Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Membangun Sistem Pembuangan Kantong Plastik

8 Juli 2020   12:05 Diperbarui: 8 Juli 2020   14:07 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Tribun news.com

Setiap kali bepergian, salah satu 'pemandangan' yang menjadi sorotan mata adalah sampah. Yang paling memprihatinkan dari sekian banyak tumpukan sampah ini adalah, plastik. Di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja, plastic sepertinya selalu akrab dalam kehidupan kita.

Dari Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Yogyakarta, Aceh, hingga Kendari untuk kelas kota besar. Malang, Madiun, Magelang, Cirebon, Lhok Seumawe, Kolaka, Palu, Pare-pare, hingga Sumbawa Besar untuk kelas kabupaten. Dari ibu kota, hingga pelosok desa di Trenggalek Selatan, bahkan di hutan pertengahan Situbondo Banyuwangi, selalu ada sampah plastic. Mungkin tidak ada air, namun sampah, jangan tanya.
Sampah, ada di mana-mana, kapan saja ada, dan seolah dibuang oleh siapa saja.

Dari pejabat hingga rakyat jelata. Dari rektor hingga anak TK. Dari hotel hingga gubuk reyot di desa. Semuanya tidak ada yang free from plastic. Seolah kita memiliki suara serempak, sama, seide. Sampah jadi issue nasional. 

Sepertinya, tidak ada orang yang ngangkat bahkan untuk tingkat lokal. Kalaupun ada, hasilnya sangat jauh dari harapan. Diperparah lagi dengan pendapat khalayak, bahwa pembungkus yang paling praktis adalah yang satu ini: plastik. Bisa sekali pakai, buang.  

Dalam perjalanan menuju Lumajang, dari Malang, lewat kota kecamatan Tumpang beberapa waktu lalu, kami mengarungi bukit-bukit sangat indah di wilayah Poncokusumo. Perbatasan Malang-Lumajang. Ditengah perjalanan, tidak jauh dari Gunung Bromo yang indah menawan, ada beberapa penjaja Bakso dan beberapa kios kecil. Sedihnya, di sekitarnya, berserakan sampah plastic.


Siapa peduli?

Demikian pula ketika menempuh perjalanan ke Trenggalek Selatan-Jawa Timur. Menuju sebuah pantai yang begitu indah. Di wilayah pesisir Munjungan. Sekitar 40 km arah selatan kota Trenggalek. Betapa sedih melihal plastic yang berserakan di sana sini, mengotori pemandangan.

Saya berfikir, mengapa ini bisa terjadi, karena kita tidak punya system. Bukan karea public tidak paham, bodoh atau malas. Kalau masyarakat banyak yang rajin bekerja, ke sawah dan ladang, bekerja dari pagi hingga petang, mengapa untuk membuang sampah atau mengendalikan plastic saja tidak bisa? Hal itu pasti ada yang salah dengan system kita.

Masyarakat kita bisa jadi tidak atau belum mengerti, bahwa timbunan sampah setahun mencapai 68.7 juta ton menurut KLHK sebagaimana disebut dalam Hari Peduli Sampah Nasional Februari 2020 lalu (Tribun News, 2020). 

Orang kita juga banyak yang belum paham bahwa plastic adalah issue sampah dunia. Peningkatan komposisi sampah plastic mecapai 6% per tahun (ekonomi bisnis.com) di Indonesia. Indonesia mengalami darurat sampah.

Jika ini dibiarkan, disinyalir akan terjadi tragedi kemanusiaan karena pengelolaan sampah yang buruk. Padahal, Indonesia mencanangkan bergerak bebas sampah tahun 2020 menurut Kememntrian LHK (menlhk.go.id, 2018). Sepertinya masih sebatas slogan. Kenyataannya, sampah, khususnya plastic ini, belum banyak mendapat perhatian yang serius.

Saya melihat memang ada upaya pengurangan plastic ini di toko-toko, supermarket atau mall. Hanya saja masih sulit dikendalikan. Masyarakat lebih memilih tidak mau repot. Kita lebih memilih bayar Rp 200,- dari pada membawa barang pembelian yang meski tidak seberapa ukurannya. Mental inilah yang perlu dikoreksi, diperbaiki dan dibangun ke arah yang positif.

Inilah pekerjaan rumah terbesar negeri ini. Yakni mengubah mental masyarakat terkait sampah plastic. Belum lagi orang-orang naik mobil yang notabene orang punya dan berpendidikan tinggi, tapi membuang sampah seenaknya lewat jendela. Khususnya saat menempuh perjalanan. Dengan enaknya membuang plastic lewat kaca mobilnya. Tanpa ada rasa salah atau dosa. Ironisnya, masyarakat diam saja.

Kita perlu memiliki sistem terkait pemecahan ini. Memang tidak mudah. Namun kita bisa melakukannya. Butuh proses panjang dan waktu lama. Karena kita terlambat memulainya. Hanya saja itu lebih baik dari pada tidak melakukan sama sekali.      

Di gang perumahan kami, masih-masing rumah disediakan dua buah tempat sampah. Satu berwarna kuning untuk yang kering, dan yang satunya lagi biru untuk yang basah. Tetapi tidak ada khusus untuk plastic. Ini contoh bahwa regulasi atau aturan atau apapun namanya, kurang efektif walaupun baik. Namun kurang benar.

Jika masyarakat harus bayar iuran, ambil, tambahkan pada pajak misalnya. Khusus untuk sampah plastik ini. Anggarkan terkait petugas serta semua mekanismenya. Jangan sudah numpuk, Negara baru ngeluh. Masyarakat disalahkan.

Sebetulnya bukan hanya plastic. Sampah lainnya banyak yang tidak terurus di negeri ini. Kita terlalu sibuk ngurus yang besar-besar, tapi yang kecil ini kelihaan sepele bisa jadi Bom yang siap meledak di mana mendatang.

Kementrian Lingkungan Hidup kalau perlu belajar dari Korea, Jepang atau Belanda tentang bagaimana ngurus sampah ini. Saya yakin, ini ke depan bukan memperbanyak pengeluaran Negara, justru Negara bisa juga diuntungkan. 

Keuntungannya berupa pembedayaan warga, ada lapangan kerja serta penghasilan baru. Sampah yang dipilah-pilah bukan berarti dibuang. Pasti ada yang bisa di-recycle, dimanfaatkan serta menghasilkan.

Malang, 8 July 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun