Rijal Maulana, lulusan program Profesi Ners Universitas Syiah Kuala, Aceh, saat diwisuda, tersenyum lebar ceria. Bersamanya, tidak kurang dari 80 orang wisudawan juga meraih predikat Cum Laude. Untuk angkatannya, dari 80 mahasiswa, 5 orang meraih predikat yang sama.
Ada rasa bangga mengalir dalam darah sekujur tubuhnya. Hidup jadi sangat bersemangat seketika. Memberikan hadiah terbaik bagi kedua orangtuanya, Rijal, satu-satunya cowok yang menyandang predikat pujian, wajar jika memiliki segudang impian. Kerja kerasnya tidak sia-sia. Ketika dipanggil ke panggung wisuda untuk menerima placard, luapan kegembiraan sulit dilukiskan. Bersama kedua bapak dan bundanya, Rijal berpose bersama. Bukti perjuanganya berujung dengan keberhasilan cemerlang dalam bidang pendidikannya.
Namun ternyata belum selesai sampai di sana. Sepulang dari wisuda, fikirannya melayang jauh. Sebuah pertanyaan mengusik prestasi yang diraihnya. Mau kerja di mana esok harinya? Â
Diakuinya saat ini memang bayak orang pintar. Akan tetapi masih sebatas pada kepintaran akademik, katanya. Sementara kecerdasan sosial, emosional dipertanyakan. Masih dirasakan adanya kesenjangan di sana-sini. Di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan perolehan lapangan kerja atau kemampuan membuka lapangan kerja.
Â
Negara kita makin lama makin modern. Fasilitas belajar, sarana dan prasarana pendidikan semakin baik. Didukung oleh perbaikan gizi anak, membuat banyak anak Indonesia makin pintar.Â
Di UGM tahun 2019 lalu misalnya, dari 3.755 lulusan sarjana dan diploma, yang berpredikat cum laude sebanyak 1.128 untuk program sarjana dan 562 lulusan diploma. Mencapai hampir separuh dari jumlah lulusan. Rerata usia lulusan sarjana umur 22 tahun 10 bulan. Sedangkan diploma 21 tahun 4 bulan. Ini artinya, kita semakin memiliki SDM unggul dan kompetitif.
Sementara itu, jumlah angkatan kerja pada Februari 2020 sebanyak 137.91 juta orang, naik 1.73 juta orang dibanding Februari 2019. Setahun terakhir pengangguran bertambah 60 ribu orang. dilihat dari tingkat pendidikan, SMK masih yang paling tinggi, yaitu sebesar 8.48% (BPS.go.id). Dari angka ini terlihat, bahwa pengangguran masih menjadi momok bagi jutaan warga Negara generasi muda yang baru saja menyelesaikan kuliah.
Akan halnya profesi keperawatan, lebih unik fenomena lulusannya. Berbeda dengan jurusan fakultas lain yang mungkin bisa langsung kerja sesuai bidangnya. Di keperawatan tidak demikian. Sesudah wisuda masih harus menunggu ikut Uji Kompetensi (Ukom). Sesudah itu menunggu lagi untuk perolehan Surat Tanda Registrasi (STR).
Masalah ini yang perlu dipikirkan oleh Bapak Menristekdikti. Saat ini Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi sudah banyak mencetak insan-insan Indonesia untuk menjadi intelektual. Namun ada system yang perlu dikritisi terkait lulusan dan permasalahan yang dihadapi terkait perolehan lapangan kerja.
Memang sebetulnya di bidang keperawatan ada saja peluang kerja walaupun terbatas bagi fresh graduate. Yang menjadi kendala terbesar adalah, fresh graduate keperawatan ini tidak serta merta bisa kerja begitu saja. Ada persyaratan yang harus dipenuhi yang tidak mereka punya setelah wisuda (Ukom dan STR). Rentang waktu menunggu rata-rata 1 tahun itu cukup lama bagi mereka. Bagaimana mempersingkat rentang waktu tunggu inilah yang perlu mendapatkan solusinya.
Satu solusinya  adalah dengan menggunakan Exit Exam guna perolehan STR. Kemenristekdikti mestinya bekerjasama dengan Kemenkes dalam hal ini, mengupayakan bagaimana agar begitu lulus ujian akhir, otomatis mahasiswa bisa mengikuti Ukom. Dengan demikian, tidak perlu bolak-balik. Efisien waktu, tenaga, dana dan fikiran.
Menurut Rijal yang lolos Ukom, soal-soal yang diujikan juga itu-itu saja. Daripada harus keluar duit lagi, belum lagi waktu yang sangat penting, waktu ujiannya bisa disatukan, atau jangan terlalu lama menunggunya. Katakana dua tiha hari, maksimal sepekan. Sehingga ketika wisuda, mereka juga memperoleh STR.
