Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zaman yang Kita Tidak Pernah Siap Hadapi

10 Juli 2020   18:52 Diperbarui: 10 Juli 2020   18:58 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat bulan terakhir ini membuat kita seolah hidup di zaman yang beda. Dikatakan kerja tapi tidak ngantor. Dikatakan libur, tapi koq tidak bisa pergi ke mana-mana.  

Saya belum pernah membaca penelitian tentang fenomena tersebut, kecuali sebatas pengukuran level stress saat Corona yang sudah banyak sekali dilakukan dan disebar di medsos. Pada intinya, sesudah 4 bulan jalan, tidak lagi ada orang yang tidak 'mengeluh'. Kita sepertinya sudah terbiasa dengan keadaan. 

Pak Jokowi bilang 'damai dengan Corona'.  Pegawai Pemerintah (PNS) atau swasta, sama saja. Mereka yang biasa bepergian maupun yang kerjanya di rumah saja tidak beda. Semuanya kena dampaknya dan sepertinya kini merasa tidak terjadi apa-apa.

Di tengah kondisi begini, 'Tausiah' para Ulama dan pemuka agama jadi 'laris'. Laris dengan apa yang disebut  dengan kata-kata bijak, yang menenangkan. Yang memberikan kesabaran, yang sanggup menahan amarah dan kejengkelan karena kondisi yang tidak segera 'normal'. Yang sanggup menenangkan hati dan jiwa mereka yang bilang: "Siapa betah?"

Sering kita lihat di medsos ungkapan yang sangat emosional, lantaran tidak tahu harus berbuat apa. Terutama mereka yang mengalami desakan atau tekanan ekonomi, yang karena tidak bisa bergerak ke mana-mana, sehingga kondisinya begitu sulit. Orang-orang seperti ini tidak gampang pendekatannya.

Belum lagi mereka yang penghasilannya pas-pasan. Itupun harus diperoleh dengan cara terpaksa ke luar rumah. Misalnya sopir angkot. Sungguh sangat terpukul. Atau penjual makanan ringan di sekolah. Atau mereka yang biasa antar jemput anak-anak sekolah, pegawai pabrik dan pegawai kantor lainnya yang sempat vakum beberapa bulan. Mereka memutar otaknya, tidak tahu harus berbuat apa. Mereka tidak punya, jangankan tabungan, penghasilan harian saja kurang.
 
Bagi kaum profesioal, guru misalnya, cara mengajar juga berubah. Pegawai kantor, cara olah data juga berubah. Karyawan perusahaan bidang jasa, cara berkomunikasi pun tidak lagi seperti semula. Bahkan bagi dokter, cara berobat pun tidak lagi sama. Semuanya beda.


Cara belajar mengajar yang dulu orang tidak pernah bayangkan pada era 80-an, kini terjadi. Cara kerja kantor yang semua harus datang secara fisik, kini tidak lagi. Cara silaturahim, kii juga tidak lagi ada cipika-cipiki. Kalau mau berobat pun, manakala tidak benar-benar urgent, dokter akan menyarankan cukup lewat telepon.

"Zaman apa ini?"  Demikian mungkin pertanyaan yang dipendam dalam hati, yang belum sempat mereka ungkap.

Empat bulan berlalu sudah. Tanda-tanda akan kembali ke 'normal' belum nampak, jika kita merujuk pada statistic kasus Corona yang setiap hari tidak pernah turun grafiknya. Meskipun demikian, desakan kebutuhan hidup harus dipenuhi. Pemasukan sehari-hari harus tetap ada.

Oleh sebab itu, berat bagi mereka sebetulnya untuk ke luar rumah, lantaran risiko terinfeksi. Tetapi bagaimana lagi? Kalau tidak ke luar rumah, mereka tidak akan mendapatkan upah. Tapi kalau ke luar rumah, risikonya dikejar-kejar petugas.  Mirip buah Simalakama. Dimakan mati, tidak dimakan mati.

Apa yang kemudian dilakukan oleh masyarakat yang kondisiya benar-benar terdesak adalah apa yang kita bisa lihat di pinggir jalan atau di pasar. Mereka pilih 'rela mati'. Bukan pembelinya. Kalau si pembeli masih mempunya alternatif untuk makan roti jika tidak ada nasi pecel. Bisa makan singkong jika tidak ada Pizza. Namun para penjual makanan dan sayuran kecil-kecilan inilah yang kondisnya begitu mengenaskan.

Tadi pagi saya membeli Buah Sawo di pasar Lawang. Lokasi para penjual buah ini semula biasanya terletak tepat di pertigaan di sebelah kiri jalan dari arah Malang menuju Surabaya. Hari ini, di lokasi tersebut mereka tidak ada. Kini berdiri tenda untuk Pos Polisi. Saya tidak tahu mereka pindah ke mana perginya.

Tepat di belakang tenda, ada beberapa penjual buah lainnya. Di situ saya membelinya. Saya tidak sempat bertanya ke mana pindahnya 'kolega' mereka. Berapa sih harga buah Sawo per kilo? Paling banter Rp 20 ribu. Itupun mudah busuk jika dua tiga hari tidak dimakan. 

Pembeli tidak banyak seperti dulu. Penjual buah ini terpaksa harus berdagang ke pasar, menjajakan dagangannya, karena hidup mereka harus jalan terus. Mereka tidak punya pilihan.
 
Itu belum terhitung nasib pedagang-pedagang lainnya. Mereka kini harus hidup dalam dunia 'baru'.  Tidak boleh lepas masker dan selalu siap dengan hand sanitizer. Itulah norma new life, new normal yang harus mereka adopsi sebagai regulasi baru yang kita tidak punya pilihan.

Zona Merah di Malang perlahan sepertinya hanya ada pada kertas dan aturan belaka. Masyarakat seolah 'jenuh' dengan kondisi pembatasan social, jaga jarak, maskeran terus serta cuci tangan di mana-mana. Kejenuhan mereka ditransformasikan dalam bentuk 'kebiasaan' karena memang harus begini. Jadilah kini norma baru, tercipta kebudayaan baru.

Saya jadi ingat sebuah film yang dibintangi oleh Mel Gibson, di era 1980-an, bejudul Mad Max. Dalam film tersebut dilukiskan bagaimana kehidupan masa depan, diramalkan tahun 2050. Suasananya benar-benar beda. 

Tidak ada lagi gedung-gedung tinggi menjulang, pemandangan indah serta tempat rekreasi yang menawan. Orang hanya hidup dengan pil untuk mempertahankan rasa kenyang. Yang ada tinggal puing-puing peninggalan zaman dulu, tidak ubahnya peninggalan zaman purbakala.  

Kurang lebih beginilah gambaran filosofi zaman ini. Kita dimita untuk mengambil hikmah hidup dan kehidupan dari setiap kejadian yang ada. Kita diminta siap menghadapi segala kemungkinan hal-hal yang tidak pernah kita harapkan. Expect the unexpected dalam Bahasa Inggrisnya.

Generasi muda kita sedang menghadapi tantangan besar. Mereka tidak bisa duduk dan hanya main Games, entertainment  atau tebak-tebakan online. Kemadirian dalam banyak hal sangat dituntut. Bukan hanya dalam hal belajar dan mencari referensi sebagai kebutuhan studi formal. Namun kreativitasnya akan diuji dengan kondisi yang seperti ini. 

Generasi kita ke depan harus siap menghadapi zaman di mana kita tidak pernah siap hadapi.  

Malang, 10 July 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun