indonesia yang tersimpan di Museum Nusantara di Delft, yang kini ditutup karena keterbatasan dana. Â Barang-barang tersebut berupa patung, prasasti, keris, naskah kuno dan senjata-senjata para raja. Â
Lapuk Ditelan Zaman
Sebagai orang Aceh, kadang kami merasa sedih karena tidak banya bisa melihat sisa-sisa kebesaran Kerajaan Aceh pada zaman dulu. Walaupun ada beberapa yang bisa dilihat, akan tetapi itu belum cukup memberikan jawaban terhadap rasa ingin tahu kami generasi muda di Aceh.Â
Sultan Iskandar Muda misalnya, kami hanya mendengar nama harumnya serta melihat makamnya. Kami tidak tahu warisan kejayaannya, misalnya mahkota, senjata, prasasti atau paling tidak perabotan seperti yang ada di Museum Maemon di Medan.
Â
Beruntungnya, kami masih bisa menikmati keindahan Masjid Raya Baiturrahman, Taman Sari Gunongan, Masjid Tua Indrapuri, Benteng Indra Patra, Pinto Khop, Meriam Kesultanan Aceh dan Makam Sultan Iskandar Muda. Paling tidak sisa-sisa peninggaan tersebut menjawab sebagian rasa ingin tahu generasi kini terhadap peradaban masa lalu.
Seperti halnya Kerajaan Majapahit yang punah, Kerajaan Doho Kediri, Kerajaan Islam Aceh juga tidak kelihatan bekasnya. Dalam sejarahnya, Kerajaan Islam Aceh yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia pada akhir abad ke 14 Masehi ini merupakan kerajaan besar. Berada di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam.
Kerajaan Islam Aceh pada abad 14 sudah mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, menentang imperialisme penjajah dari Eropa, serta memiliki pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan.Â
Kerajaan Aceh juga memiliki sistem pemerintahan dengan manajemen yang teratur serta sistematik, serta menjalin hubungan diplomatik bahkan dengan Kesultanan Ottoman di Turki.
Memang bencana alam, seperti gunung meletus, banjir, tanah longsor, hingga Tsunami, terjadi di bumi ini. Oleh sebab itu, besar kemungkinan barang-barang peninggalan zaman dahulu yang sangat berharga hilang, rusak atau lapuk alami karena kejadian tersebut.
Kolektor
Di Jalan Teuku Umar, Banda Aceh, terdaat toko yang menjual barang-barang antic, barang kuno bagi pecintanya. Seperti Art Shop yang menjual barang-barang seperti Rencong, Guci, Siwah, Piring Kuno, pisau, pedang dan lain-lain. Para kolektor menyukai tempat-tempat seperti ini. Di Kota Malang juga ada seperti Galeri Bangho, Dinoyo Antik, Pusat Uang Kuno dan lain-lain.
Kita tahu ada orang-orang yang suka mengumpulkan barang-barang antic atau kuno ini. Harganya bisa mencapai jutaan Rupiah. Ada pula yang tujuannya hanya untuk memiliki, tidak diperjual-belikan. Mereka kumpulkan barang-barang peninggalan menjadi salah satu hobinya.
Ada yang beranggapan bahwa mengumpulkan barang-barang ini menjadi salah satu investasi. Oleh karena itu tidak sedikit mereka yang suka travel hanya untuk mencari benda-benda 'aneh' ini di seluruh pelosok negeri.
Saya pernah ketemu seseorang yang memiliki benda semacam moci, yang kemungkinan berusia ratusan tahun. Kata pemiliknya benda ini ditemukan di halaman rumahnya sesudah mimpi 'aneh' disuruh menggali tanah tersebut kemudian didapatkan benda tersebut. Terlepas dari benar tidaknya, tetapi benda-benda tersebut bukan tidak mungkin banyak diminati oleh kolektor.
Raibnya barang-barang peninggalan purbakala, warisan nenek moyang zaman dulu boleh jadi karena masyarakat belum paham akan pentingnya menjaga benda-benda seperti ini untuk diserahkan kepada Pemerintah pada lembaga yang menanganinya.Â
Sedihnya, orang-orang yang menemukan ini biasanya secara sosial ekonomi kurang mampu. Akibatnya, mereka jual, kadag dengan harga sangat murah.
Jika ini yang terjadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Barang-barang kuno yang bernilai sejarah bisa raib di tangan-tangan orang yang kurang tepat.
Malang, 4 August 2020
Ridha Afzal Â