Saya bisa turut merasakan bagaimana jika bisnis kita collapse. Sementara, tidak punya backup. Ada orang-orang yang acuh tak acuh, tidak peduli dengan kondisi seperti ini. Tetapi banyak juga yang prihatin. Sehingga yang difikirkan bukan hanya diri sendiri. Namun nasib orang lain ada juga dalam benaknya.
Pada tahun 2014-2017, masa tersebut ramai sekali yang namanya event, terutama yang terkait dengan pendidikan dan pelatihan. Booming event. Di samping ada event-event regular seperti acara nikah, khitan, ulang tahun, event padat pada akhir pekan berupa aneka hiburan dengan mengundang artis.Â
Acara-acara seperti ini mengudang luasnya ladang bisnis waktu itu. Â Bermunculan Event Organizer yang baru di mana-mana khususnya di kota-kota. Mereka lahir cepat sekali, berlipat jumlahnya.
Mendirikan EO, modal awal lumayan ringan bagi sementara orang. Tanggungjawabnya tidak berat dan hasilnya cepat kelihatan dalam waktu singkat. Enaknya lagi, sewaktu-waktu acara bisa di-cancel. Walaupun demikian, tetap ada risiko.
Saya pernah mengalami ikut serta terlibat dalam kepanitiaan EO ini. Memang sih, kadang untung-untungan. Sulit diduga kapan rejeki ini tiba. Bagian pemasaran yang agak berat harus aktif cari pelanggan. Kadang sifatnya musiman oarng suka seminar, terutama kalangan mahasiswa.Â
Oleh sebab itu tidak ada salahnya tetap memiliki Back Up plan. Tidak lain tujuannya, agar jika rencana kerja A tidak jalan atau macet, rencana kerja B siap diluncurkan.
Jadi EO, bagi yang kurang paham, ngitungnya hanya untungnya saja. Katakan ada 400 peserta seminar. Per orang bayar Rp100.000. Sudah kelihatan hasilnya Rp 100.000x400 = Rp. 40.000.000, sekali event. Pengeluarannya untuk makan dan snack peserta 400x25.000= Rp. 10.000.000. Sewa gedung dan fasilitas lain Rp 10 juta. Honor pembicara Rp 10 juta. Transport Rp 1 juta. Banner, undangan, sertifikat dan pulsa Rp 2 juta. Total pengeluaran kurang lebih Rp. 33 jutaan. Berarti lumayan besar juga. Iya lah!
Untungnya tinggal Rp 7 juta dibagi panitia 10 orang. Dibagi 10, per orang dapat Rp 700 ribu. Mereka kerja selama 3 bulan. Per bulan dapat Rp 230 ribuan. Berarti tidak banyak. Tapi mereka bisa seleggarakan 2 event setiap bulan. Setidaknya sekali sebulan. Berarti bisa dapat Rp 500 ribu. Lumayan bisa buat beli bensin.
Jika dihitung-hitung, pemasukan yang besar jumlah yang mereka dapat, ternyata diikuti pengeluaran yang amat besar juga. Makanya tidak gampang jadi Bos nya EO. Sekali rugi, bisa jutaan. Apalagi jika event tidak bisa batal. Peserta minim, DP hotel dan pembicara sudah dibayarkan. Sampai menjelang hari 'H', lho....ternyata peserta tidak mencapai target. Repot juga.
Bersamaan dengan ini, mungkin saja antara tahun 2014-2017 merupakan musim panen raya bagi para EO. Ramai sekali event waktu itu. Boleh dibilang masa keemasan para EO.
Kita tidak tahu kapan semua ini berakhir. Bisnis itu ada naik turunnya. Kata Ustadz UAS, semua ada masanya. Saya jadi mikir juga ketika tiba-tiba ada pengumuman dari Pemerintah awal tahun 2020 ini, karena wabah Corona, tidak boleh menyelenggarakan event apapun. Padahal, mereka sudah banyak pengeluaran. DP juga sudah dibayar ke sana ke mari.
Itulah risiko bisnis.
Sekarang ini, sudah memasuki bulan ke 5 bisnis  EO ini tidak jalan. Panitia harus tetap hidup dan jalan terus yang namanya kebutuhan. Ada memang yang punya pekerjaan tetap. Artinya, EO bukan kerjaan utama. Namun ada juga EO yang fokus kerjanya hanya di EO. Yang saya sebut terakhir ini yang kasihan. Repot karena hidupnya bergantung pada ada tidaknya event.Â
Sementara, orang sudah terlanjur menyebutnya sebagai Professional EO. Baik sebagai host, pembawa acara, penghibur, stand up comedy, pembawa acara, pembicara, penyedia makanan, catering, menyewakan terpal, sound system, dll. Semua terkena dampaknya.
Jadi harus bagaimana?
Meskipun berat, namun harus menyikapinya secara dewasa, dengan bijak. Inilah hidup. Naik turunnya rejeki kita tidak tahu. Makanya jangan boros. Juga jangan pelit. Biasa saja. Insyaallah rejeki akan tetap lancar, ngalir terus meski tidak banyak.
EO pasti punya network banyak, terutama peserta. Jangan dihapus nomer kontak (WA) dalam HP anda. Coba sesekali sapa mereka, sampaikan salam. Saat ini, banyak bermunculan event free, berupa seminar. Itu tantangan. Memang banyak orang suka free event. Tetapi jagan lupa banyak juga yang tetap bersedia bayar. Oleh karenanya upayakan tetap ada event dalam bentuk online.
Cobalah sesekali undang semua panitia. Ketemu online. Bicarakan tentang agenda yang bisa anda buat. Misalnya, tetap adakan acara seminar online. Berbayar. Tidak perlu mahal, tapi harus menarik. Namun harus dicari kemasan yang beda dengan yang biasa dijual free. Sehingga pesera minat ikut.
Jika tidak punya ide, coba lakukan riset. Hasil rapat panitia, disebar lewat medsos, dalam bentuk kuesioner. Jangan lupa, beri hadiah pada responden penelitian ini jika mau mencakup dalam jumlah banyak. Tidak apa-apa harus keluar duit sedikit, nanti juga bakal balik modalnya. Tanyakan kepada responden, materi apa yang mereka minat. Saya yakin, ada pasar yang mau beli.
Di era digital ini, dalam berbisnis, kita harus dinamis. Kita tidak bisa mengharap satu jenis bisnis dapat berlangung 'abadi'. Harus disertai rencana terburuk apa yang bakal terjadi, serta bagaimana mengantisipasinya. Melalui kesiapan seperti ini, kalau suatu saat misalnya jatuh, jangan sampai sakit hati.
Selamat mencoba.....
Malang, 6 July 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H