Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perawat, Hati-hati Dengan Praktik Mandiri

26 Juni 2020   18:57 Diperbarui: 26 Juni 2020   19:01 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu pergi ke Trenggalek Selatan, saya bertemu seorang perawat senior. Sempat berkisah tentang bagaimana kiprahnya dulu pada akhir tahun 80-an. Pak Sae saya memanggilnya. Pada tahun antara 1990-2000 merupakan tahun keemasan. Beliau sempat bercerita bagaimana sibuknya melayani pasien, sehingga tidak jarang harus menolak. 

Maklumlah, waktu itu yang namanya tenaga perawat di sana masih bisa dihitung jumlahnya. Pusat layanan kesehatan langka. Jangankan dokter yang mestinya sebagai professional yang memiliki kewenangan dalam pengobatan pasien, untuk mendapatkan perawat saja, susah.

Pada masa tersebut, kata beliau, secara finansial merupakan masa 'keemasan' perawat kita. Apalalagi belum banyak 'aturan' yang 'membatasi'. Sorry saya mengatakan, akhirnya tidak sedikit sebetulnya perawat kita yang (maaf), menyalahgunakan kewenangannya. Mereka bekerja melebihi apa yang menjadi tanggungjawabnya (Baca: mengobati).

Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena minimnya tenaga kedokteran secara khusus dan kesehatan secara umum. Faktor kedua, di tempat kerja, perawat terbiasa diberi kewenangan oleh dokter yang bertugas dalam bentuk pendelegasian. Minimnya tenaga dokter sebagai pimpinan Pusksmas misalnya, yang mengharuskan menghadiri berbagai rapat yang tidak bisa diwakilkan, sementara pelayanan harus jalan terus, tidak jarang di Balai Pengobatan Puskesmas, perawat lah yang menjalankan. Yang ketiga, tradisi ini kemudian menjadi 'budaya'. Yang keempat, perawat jadi terbiasa dengan pelayanan yang ada, bahwa mereka dianggap bisa praktik sebagaimana dokter.

Empat hal tersebut begitu kuat 'melegenda' di masyarakat, sehingga perawat praktik merupakan hal yang biasa dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini.

Pak Sae, dalam menjalankan tugasnya sehari-hari sebagai perawat merangkap 'praktik kedokteran'. Hal tersebut diakuinya. Beliau juga mengatakan bahwa hal ini diketahui dan 'direstui' oleh pimpinan Puskesmas setempat. Karena saat itu kondisinya benar-benar dibutuhkan keberadaan seorang tenaga kesehatan. Jika tidak, yang menjadi taruhan adalah nyawa orang. Terlebih, jumlah Puskesmas masih 1. Jumlah perawat hanya 4 orang. Rumah sakit harus ditempuh sejauh 40 km, naik turun bukit.

Tujuan pendirian bangsa dan negara ini sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Alinea 4, yakni: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Salah satu bentuk implementasi yang terkait aspek kesejahteraan di sini adalah pelayanan kesehatan. Perolehan layanan kesehatan merupakan hak setiap warga negara. Oleh sebab itu, di tengah-tengah berbagai keterbatasan yang ada pada waktu di mana kita masih memiliki minimnya tenaga kesehatan, ibarat 'tidak ada rotan, akarpun jadi'. Adalah bisa 'dimaklumi' ketika perawat pada zaman tersebut melakukan 'praktik' kedokteran.  

Kini, zaman sudah berubah. Undang-undang Keperawatan sudah tercipta. Undang-Undang Kesehatan telah disempurnakan. Profesionalitas tenaga kesehatan melalui pendidikan kesehatan khususnya keperawatan semakin maju dan kesadaran masyarakat makin meningkat. Perubahan ini membuat regulasi atau aturan terkait layanan kesehatan sudah beda dengan dua-tiga dasa warsa silam. 

Segala sesuatunya harus berpayung pada hukum, karena negeri ini adalah negeri yang berdasarkan pada hukum. Tidak lain tujuannya adalah melindungi setiap warga negara demi kesejahteraan mereka. Di antaranya melalui layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan.

Disebutkan dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36, tahun 2014, tentang Tenaga Kesehatan, Bab I Pasal 1 (1), bahwa yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Di seluruh dunia, di manapun kalau kita bertanya siapa yang memiliki kewenangan melakukan upaya (Baca: Praktik) kasehatan, jawabanya adalah: dokter. Dokter lah yang memiliki kewenangan dalam pelayanan kesehatan utama berupa mengobati dan menatakan sehat, sakit serta matinya seseorang. Jadi, tanpa mengesampingkan peran perawat, karena saya juga seorang perawat teregistrasi, maka perawat harus sadar terkait batas-batas kewenangan dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan.

Di Indonesia, perawat sangat bersyukur diberikan keleluasaan oleh Pemerintah untuk melakukan praktik mandiri. Praktik mandiri keperawatan ini didukung oleh UU No. 38 tahun 2014, tentang Keperawatan, Bab IV yang mencakup Registrasi, Izin Praktik dan Registrasi ulang. Khususnya pasal 21, di mana perawat diizinkan untuk membuka praktik mandiri.    

Aspek hukum di atas merupakan landasan dasar hukum praktik keperawatan (UU Kesehatan No. 6 Tahun 2009, UU No. 36 tahun 2014,tentang Tenaga Kesehatan dan UU no. 38 2014 tentang Keperawatan) merupakan perangkat hukum atau aturan-aturan hukum yang secara khusus menentukan hal-hal yang seharusnya dilakukan atau larangan perbuatan sesuatu bagi perawat dalam menjalankan profesinya.

Inilah bentuk niat baik Pemerintah sebagai realisasi konkrit Pembukaan UUD 1945 Alinea 4 tentang tujuan nasional terkait kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia terhadap perawat. Namun demikian harus dimaknai secara bijak dan bertanggungjawab sebagai professional.

Di Amerika Serikat, untuk menjalankan profesi keperawatan yang memiliki izin praktik mandiri ini ada pendidikan khusus. Namanya Independent Nurse Practitioner (INP) yang latar pendidikannya setingkat S2. Artinya, kurang lebih sama dengan jenjang pendidikan dokter di sini. Di Indonesia kita masih terlalu 'lunak' dalam hal ini. Karena jangankan S2, yang D3 saja sepanjang punya Tanda Registrasi  (STR), Surat Izin Perawat Praktik (SIPP), bisa membuka praktik mandiri.

Ke depan, syarat kualifikasi pendidikan ini perlu direview ulang. Perlindungan terhadap masyarakat tidak boleh setengah-setengah. Salah satu tolok ukur bentuk perlindungannya adalah  kualitas professional. Kualitas professional diperoleh melalui pendidikan. Melalui pendidikan kita bisa hasilkan Professional keperawatan yang kompeten, yang harus menjadi acuan utama guna mendapatkan kualitas pelayanan keperawatan.

Bagi yang belum tahu dunia keperawatan menganggap bahwa pekerjaan profesi ini sangat simple. Hanya merawat. Kalau hanya merawat dalam artian membersihkan tubuh, memberi makan dan mangganti pakaian, sebenarnya lulusan SMK saja bisa sebagaimana dulu lulusan SPK melakukannya. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi membuat ilmu keperawatan juga berubah, hingga ke tingkat doctor dan professor.

Namun demikian, perawat tetap perawat. Di Indonesia, tahun-tahun terakhir ini batas kewenangan profesi keperawatan banyak menuai kritik dan perdebatan. Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Jika praktisi keperawatan memahami bahwa tugas utamanya adalah merawat, maka akan terhindar dari konflik yang menyerempet ke rana hukum.

Oleh sebab itu, para perawat harus hati-hati. Jika tidak ingin terjerat hukum, pertimbangkan dengan matang bila ingin membuka praktik mandiri keperawatan. Melengkapi persyaratan administrasi, profesi dan teknis saja belum cukup. 

Saat ini banyak orang pintar dan sadar hukum. Jangan sampai niat baik kepada masyarakat yang dilandasi ketulusan, dengan imbalan Rupiah yang tidak seberapa, akhirnya membuat perawat berurusan dengan aparat.

Apa yang dilakukan oleh Pak Sae pada awal tahun 1990-an dulu memang baik, mungkin pula benar. Akan tetapi tidak untuk zaman sekarang. 

So, take care guys.....!!!

Malang, 26 June 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun