Apa pengorbanan seperti ini masyarakat tahu?Â
Aku adalah portret generasi muda Aceh yang berprestasi, memiliki latar belakang berorganisasi, kompetensi, teregistrasi sebagai profesi, tapi nasib ya ...gini-gini ini. Apa yang aku lakukan bukanlah sebuah pemberontakan. Namun lebih dari sebuah proses, bahwa politik yang terjadi di sekitar diri ini harus diperangi dengan politik dalam diri sendiri.
Dinasti Politik Profesi Tingkat Nasional
Sebagai bagian dari profesi, aku tidak perlu mengumbar tentang jasa baik perawat. Harapanku ke depan, minimal, harus ada keseimbangan perhatian antara pihak Pemerintah, manajemen institusi, RS atau klinik, kepada nasib rekan-rekan kami. Jangan hanya 'diperas'. Yang diperhatikan hanya profesi kesehatan lain, terkesan berat sebelah. Sementara perawat, maaf, kadang diperlakukan lebih rendah ketimbang Assistant Rumah Tangga (ART).
Sorry mengatakan ini, karena aku alami sendiri. Bayangkan, kebijakan di banyak RS sangat sering tidak berpihak kepada perawat. Kalau ada yang salah, pasti perawat tempat pencariannya, meskipun bukan perawat yang melakukan.
Pernah, saat ada seorang rekan yang dinas, di sebuah pavilyun RS mengeluh, tengah malam, bel berdering. Seorang pasien memanggil, ternyata apa? Hanya minta minum. Padahal, disekelilingnya, ada 3 orang pembantu nya. Manajemen RS tidak mau tahu yang seperti ini.Â
Peran perawat bukan sebagai adviser bagi pasien, tetapi 'pembantu'. Semuanya harus di kerjakan perawat. Manajemen tidak bisa membedakan mana yang mestinya dikerjakan oleh pembantu perawat dan mana yang harus oleh perawat.Â
Pada kesempatan lain, pasien manggil. hanya karena ada nyamuk di kamarnya. Perawat diminta untuk mengusirnya, namun tidak boleh gunakan obat nyamuk.
Kalau Anda tahu pekerjaan perawat, mayoritas di RS, tidak lebih perannya hanya sebagai  general helper atau General Technician. Sayangnya kita bukan di USA.
Perawat-perawat di RS besar kadang dikirim untuk ikuti seminar, pelatihan atau workshop, gratis. Namun, begitu hasilnya ingin diterapkan di lapangan, ternyata pihak manajemen RS, bahkan direktur bilang,: "Tidak perlu!" Coba, bayangkan bagaimana perasaan perawat?
Â
Di satu sisi, perawat dituntut untuk memperbaiki kualitas layanan. Di fihak lain, manajemen menolak adanya perubahan. Pelatihan, workshop, seminar yang dibiayai manajemen RS tidak lebih dari Topeng, yang sejatinya tidak ada manfaatnya. Bukankah ini semua bagian dari permainan politik yang sudah kronis berlangsung, tanpa ada yang sanggup mengubahnya. Â
Aku sadar, tidak semua pusat layanan kesehatan di negeri ini memperlakukan perawat kurang fair. Mungkin ada yang baik. Tapi kejadian seperti yang aku kisahkan di atas bukan rahasia lagi. Rekan-rekan perawat banyak yang pilih berdiam diri lantaran tidak ingin ramai.