Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gegara Tunjangan, Menkes Diserang Habis-habisan

30 Juni 2020   06:48 Diperbarui: 30 Juni 2020   06:56 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Repelita Online

Seberapa sering kita lihat berita terjadinya konflik sesama saudara, antara teman, sesama karyawan, antara karyawan dengan atasan, antara atasan dengan direktur, antar pejabat, dan seterusnya, karena uang?

'Gegara uang warisan Rp 15 juta, ibu kandung dilaporkan anak sendiri. Pria di Makassar tusuk leher tetangga gara-gara tak mau beri uang untuk mabuk. Gara-gara uang bongkar muat barang, seorang pria bunuh temannya. Gara-gara uang kembalian kurang, driver Ojol kena suspend.' Demikain contoh aneka berita yang tidak pernah habis, setiap hari memenuhi halaman media masa.

Pendeknya, kalau soal uang, seolah mata sudah hijau tua hingga gelap. Tidak pandang saudara atau teman. Semuanya bisa jadi persoalan. Tidak terkecuali masalah Tunjangan Tenaga Medis yang menangani Covid-19 beberapa bulan ini. Pak Presiden, Jokowi sampai jengkel. Pasalnya, hingga kini, tunjangan medis yang baru keluar hanya 1.53% dari Rp 75 Triliun.

Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPPSDM) Kemenkes, Abdul Kadir menuturkan, Pemerintah menganggarkan dana insentif bagi tenaga medis sebesar Rp 5.6 Triliun. 

Dari jumlah tersebut, Rp 3.7 triliun dikelola oleh Kemenkeu sebagai dana transfer daerah dalam bentuk dana tambahan bantuan operasional kesehatan (BOK). Adapun sisanya, Rp 1.9 triliun, dikelola oleh Kemenkes yang didalamnya termasuk dana santunan kematian tenaga kesehatan sebanyak Rp 60 miliar (Bisnis.com, 29 Juni, 2020).

"Alurnya terlalu panjang. Sehingga membutuhkan waktu untuk proses transfer ke daerah. Keterlambatan pembayaran juga disebabkan antara lain karena lambatnya persetujuan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran oleh Kementrian Keuangan." Lanjutnya.

"Dengan demikian, verifikasi data dari Fasyankes dan Dinkes daerah yang sebelumnya menjadi kewenangan Kemenkes dilimpahkan ke Dinkes di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi. Kemenkes hanya akan melakukan verifikasi untuk usulan pembayaran insentif Nakes dari RS, RS TNI dan Polri, RS darurat dan swasta. Kemenkes juga akan memverifikasi usulan dari Kantor Kesehatan Pelabuhan, laboratorium dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan. Sampai saat ini yang telah dibayarkan sebesar Rp 226 miliar bagi 25.311 orang tenaga medis." Kata Abdul Kadir.

Targetnya, 78.472 orang Nakes. Berarti sudah hampir 30% dari target. Masih kurang 70%. Lumayan banyak. Sementara dana santunan kematian telah dibayarkan sebesar Rp 14.1 miliar kepada 47 orang penerima (Bisnis.com).

Tapi siapa mau peduli?
Orang-orang kalangan masyarakat tingkat bawah, di lapangan, tidak mau tahu bagaimana ribetnya prosedur. Begitu melihat jengkenya pak Jokowi dalam Sidang Kabinet 1 hari lalu yang diunggah dalam bentuk video, masyarakat, khususnya kalangan tenaga kesehatan yang merasa belum terima hak-haknya, muntab. Mereka juga ikutan marah ke Menkes.

Makanya, respon di medsos beraneka ragam yang menyerang Pak Terawan (Menkes). Menkes diserang habis-habisan, seolah beliau paling bertanggungjawab terhadap seluruh proses dan kejadian ini.

Di Facebook, Suara Perawat, ada yang bilang, "Koq bisa ya? Koordinasinya bagaimana, antara asal perintah atau tidak patih terhadap perintah?' Ada pula yang nulis "Bubarkan saja." Ada lagi yang bilang 'prank, scenario tersusun, peraturan yang tidak jelas; yang cair baru 1.53%, ampun-ampun; tukang bohong, ganti aja dengan orang lain', dan sebagainya.

Pak Menkes juga jadi trending topic di Twiter. 'Terawan langsung Trending Twitter Gara-gara Anggaran Disentil Jokowi', tulis Repelita Online. Ada yang ngetwit 'Dokter Terawan itu orang lapangan, ahlinya ya ngobatin orang dan dia punya metode anti mainstream sendiri. Kalo jadi menteri, ya belum tentu bisa. Analoginya kaya mahasiswa ners disuruh jadi Ketua BEM' tulis @Rizkihadi.

"Gua rasa sih Pak Terawan bukannya main-main soal penanganan Covid-19 tetapi emang bawaan orangnya begitu, luwes dan menangani hal dengan tenang. Emang mungkin kurang cocok dengan kondisi masarakat yang sedang panic, makanya langsung diserahkan pada GTPP-COVID19." tulis @clnrdx.

Itulah Makanya, koordinasi di negeri sebesar Indonesia ini tidak gampang. Terlebih, jika prosedurnya panjang dan berbelit. Pak Jokowi usul supaya disederhanakan. Tapi orang-orang ini yang kadang suka ngeyel, sehingga berakibat seperti ini. Ada yag sudah terima, tapi 70% lebih belum dapat. Artinya mayoritas mengalami ketidak-nyamanan karena sistem. Berarti sistemnya yang perlu dibenahi.

Dalam hal ini, kepemimpinan sentral mungkin bukan pilihan. Namun kesamaan dalam prosedur harus ada. Sehingga proses pencairan dana dalam kasus ini ada kesamaan aplikasinya. Jangan yang satu lewat Kemenkeu yang satunya lewat Kemenkes, namun turunnya tidak bareng. Akibatya timbul tanda tanya, kayak orang rebutan warisan.

Kemenkes merupakan satu dari segelintir kementrian dalam Kabinet yang bertanggungjawab dalam pemberian Tunjangan Nakes ini sampai diterimanya dana oleh yang berhak. Pak Jokowi jengkel karena prosesnya lama dan tidak kunjung selesai. 

Sumber: Personal Collection Edy Wur.
Sumber: Personal Collection Edy Wur.

Memang dengan marahya Kepala Negara, persoalan bukan berarti akan selesai. Solusi konkrit yang dibutuhkan, misalnya dengan menyederhanakan prosedur. Terlalu banyak dan ribet syarat administrasi dan verifikasinya, ini merupakan kendala utama.

Hal ini jadi pembelajaran kementrian lain. Kalau soal uang, bapak-bapak dan ibu-ibu menteri harus ekstra hati-hati.  Kalau sampai Pak Presiden marah dan jengkel, bisa reshuffle, di mana negara harus keluar duit lagi sia-sia. Karena banyak rapat berarti banyak pengeluaran. Ini salah satu bentuk pemborosan. 

Orang-orang besar ini kadang sering membuat remeh kepentingan rakyat kecil inilah yang banyak dirasakan oleh masyarakat kita. Padahal saat kampanye mereka butuh suara rakyat.

Bagi seorang Kepala Negara juga penting sebagai masukan, kalau menteri-menteri yang ditunjuk orang-orang dari 'partai pesanan', boleh jadi bukan ahlinya. Akhirnya pekerjaan mestinya lancar, bisa kedodoran. Ujung-ujungnya Pak Presiden bisa disalahkan, menterinya juga jadi bulan-bulanan di media sosial.

Makanya, yang kalau mau jadi pejabat jangan nanggung. Hanya karena duit, mungkin tidak seberapa jumahnya, apalagi itu duit orang banyak, segera berikan kepada yang berhak. Beritahu bawahan untuk kerja keras dan cepat menyelesaikannya. 

Jika tidak, ganti saja dengan mereka yang lebih kompeten. Indonesia punya banyak.

Malang, 30 June 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun