Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Rumah Sakit Masa Depan di Dekat Tempat Wisata

1 Agustus 2020   16:28 Diperbarui: 1 Agustus 2020   16:28 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari 90% teman-teman kuliah saya, jurusan keperawatan, sangat suka plesir, tour. Setiap kali liburan, yang dibicarakan adalah acara wisatanya ke mana. Tidak hanya mahasiswa, anak-anak sekolah secara umum juga sangat demen ngelencer.
Demikian pula orangtua, yang rata-rata saat ini selalu mengagendakan acara keluarga dengan wisata. Tidak harus mahal. 

Yang penting ke luar rumah, ke pantai, gunung, taman, laut, sungai, danau, taman mainan anak, merupakan sederetan agenda wisata yang penuh sesak kala liburan tiba.

Di Aceh, semula sedikitnya terdapat 37 tempat wisata . Di provinsi yang berpenduduk 4.5 juta jiwa ini memiliki banyak tempat wisata. Saat ini tempat wisata tersebut telah dikembangkan, kini menjadi 50 lebih tempat wisata baru. Ada wisata alam, keluarga, anak, air terjun, danau serta laut. Semuanya menarik.  

Di kota Banda Aceh saja, terdapat 18 destinasi wisata yang setiap akhir pekan banjir pengunjung. Ini menandakan bahwa berwisata sudah menjadi kebutuhan masyarakat.

Sebetulnya, yang membutuhkan wisata itu bukan hanya orang sehat. Orag sakit pun butuh. Bahkan jauh lebih membutuhkan ketimbang orang sehat.

Orang sakit butuh kandungan oksigen yang lebih banyak serta lebih segar. Bahkan suasa tempat mereka istirahat yang berbeda sangat mereka butuhkan. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang-orang sakit saat ini membutuhkan pengobatan, perawatan sekaligus berwisata. 

Orang kita, guna kebutuhan ini berani keluar kocek, pergi ke Singapore, Malaysia, Australia dan Thailand untuk berobat sambil berwisata.

Berobat Tidak Harus Mahal

Jumlah angka kesakitan kita per tahun mencapai 15.38% (BPS, 2019) atau sekitar 41 juta jiwa. Jumlah Rumah Sakit (RS) di Indonesia sekitar 5000 buah. Jika dirata-rata satu RS mampu menampung 300 pasien, maka maksimal kapasitas yang bisa masuk RS hanya 1.500.000. Katakanlah 20% dari angka kesakitan yang perlu opname (8 juta), masih 6.5 juta orang yang tidak kebagian tempat tidur.

Konsep pendirian RS harus di pusat kota adalah konsep tradisional. Bahkan konsep kolonial. Di pusat kota, selain padat pemukiman, padat transportasi, akses sulit, mahal akomodasi, mahal makanan dan minuman serta biaya hidup lainnya, semua orang sepakat bahwa di kota itu udara tidak sehat karena polusi. Selain, tentu saja mahal.

Padahal, prinsip pengobatan dan perawatan itu tidak harus mahal. Semakin ke desa, sebetulnya semakin murah biaya hidup, pondokan, makan, transportasi hingga labor cost. Inilah yag diterapkan di India dan Thailand.

Jadi, tidak ada alasan bahwa perawatan di daerah atau yang dekat tempat wisata akan makin mahal. Justru sebaliknya. Pengobatan dan perawatan di tempat-tempat terpencil atau daerah wisata, akan makin murah dan hemat  
 
Back to Nature

Kembali ke alam semua hanya dominasi orang-orang kaya. Kini semua kalangan, semua lapisan masyarakat membutuhkan rekreasi. Guna menuju tempat rekreasi, tidak lagi sepert dulu yang harus menempuh waktu berjam-jam. Saat ini, di Kecamatan Tumpang (Kabupaten Malang) saja misalnya , terdapat sekitar 10 air terjun tempat wisata.

Dari pusat kota kecil Tumpang, hanya berjarak sekitar 10 km paling jauh. Sementara kalau ke RS di Malang, butuh 25 km. Sedangkan di RS daerah di Tumpang, kapasitas minim dan sangat terbatas.

Dengan mendirikan RS wisata di dekat tempat-tempat rekreasi, banyak yang terbantukan. Bukan hanya pasien dan keluarga. Masyarakat setempat juga terbantukan ekonominya. Mereka bisa jualan makanan, tarnsportasi juga laku, bisnis secara umum terdongkrak.

Kembali ke alam adalah impian banyak orang di era mileneal saat ini. Kita butuh udara segar, suasana pemandangan alami, sejuk dan menyegarkan. Berobat dan istirahat di daerah pedesaan, membantu proses penyembuhan makin cepat, akses lebih mudah dan lebih murah.  