Saya juga mengalami hal yang sama empat tahun silam. Hingga kini belum ada tanda-tanda berubah. Ini sangat memberatkan lulusan kampus keperawatan yang jumlahnya lebih dari 600 buah di Indonesia. Setidaknya, 50.000 lebih lulusan pendididkan keperawatan akan terselamatkan dari ancaman pengangguran melalui system ini per tahunnya, sekiranya Kemenristekdikti bersedia membenahi system yang saat ini berlaku.
Sistem kedua yang perlu direview adalah, model pendidikan S1 Keperawatan di Indonesia ini masih kuno. Beda dengan jurusan S1 lain, di pendidikan jurusan keperawatan ini mahasiswa belajar ilmu yang sifatnya umum selama 5 tahun. Ini kesannya terlalu lama dan bertele-tele.Â
Sementara, jurusan teknik atau komputer misalnya, begitu masuk mahasiswa sudah punya pilihan. Demikian pula jurusan lain seperti Bahasa, Manajemen, Sosial, Ekonomi, dan lain sebagainya. Di keperawatan, mahasiswa tidak punya pilihan kecuali pada jenjang S2. Â
Sistem seperti ini yang membuat lulusan S1 Keperawatan kurang fokus ilmunya. Harus diakui bahwa Imu Keperawatan bukan Ilmu Kedokteran. Jadi tidak adil jika menyamakan sistemnya dengan kedokteran. Karena itu, Menristekdikti perlu memanfaatkan pakar keperawatan dalam upaya memperbaiki system pendidikan yang ada.Â
Sekalipun lulusan S1 tidak akan disebut sebagai spesialis, harus diingat, bahwa tuntutan zaman sekarang sudah beda. Di bidang computer, dari sejak pertama masuk, mahasiswa bisa langsung ambil jurusan multi media. Mengapa tidak bisa berlaku bagi keperawatan?
Ke depan, profesi keperawatan diharapkan bisa langsung fokus studinya. Misalnya, langsung belajar ilmu keperawatan Sistem Pernafasan, Perawatan Kulit, Wajah, system pencernaan, kardiovaskuler dan lain-lain.Â
Selama ini, system pembelajaran di pendidikan keparawatan cenderung mendompleng profesi Kedokteran spesialisasinya. Sebut saja Keperawatan Anak, Keperawatan Jiwa, Bedah dan Dalam. Ini yang membuat profesi keperawatan bukan hanya sulit berkembang. Tetapi juga mencari kerjanya meraba-raba susah, karena lulusan S1 keperawatan dianggap lulusan umum. Jangan kaget jika ada sinyalemen yang mengatakan bahwa lulusan S1 Keperawatan belum siap kerja. Ilmunya umum, praktiknya kurang.
Masukan ketiga bagi Kemenristekdikti adalah, kurangi mata kuliah umum. Kami mengerti pendidikan S1 tidak sama dengan D3. Akan tetapi, kesenjangan yang terlalu lebar terkait jam kuliah dan praktik, membuat lulusan S1 tergolong bukan sebagai tenaga terampil. Padahal jurusannya keperawatan, yang notabene jurusan keterampilan. Adalah lucu, jika lulus S1, kalah dengan D3 masalah kesiapan kerjanya. Kecuali lulusan S1 orientasi kerjanya hanya di atas kertas alias manajemen.
Tiga persoalan di atas yang menjadi kendala utama yang dihadapi lulusan S1 Keperawatan di Indonesia. Jika yang berpredikat Cum Laude saja susah mencari kerja, bagaimana dengan yang IP nya biasa-biasa saja?
Untungnya, dengan adanya tuntutan Akreditasi saat ini, manajemen kampus dan dosen giat kerja guna menggenjot prestasi belajar mahasiswa. Hanya saja, kekuranganya adalah, ada semacam unsur pemaksaan kehendak. Akibatnya, banyak nilai yang 'dipermak'. Nilai-nilai 'B' boleh jadi tidak murni. Mahasiswa yang mendapat 'C' disuruh, kalau perlu dipaksa untuk mengulang (remidi) agar dapat 'B'. Dosen didesak manajemen untuk 'memberi' nilai 'bagus' kepada mahasiswanya.Â
Di samping itu, syarat untuk menjadi PNS yang nilai IPK nya tidak kurang dari 3. Ini menjadian dosen-dosen, jujur saja, 'kasihan' sama mahasiswa.
Makanya, banjirnya IPK 3 saat ini tidak perlu kaget. Banjir Cum Laude juga bukan apa-apa. Saat ini memang sudah banyak orang pintar. Tetapi tidak cerdas dalam artian emosional dan sosial.Â
Merajalelanya pengangguran merupakan bukti nyata. Sistem pendidikan kita ditantang, apakah harus tetap bertahan dengan yang ada, atau berubah demi cerahnya masa depan lulusanya.
Malang, 24 June 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H