Di seluruh dunia, di manapun kalau kita bertanya siapa yang memiliki kewenangan melakukan upaya (Baca: Praktik) kasehatan, jawabanya adalah: dokter. Dokter lah yang memiliki kewenangan dalam pelayanan kesehatan utama berupa mengobati dan menatakan sehat, sakit serta matinya seseorang. Jadi, tanpa mengesampingkan peran perawat, karena saya juga seorang perawat teregistrasi, maka perawat harus sadar terkait batas-batas kewenangan dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan.
Di Indonesia, perawat sangat bersyukur diberikan keleluasaan oleh Pemerintah untuk melakukan praktik mandiri. Praktik mandiri keperawatan ini didukung oleh UU No. 38 tahun 2014, tentang Keperawatan, Bab IV yang mencakup Registrasi, Izin Praktik dan Registrasi ulang. Khususnya pasal 21, di mana perawat diizinkan untuk membuka praktik mandiri. Â Â
Aspek hukum di atas merupakan landasan dasar hukum praktik keperawatan (UU Kesehatan No. 6 Tahun 2009, UU No. 36 tahun 2014,tentang Tenaga Kesehatan dan UU no. 38 2014 tentang Keperawatan) merupakan perangkat hukum atau aturan-aturan hukum yang secara khusus menentukan hal-hal yang seharusnya dilakukan atau larangan perbuatan sesuatu bagi perawat dalam menjalankan profesinya.
Inilah bentuk niat baik Pemerintah sebagai realisasi konkrit Pembukaan UUD 1945 Alinea 4 tentang tujuan nasional terkait kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia terhadap perawat. Namun demikian harus dimaknai secara bijak dan bertanggungjawab sebagai professional.
Di Amerika Serikat, untuk menjalankan profesi keperawatan yang memiliki izin praktik mandiri ini ada pendidikan khusus. Namanya Independent Nurse Practitioner (INP) yang latar pendidikannya setingkat S2. Artinya, kurang lebih sama dengan jenjang pendidikan dokter di sini. Di Indonesia kita masih terlalu 'lunak' dalam hal ini. Karena jangankan S2, yang D3 saja sepanjang punya Tanda Registrasi  (STR), Surat Izin Perawat Praktik (SIPP), bisa membuka praktik mandiri.
Ke depan, syarat kualifikasi pendidikan ini perlu direview ulang. Perlindungan terhadap masyarakat tidak boleh setengah-setengah. Salah satu tolok ukur bentuk perlindungannya adalah  kualitas professional. Kualitas professional diperoleh melalui pendidikan. Melalui pendidikan kita bisa hasilkan Professional keperawatan yang kompeten, yang harus menjadi acuan utama guna mendapatkan kualitas pelayanan keperawatan.
Bagi yang belum tahu dunia keperawatan menganggap bahwa pekerjaan profesi ini sangat simple. Hanya merawat. Kalau hanya merawat dalam artian membersihkan tubuh, memberi makan dan mangganti pakaian, sebenarnya lulusan SMK saja bisa sebagaimana dulu lulusan SPK melakukannya. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi membuat ilmu keperawatan juga berubah, hingga ke tingkat doctor dan professor.
Namun demikian, perawat tetap perawat. Di Indonesia, tahun-tahun terakhir ini batas kewenangan profesi keperawatan banyak menuai kritik dan perdebatan. Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Jika praktisi keperawatan memahami bahwa tugas utamanya adalah merawat, maka akan terhindar dari konflik yang menyerempet ke rana hukum.
Oleh sebab itu, para perawat harus hati-hati. Jika tidak ingin terjerat hukum, pertimbangkan dengan matang bila ingin membuka praktik mandiri keperawatan. Melengkapi persyaratan administrasi, profesi dan teknis saja belum cukup.Â
Saat ini banyak orang pintar dan sadar hukum. Jangan sampai niat baik kepada masyarakat yang dilandasi ketulusan, dengan imbalan Rupiah yang tidak seberapa, akhirnya membuat perawat berurusan dengan aparat.
Apa yang dilakukan oleh Pak Sae pada awal tahun 1990-an dulu memang baik, mungkin pula benar. Akan tetapi tidak untuk zaman sekarang.Â