Sumber Daya Manusia

Lulusan pendidikan keparawatan yang mampu ditampung oleh Pemerintah hanya 15% dari 42.000 lulusan per tahun. Dengan digalakkan Medical Tourism, akan membantu terserapnya tenaga kerja profesi kesehatan. Bidan, perawat, fisioterapi, gizi, radiologi, laboratorium dan juga dokter. Semuanya terbantukan.

Oleh karena itu, kita tidak akan kekurangan SDM bilamana sektor ini dibuka. Justru akan memperkaya khasanah ilmu pengobatan dan keperawatan. Khususnya yang bersifat tradisional. Kita mestinya bisa kembangkan model pengobatan tradisional pula pada saat yang sama. Seperti yang teradi di Thailand, China dan India.

Mereka bukan hanya mengembangkan kedokteran dan keperawatan konvensional, namun yang tradisional juga mendapatkan perhatian. Dengan demikian akan terjadi persaingan yang sehat dari kedua disiplin ilmu ini.
Harus diakui bahwa tidak semua orang suka pengobatan konvensioanal. Sebaliknya tidak sedikit yang milih cara-cara tradisional. 

Kedua-duanya perlu mendapatkan kedudukan yang proporsional di bawah naungan Kementrian Kesehatan. Bagaimanapun dalam sejarahnya Indonesia pernah kaya akan cara-cara pengobatan dan keperawatan tradisional ini.

Sayangnya metode ini tidak berkembang subur seperti Jamu Jago, Jamu Nyonya Meneer atau Jamu Sido Muncul. SDM pengobatan dan keperawatan tradisional ke depan akan terancam punah jika cara berfikir kita hanya berorentasi pada teknik kedokteran moderen.

Sumber: Ticadoc.com
Sumber: Ticadoc.com

Investor

Medical Turism kita masih kalah start dengan India, Malaysia, Singapore, Thailand dan China. Mereka duluan berjalan. Akan tetapi bukan berarti kita tidak bisa memulai. Hanya saja, kita mungkin butuh bantuan investor.

Orang Indonesia ini sebetulnya di satu sisi kaya ide. Di sisi lain, miskin ide. Misalnya, sampah. Sesudah dibuang, masih dibongka-bongkar lagi, dicari mana yang masih bisa dimanfaatkan. Kelapa, dari pohon, buah, akar, daun, hingga lidi, semuanya dipakai. Demikain pula dengan singkong. Kita sangat kaya dengan ide memberdayakan.

Hanya saja dalam hal tententu kita terlalu saklek dan tidak mau membuat inovasi. Di antaranya pendirian RS. Dari dulu mengapa harus di kota? Kita juga berasumsi bahwa RS itu identik dengan biaya mahal. Padahal tidak demikian. Kalau kita lihat cara-cara pengobatan dan keperawatan ala India, sangat murah dan terjangkau rakyat kecil.

Untuk tahap awal, mungkin kita butuh investor, karena kita belum punya pilot project terkait Medical Tourism ini. Investor dibutuhkan sebagai pioneer, pemberi contoh. Ini penting, sekaligus digunaan sebagai pemantik. Agar yang lain bisa menyontoh. Namanya juga investor, bisa dari orang asing. Soalnya, orang kita kadang lebih suka 'iklan gambar asing' ketimbang diri sendiri.

Tantangan

Pemerintah pusat dan Pemda belum terlalu serius hingga saat ini terkait potensi wisata kesehatan ini. Sebagai contoh pengobatan dan perawatan tradisional tidak terdengar gemanya. Padahal, itulah milik kita. Seperti lulur, pijat refleksi, pijat bayi, akupuntur, serta aneka jamu tradisional. Itu bukan berarti pengobatan konvensional tidak dapat dukungan. Mereka tetap jalan.

Persepsi public yang lekat hingga kini adalah pengobatan dan perawatan modern itu mahal dan medical tourism itu lebih mahal. Ini yang harus disosialisasikan oleh aparat Pemerintah. Caranya bisa dengan membuat pilot project. 

Misalnya menunjuk beberapa Puskesmas yang kinerjanya bagus sebagai pengelola Wisata Kesehatan. Dibantu oleh dinas Pariwisata dalam promosi iklannya. Tawarkan jenis layanannya sambil menikmati wisata alamnya.

Pada tahap awal, barangkali terasa berat, karena belum mendapat dukungan sepenuhnya mungkin bahkan dari professional kesehatan sendiri yag lebih suka suasana 'kota' dari pada 'pedesaan'.

Jika ini yang terjadi, memang agak berat. Tapi kapan majunya Medical Tourism jika penggerogotan terjadi dari dalam?

Malang, 1 Agustus 2020
Ridha Afzal 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun