Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gadget, Pembatas Tipis antara Makin Pintar dan Makin Malas

25 Juni 2020   20:52 Diperbarui: 26 Juni 2020   05:05 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kecanduan gadget (Sumber: Thinkstockphoto/Myella)

Kemarin sore, saat beli pakan burung, dua jenis. Satu jagung ukuran tanggung sebanyak 4 kg, @ Rp 8.000 dan satunya lagi pakan untuk burung Love Birds, 3 kg @ Rp. 12.000. Total Rp 32.000 + Rp. 36.000 = Rp 68.000 yang harus saya bayar. Sebetulnya sangat simple dan gampang banget hitungannya, tapi sang penjual mengambil kalkulator seolah tidak mau risiko dengan kekeliruan hitungan yang dia buat.

Apa yang terjadi kemudian, saya perhatikan dia lakukan kesalahan dalam hitungan pertama. Kemudian dihapus dan menghitung lagi. Kalkulator memang sangat membantu, walaupun tanpanya sang penjual bisa. Malah sebenarnya tidak ribet dan mengurangi ketergantungan pada kalkulator.

Pada kesempatan lain, tadi pagi, saya membeli buah sawo di Pasar Singosari. Penjualnya seorang ibu setengah baya. Duduk di emperan toko. Ada dua jenis sawo yang dijajakan, yang satu seharga Rp 12.000 per kg dan yang satunya lagi seharga Rp 15.000 per kg. Saya bertanya, mana yang lebih enak. Dijawabnya sama, mereka satu pohon. Ukurannya saja yang beda.

Saya biasanya tidak pernah menawar apalagi pedagang kecil. Di Mal saja yang milik konglomerat tidak pernah nawar, mengapa harus nawar pada orang miskin seperti ibu ini? 

Saya minta hanya satu setengah kilogram. Tanpa banyak mikir dijawabnya total Rp 18.000 yang harus saya bayar. Angka yang keluar dari mulutnya keluar begitu saja secara otomatis.

Dari dua contoh di atas jelas sekali peran teknologi digital bagi manusia telah dipengaruhi oleh alat bernama kalkulator yang tadi adalah otak, cara kerja dan kebiasaannya. 

Otak, dengan adanya teknologi terasa terbantuka, orang tidak perlu lagi mikir hitungan yang rumit dengan menggunakan otaknya. Semuanya sudah ada jawaban tanpa repot mikir ini itu.

Cara kerja, orang tidak perlu capek menulis, mencari rumus atau meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikannya. Alat yang digunakan untuk membantu sudah tersedia. Harganya murah dan gampang didapat serta sangat praktis. Alat ini yang juga membuat kita jadi terbiasa, sehingga membuat kita jadi ketergantungan, karena alat tersebut harus selalu ada di tempat di mana kita kerja.

Robert Lee (2018) dalam artikelnnya yang bertajuk "Impact of Information Technology on Society in the New Century" menyebutkan, bahwa "Technology may radically alter economic activities and the social environment" (Teknologi menurutnya bisa mempengaruhi kegiatan ekonomi dan lingkungan sosial). 

Pengaruh tersebut menurut peneliti asal Switzerland ini requires serious social sience investigation in order to manage its risks and dangers (membutuhkan investigasi yang serius agar supaya bisa mengatur risiko dan bahayanya).

Tidak jarang, lanjutnya, "People spend more and more of their time absorbing irrelevant information just because it is available and they think they should know about it". 

Ini terjadi ketika tadi sejak pagi hingga sore menjelang Maghrib, saya amati anak kecil 11 tahun umurnya selalu pegang gadget non-stop di rumah kami. 

Main gadget (Sumber: Personal Collection)
Main gadget (Sumber: Personal Collection)

Di satu sisi benar, bahwa dengan teknologi ini bukan hanya untuk kepentingan kelancaran jalannya transaksi ekonomi bagi orang-orang yang dagang di pasar. Tetapi, juga memudahkan anak-anak usia sekolah untuk cepat mendapatkan akses akan berbagai informasi yang terkait dengan pelajarannya di sekolah dan juga mainan mereka.

Namun demikian perlu dicatat, bahwa "Dependence on technology can bring risks", kata Lee. Ketergantungan terhadap teknologi akan memberikan risiko. 

Failures in the technological infrastructure can cause the collaps on economy and social functionality (Kegagalan dalam infrastrutur teknologi bisa menyebabkan terpuruknya fungsi ekonomi dan social), demikian lanjutnya.

Efi, sepupu saya, ibu tiga anak, masing-masing usia kelas satu SMP, satu SD dan TK mencemaskan tumbuh kembang mereka. Masalahnya, empat bulan terakhir, sejak wabah virus Corona melanda, anak-anak ini nyaris tidak punya kegiatan yang berarti. Mengasuh tiga anak tidak mudah.

Di rumah, ada 3 buah HP, masing-masing milik ayah, ibu dan nenek. Ada satu tablet, sudah kuno. Ada satu televisi. Tiga anak ini, karena tidak ada kegiatan di sekolah, main HP terus, berebut satu sama lain, punya ibunya atau neneknya. Akibatnya bisa diduga, selalu ada yang teriak dan ada juga ada yang menangis.

Kegiatan mereka hanya satu yang paling disuka, yaitu main games. Dua anak bisa dipastikan main HP, sedangkan yang satunya lagi nonton TV. Begitu kegiatannya setiap hari. Memang ada PR dari guru, namun ibunya terlibat membantu anak-anak sebatas kemampuannya. 

Tidak jarang, PR anak-anak ini lebih sulit dari pada masalah kumpulan ibu-ibu kelompok RT/RW. Itu pun, anak-anak cepat bosan. Namun mereka tidak pernah bosan dengan main HP-nya. 

Kalau mereka tidak diberikan HP-nya oleh ibu atau neneknya, senjata mereka satu, yakni nangis atau teriak-teriak. Rumah jadi selalau ramai hanya karena rebutan HP.

Apa yang kemudian dilakukan oleh Efi adalah membagi tugas pada anak-anak ini. Anak pertama yang SMP setiap hari disuruh membersihkan dan memberi makan burung-burung hias yang sarangnya bergantungan di halaman rumah, ganti makanan dan memberi minum, dan juga ngecek ikan di kolam kecil di depan rumah. 

Si nomor dua, disuruh mengatur sandal, sepatu dan raknya pagi-pagi sesudah bangun tidur. Juga membantu bersih-bersih lantai. Sementara si kecil TK, belum bisa diberi tugas, kecuali membantu ambil ini ambil itu.

Pembagian tugas ini berjalan mulus untuk sementara. Belum tahu kapan tingkatan kebosanan anak-anak ini berakhir. Karena maklumlah, usia anak-anak cepat bosan juga. Itu yang namanya mainan, menumpuk di kamar. Ada yang rusak total, ada yang setengah rusak, ada lagi yang jarang disentuh oleh mereka karena bosan.

Lain halnya dengan main HP, sepertinya games ini lebih dinamis, sehingga sangat menarik minat mereka untuk main terus, bahkan sampai lupa makan, minum dan tidur kecuali disuruh.

Abu Naser (2017) dalam sebuah jurnal Internatinal Journal of Engineering and Information Systems,  berjudul "Effects of Mobile Technology on Human Relationships" menuliskan, "Technology has affected almost walk of human life such as education and social life. It has drastically changed the cultural norms and behavior of individuals"

Teknologi telah mengakibatkan terjadinya perubahan pada hampir semua sendi kehidupan manusia seperti pendidikan dan kehidupan sosial. Teknologi juga telah mengubah norma budaya serta tingkah laku individual.

Apa yang dialami oleh Efi sekeluarga dan anak-anaknya merupakan bukti nyata dari hasil penelitian Abu Naser, sebagaimana yang dituangkan dalam jurnal di atas. 

Hasil penelitianya menunjukkan sebanyak 83.3% anak-anak saat ini membawa HP atau tablet setiap hari, 11.7% kadang-kadang membawa dan hanya 1.7% yang tidak pernah.

Mayoritas respondennya (45%) setuju bahwa adanya HP di tangan anak-anak ini mempengaruhi face to face communication secara negatif, 38% sangat setuju tentang pendapat ini. Hanya 4% yang sangat tidak setuju, serta 12% yang tidak setuju.

Abu Naser menyarakan sebelum melibatkan teknologi pada anak-anak, orangtua harus banyak meluangkan waktunya bersama mereka. Berikan dorongan kepada mereka bahwa peran komunikasi sangat penting lewat contoh-contoh nyata misalnya dalam bentuk kunjungan, pertemuan atau berbicara dengan orang lain face to face. 

Biasakan menyelesaikan masalah melalui komunikasi antar manusia, tanya-jawab langsung sejak dini. Dengan demikian akan mengurangi ketergatungan pada mesin yang bernama HP ini.

Pada intinya harus diakui kenyataan di masyarakat bahwa penggunaan gadget telah mengubah cara pandang manusia modern ini terhadap pola interaksi sesama manusia, kehidupan sosial dan bisnis. 

Pengaruhnya sangat besar sehingga mengurangi waktu bersama, pertemuan tatap muka satu dan lainnya yang sebenarnya sangat berharga. Kini mereka lebih banyak menghabiskan waktunya dengan HP dan gadget lainnya.

Rigkasnya, tidak ada jaminan gadget bisa bikin generasi kita makin pintar. Mungkin saja bisa nambah pintar karena akses informasi yang cepat dan bisa main games. Hal yang tidak bisa ditolak adalah pengaruh negatifnya. 

Jika tidak diantisipasi sejak awal, mereka pasti memiliki rasa malas berinteraksi sosial dan memiliki ketergantungan meningkat pada alat digital yang tinggi. Pada gilirannya menjauhkan hubungan komunikasi langsung antar manusia, bahkan dengan keluarga terdekatnya sekalipun.

Malang, 25 Juni 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun