Bulan lalu, seorang seorang tukang bangunan sedang memperbaiki atap rumah kami. Sekitar 40-an tahun umurnya. Saya tanya, :"Dulu kuliah di mana pak?" Saya coba memecahkan keheningan komunikasi di tengah kesibukannya. "Saya dulu di teknik." Jawabnya sambil tersenyum. Orang lulusan sarjana teknik jadi buruh bangunan? Dalam hati saya 'salut'. Koq bisa? Â
Lebih dari 50% rekan-rekan saya mengalami kesulitan mencari kerja. Sebetulnya, kalau asal kerja, banyak peluangnya. Masalahnya, kerja yang linier, sesuai bidang dan profesinya, Â itu yang jadi kendala utama. Sayangnya, rata-rata kami tidak mikir seperti yang dilakukan oleh tukang bangunan di atas. Sehingga yang terjadi adalah bukan fokus ke solusi, tetapi lebih banyak ngeluh di medsos.
Dalam hidup ini memang ada hal-hal yang bisa kita pilih, ada yang terpaksa kita pilih, dan ada pula yang kita tidak punya pilihan. Yang tidak punya pilihan misalnya dari rahim siapa kita dilahirkan, di negeri mana serta kapan. Kita bisa pilih, karena banyak sebetulnya pekerjaan yang ada yang bisa kita pilih. Namun, karena tidak minat, kita tidak mau kerja. Sementara kalau terpaksa milih, karena pada dasarnya tidak ada lainnya, hanya itu pilihan yang ada.
Kita sering dihadapkan pada kondisi pilihan yang kedua. Yakni kita punya pilihan, namun lantaran terlalu banyak pertimbangan, kita tidak mau kerja.
Pembaca.....
Saya punya seorang kenalan. Suami istri, degan dua anak. Keduanya sarjana. Lulus sudah lebih dari 15 tahun lalu. Selama itu keduanya banyak bergantung dari kedua orangtua mereka masing-masing. Setiap bulan, harus nadah ke orangtuanya. Karena jatahnya memang dari mereka. Dari kontrak rumah, makan sehari-hari, kebutuhan rumah tangga sehari-hati, hingga bayar sekolah anak-anak. Begitu dilakukan selama bertahun-tahun. Koq bisa?
Saya melihatnya seolah saya sendiri tidak bisa menjalani. Namun bagaimana lagi? Apa ini yang namanya garis hidup atau lantaran kita tidak ada minat untuk mengubahnya? Kita hanya bisa melihat dan komentar. Mungkin saja mereka sudah bersusah payah mencari kerja. Akan tetapi tidak mendapatkannya. Atau takdir yang sudah bicara?
Saya jadi tanda tanya, apa iya sesulit itu untuk mendapatkan pekerjaan? Pengalaman saya, ada banyak sebenarnya pekerjaan di luar sana. Tetangga kami yang tidak berpendidikan saja, dengan gampangnya jualan sayur keliling setiap pagi.Â
Pagi dini hari, sekitar jam 5 dia sudah berangkat ke pasar kemudian keliling ke rumah-rumah dengan gunakan motor jadulnya. Sore harinya dia jadi tukang parkir di lokasi pertokoan dekat rumah. Hasilnya, digunakannya setidaknya cukup untuk makan dan bayar air listrik.
Memang berat. Tapi itulah hidup. Tidak ada yang ringan. Kita harus berjuang. Yang ringan itu, diperjuangkan.
Sekitar 5 bulan lalu, suami dari sepasang yang saya kisahkan di atas, memperoleh sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan. Konon gajinya Rp 800.000. Lumayan lah bisa untuk bayar sekolah anaknya yang pertama di SMA sebesar Rp 300 ribu/bulan.Â
Sedihnya, awal bulan ini dia diberhentikan karena alasan operasional. Kita cukup maklum, musim Corona. Di mana-mana terjadi pengurangan tenaga kerja. Dia kedodoran juga lantaran sibuk harus mencari kerja: apa dan di mana.
Oleh sebab itu, tambah sedih ketika membaca Topik Pilihan Kompasiana kemarin: SELAMAT BEKERJA KEMBALI.
Okeylah bagi yang punya pekerjaan tetap, jadi PNS atau pegawai tetap di perusahaan besar, tidak masalah. Akan beda halnya dengan pekerja-pekerja yang statusnya sebagai pekerja harian, honor atau sukarelawan.Â
Mereka merasakan betapa cobaan hidup ini cukup berat. Belum lagi ditambah yang namanya tabungan tidak ada. Jadi, jangankan nabung. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari saja masih kurang.
Bisa saja mereka sebenarnya sudah mencoba dengan sekuat tenaga. Tetapi nasib orang memang beda. Seberapa besar usahanya, rejeki orang juga tidak sama.Â
Oleh karena itu, meskipun para motivator bilang 'Hasil tidak pernah mengkhianati usaha', tetapi kenyataan di lapangan yang mereka hadapi seperti itu. Sudah mencoba bekerja keras, masih juga melarat. Kalau sudah begini kondisinya, lantas menyalahkan siapa?
Saya pernah ketemu seorang lulusan Bahasa Inggris, yang lebih dari 10 tahun mencari kerja tapi tidak dapat juga. Bahkan status honornya selama 10 tahun di sekolah SD. Miris. Â Terakhir, dia diterima sebagai PNS, juga di SD, namun tidak lama. Sesudah itu, penyakit yang dideritanya membuat di pulang ke Rahmatullah, selamanya.
Makanya, kita bantu dengan do'a kepada mereka yang menghadapi cobaan berat ini, sekiranya tidak bisa bantu memberi kerjaan atau memberikan bantuan secara finansial. Ini adalah solusi 'terakhir' dan 'terburuk' yang bisa kita kerjakan.
Kata 'Selamat Bekerja Kembali' meskipun baik, bisa jadi hanya berlaku bagi orang-orang tertentu. Oleh sebab itu, kita harus hati-hati menggunakannya, lantaran status pekerjaan orang tidak sama.Â
Jika tidak, saya kuatir akan membuat banyak orang tersinggung. Khususnya yang lagi nganggur atau kehilanga pekerjaan, baik itu dipecat maupun yang kontraknya habis tidak diperpanjang.
Saya lebih memilih menulis seperti ini sebagai penggantinya. Sebisa mungkin saya akan sharing informasi tentang lapangan kerja yang ada. Itu yang sudah dan biasa saya lakukan. Saya suka share tentang Job Opportunity sesuai profesi.Â
Barangkali ini lebih baik dari pada lebay, memamerkan berbagai keluhan, selama Corona berlangsung. Bisa nambah derita orang-orang yang sejatinya sudah jatuh, eh...tertimpa musibah pula.
Malang, 5 Juli 2020
Ridha Afzal Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H