Dinasti Politik Lokal
Aku putuskan ke luar dari Aceh, kerja sebagai staff perawat di sebuah klinik milik pondok pesantren cukup kondang di Banda Aceh. Bukan karena aku tidak pandai bersyukur. Tapi aku butuh perubahan, masa depan dan harus hidup sebagai layaknya seorang professional. Idealis? Tidak juga. Biasa saja. Digaji dengan kurang dari Rp 2 juta, siapa betah? Tunjangan tidak ada walaupun makan dan pondokan dapat.
"What???" Tanya teman-teman. Langsung, didukung untuk mengubah diri, meski harus pergi dari Tanah Rencong.
Bersama aku, menyusul staff lainnya, ikut hengkang, entah dari klinik atau rumah sakit (RS) yang berbeda. Perawat-perawat senior atau yunior di bawahku juga ada yang mengambil keputusan serupa. Mereka rata-rata digaji hanya Rp 700 ribu. Anehnya, lembaga-lembaga yang ngasih bayaran segitu, merasa dengan bayar Rp 2 juta kepadaku, seolah sudah merasa memberi lebih.
Kami sangat heran. Padahal para pemilik usaha layanan kesehatan berpenghasilan besar lewat hasil kerja kami. Sumbangsih kami tidak dianggap berperan. Mereka malah bilang, kalaupun kami ke luar, tidak masalah. Masih ratusan yang antri ingin kerja.
Itulah masalah yang dihadapi oleh pekerja kesehatan di negeri ini. Belum lagi profesi lainnya yang tangisnya tidak kedengaran. Mereka tertawa di depan kami bukan karena bahagia. Namun karena tidak ingin kami mengetahui deritanya.
Menurutku, ini adalah bagian dari permainan politik kelas Teri. Permasalahan seperti ini sudah berlangsung beberapa decade. Tetapi tidak kelihatan. Tida ubahyanya mafia yang dikemas dalam dinasti politik. Â
Teman-teman seprofesi kami sendiri ironisnya, kurang kompak. Mereka banyak yang rela tidak dibayar. Kerja pontang-panting, banting tulang, tidak mendapat apresiasi atau penghargaan, masih juga diteruskan. Bukannya aku tidak setuju dengan misi kemanusiaan perawat ini. Tetapi apa yang terjadi di lapangan kemudian adalah, kita tidak ada harganya. Saya katakan: kita ini sepertinya diperbudak.
Aku lulusan dari sebuah kampus swasta dengan predikat sangat memuaskan. Aku rasa dengan predikat seperti ini cukup mudah untuk mencari kerja, di Aceh ataupu di luar Aceh. Di kampus aku sebenarnya ditawari untuk jadi dosen. Tapi untuk apa jika nilainya hanya mengabdi tanpa penghargaan secara materi?Â
Dari daerah tempat aku kuliah, di Banda Aceh, kemudian pindah ke Malang. Dengan harapan ada perubahan nasib. Apakah di Malang lebih baik? Minimal, aku tidak terkungkung di lembah yang sama, sekalipun mendapat penghargaan berupa materi serupa.
Karena dinasti politik di daerah, aku sangat memaklumi mengapa teman-teman betah hingga bertahun-tahun di Aceh sana. Sebagian besar mereka tidak punya pilihan. Apalagi bagi yang sudah berkeluarga. Berat. Banyak perawat sebenarnya yang baik dan sangat tulus dalam kerjanya. Namun manajemen tempat mereka bekerja tidak mau tahu.
Apa pengorbanan seperti ini masyarakat tahu?Â
Aku adalah portret generasi muda Aceh yang berprestasi, memiliki latar belakang berorganisasi, kompetensi, teregistrasi sebagai profesi, tapi nasib ya ...gini-gini ini. Apa yang aku lakukan bukanlah sebuah pemberontakan. Namun lebih dari sebuah proses, bahwa politik yang terjadi di sekitar diri ini harus diperangi dengan politik dalam diri sendiri.
Dinasti Politik Profesi Tingkat Nasional
Sebagai bagian dari profesi, aku tidak perlu mengumbar tentang jasa baik perawat. Harapanku ke depan, minimal, harus ada keseimbangan perhatian antara pihak Pemerintah, manajemen institusi, RS atau klinik, kepada nasib rekan-rekan kami. Jangan hanya 'diperas'. Yang diperhatikan hanya profesi kesehatan lain, terkesan berat sebelah. Sementara perawat, maaf, kadang diperlakukan lebih rendah ketimbang Assistant Rumah Tangga (ART).
Sorry mengatakan ini, karena aku alami sendiri. Bayangkan, kebijakan di banyak RS sangat sering tidak berpihak kepada perawat. Kalau ada yang salah, pasti perawat tempat pencariannya, meskipun bukan perawat yang melakukan.
Pernah, saat ada seorang rekan yang dinas, di sebuah pavilyun RS mengeluh, tengah malam, bel berdering. Seorang pasien memanggil, ternyata apa? Hanya minta minum. Padahal, disekelilingnya, ada 3 orang pembantu nya. Manajemen RS tidak mau tahu yang seperti ini.Â
Peran perawat bukan sebagai adviser bagi pasien, tetapi 'pembantu'. Semuanya harus di kerjakan perawat. Manajemen tidak bisa membedakan mana yang mestinya dikerjakan oleh pembantu perawat dan mana yang harus oleh perawat.Â
Pada kesempatan lain, pasien manggil. hanya karena ada nyamuk di kamarnya. Perawat diminta untuk mengusirnya, namun tidak boleh gunakan obat nyamuk.
Kalau Anda tahu pekerjaan perawat, mayoritas di RS, tidak lebih perannya hanya sebagai  general helper atau General Technician. Sayangnya kita bukan di USA.
Perawat-perawat di RS besar kadang dikirim untuk ikuti seminar, pelatihan atau workshop, gratis. Namun, begitu hasilnya ingin diterapkan di lapangan, ternyata pihak manajemen RS, bahkan direktur bilang,: "Tidak perlu!" Coba, bayangkan bagaimana perasaan perawat?
Â
Di satu sisi, perawat dituntut untuk memperbaiki kualitas layanan. Di fihak lain, manajemen menolak adanya perubahan. Pelatihan, workshop, seminar yang dibiayai manajemen RS tidak lebih dari Topeng, yang sejatinya tidak ada manfaatnya. Bukankah ini semua bagian dari permainan politik yang sudah kronis berlangsung, tanpa ada yang sanggup mengubahnya. Â
Aku sadar, tidak semua pusat layanan kesehatan di negeri ini memperlakukan perawat kurang fair. Mungkin ada yang baik. Tapi kejadian seperti yang aku kisahkan di atas bukan rahasia lagi. Rekan-rekan perawat banyak yang pilih berdiam diri lantaran tidak ingin ramai.
Acapkali, perawat selalu menutupi kisah-kisah sedih mereka. Apalagi yang berstatus honorer. Mereka lebih banyak diam, meskipun diperlakukan tidak adil. Pikirnya, tidak ada gunanya bersuara. Perawat serba dilematis.Â
Mau pindah ke klinik atau RS lain, bisa jadi digaji lebih kecil. Belum lagi status di mana dia harus mulai lagi dari bawah. Mau ikut program pemerintah susah, mau ikut ke luar negeri bekal bahasa sangat kurang. Di swasta pun, gaji tidak seberapa.
Inilah gambaran akibat permainan dinasti politik dalam instansi yang berakibat pada profesi kami. Saya katakan dinasti politik karena pemainnya itu-itu saja, tidak berubah. Ada yang umurnya 70 tahun masih tetap bercokol sebagi 'Kaisar' di dalamnya.
Dinasti Politik Era Digital
Kini, di zaman Digital, diperparah dengan adanya issue Pilkada serentak dengan pelumas Dinasti Politik. Semua pejabat, pimpinan di berbagai lembaga, ramai-ramai mengajak adik, anak, keponakan, sepupu, ipar dan saudara tiri lainnya, ramai-ramai diajak untuk gabung dengan 'kerajaannya'. Seolah negeri ini milik mereka. Seolah ini adalah keluarga kerajaan.
Kita urut saja, Pak Soekarno meninggalkan Ibu Megawati. Pak Harto, menyisakan mas Tomy dan mbak Tutut. Pak Habibie, maaf saya tidak atau belum lihat anaknya. Gus Dur, ada Yenny Wahid. Ibu Mega, anaknya ada Puan Maharani. SBY, ada Agus Harmurti. Dan yang terkini, Pak Jokowi, sedang proses mengkader Gibran. Bahkan Pak Amien Rais, punya Ahmad Hanafi serta Hanum, yang mulai terlihat geliatnya.
Memang, negeri ini demokrasi. Siapa saja boleh mencalonkan diri jadi pemimpin. Sepanjang prosedur yang dilakukan benar, ok-oke sajalah. Tidak masalah. Yang jadi masalah adalah yang benar ini, belum tentu baik. Itulah mestinya kondisi yang harus disadari oleh pemain politik ini.
Kita punya banyak pemimpin yang baik, mungkin juga benar, tapi tidak sadar. Bahwa negeri ini bukan kerajaan pribadi. Mau mendirikan dinasti lewat partai, mungkin saja tidak menyalahi aturan organisasi partai. Tetapi mbok ya lihatlah..., apakah masyarakat rela menyimak drama kolosal ini? Â Â Â
Sebenarnya terlambat jika suaraku ini dianggap sebagai sebuah keluhan. Bagiku tidak ada kata terlambat untuk berubah. Hanya saja perlu disadari, negeri ini butuh perubahan dari tangan-tangan dan pemikir besar. Orang-orang yang tidak serakah akan kekuasaan.
Sayangnya, aku sebagai perawat kawula muda, tidak banyak tahu tentang seluk-beluk politik. Walaupun mata ini melihat apa yang terjadi di sekitar, Dinasti Politik kita sedang dikuasai oleh orang-orang yang sedang berburu kepentingan.
Ladang business politik ini kejam. Bukan hanya di tingkat nasional. Tetapi di lembaga-lembaga kecil sekelas klinik atau RS daerah, kadang tidak mau kalah kejamnya. Tajamnya ke bawah, ke rakyat kecil. Dalam perspektif kesehatan, mayoritas perawat, acapkali jadi korban.
Sedihnya, perawat terlampau alim. Perawat muda Indonesia hanya sedikit yang berani bersuara. Takut ditangkap kemudian masuk penjara. Jadi, lebih baik berdiam diri agar aman. Perawat, mungkin ada juga profesi lain yang ada di negeri ini, merasa tidak ada nilainya, atau mendapatkan perlakuan adil, jadi permainan politik, tidak mampu berbuat apa-apa.
Demikian barangkali dinamika drama politik yang ada di negeri ini. Dari perspektif kami, yang terjadi pada profesi perawat, hanyalah sebagai contoh Opera Mini, akibat permainan politisi yang terjadi di berbagai instansi.
Intinya, aku pribadi tidak menentang adanya Dinasti Politik, sepanjang aktornya tahu diri. Kalau tidak tahu, jika perlu sekolah lagi aja. Jangan asal acting yang kelihatan banget noraknya. Karena korbannya bukan Stuntman (Pemeran Pengganti), melainkan asli mayoritas rakyat kecil.
Malang, 21 July 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H