perawat, senior yang bekerja di sebuah rumah sakit (RS) terbesar di kota Malang. Beberapa bulan kami tidak ketemu. Biasanya kami sering jumpa saat Subuh, Asar atau saat Maghrib di masjid kampung.
Tadi pagi, saya ketemu seorangTergerak rasa ingin tahu apa saja aktivitasnya selama ini, saya menanyakan,: "Lama tidak jumpa pak?" Beliau yang sedang mengendarai motor, perlahan, kemudian berhenti, menjawab,: "Saya terpapar Corona." Sembari membuka helm bagian depan. Dimatikan mesin motornya. Kami kemudian berbincang singkat.
"Saya terpapar Corona....." Katanya memulai ceritanya. Tidak lama, karena kami hanya punya waktu kurang dari 10 menit untuk ngobrol. Pak Fulan, sebut saja demikian namanya. Beliau bertugas di IGD sudah lebih dari 15 tahun. "Perawat kami banyak yang terpapar. Dari 50 staf yang ada, 12 orang dinyatakan positif. Empat di antaranya positif swab nya. Kondisinya jadi 'mencekam'. Sangat berat, namun harus kami hadapi."
"Saat ini, belum ada tanda-tanda menurun kasusnya. Sekarang didirikan Instalasi Corona, sebagai pusat layanan khusus. Instalasi ini selalu penuh, full house. Bahkan antri pasiennya. Masyarakat kita ironisnya banyak yang tidak paham. Kondisi di luar seolah-olah semuanya 'normal', karena banyak aktivitas yang berlangsung seperti semula. Padahal sejatinya, kasusnya belum menunjukkan tanda-tanda berkurang di Malang. RS kami kewalahan." Demikian akunya.
Sangat biss dimengeri bagaimana keprihatinan Pak Fulan dalam menghadapi situasi ini. Beliau, beserta teman-teman perawat yang bertugas di IGD 'berjuang keras' dengan memberikan layanan keperawatan yang saat ini bukan hanya kasus-kasus emergency dan kecelakaan biasa yang dihadapai. Kini ketambahan Corona. Ini merupakan beban kerja yang tidak ringan.
IGD Selalu SibukÂ
Sesudah lulus pendidikan keperawatan, saya tidak pernah bekerja di rumah sakit. Namun tahu bagaimana lingkungan kerja di rumah sakit, termasuk seberapa gambaran sibuknya instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit rujukan tipe A.
Saya pernah praktik di RS Zainul Abidin di Aceh (RSZA) saat kuliah dulu. RSZA ini merupakan RS rujukan di Aceh. Disebut rujukan karena dianggap paling lengkap alat dan memiliki sejumlah tempat layanan spesialisasinya.
Tingkat kesibukannya tentu saja beda dengan RS di daerah, kabupaten atau kota madya. Wajar, karena semua kasus yang tidak dapat ditangani oleh daerah, otomatis akan dirujuk ke RSZA ini. Oleh karena itu, secara relatif RSZA ini jauh lebih sibuk dibanding RS lain di Aceh.
Bagian IGD ini sibuknya tergantung. Memang tidak terus-menerus. Namun selama wabah Corona, beban kerjanya bertambah lantaran standard Operating Procedures nya beda. Secara umum, ada tiga bagian ruangan yang ada di IGD. Bangsal pertama tempat menerima pasien secara umum. Bangsal kedua disebut Triage (Baca: Trias), tempat pemeriksaan pasien lebih detail. Di sisni ditentukan fokus penanganan berdasarkan prioritas apakah masuk kategori Hijau (boleh pulang), Kuning (dalam pengawasan) atau merah (perlu penanganan darurat) termasuk hingga perlu tidaknya masuk bangsal.