Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menelusuri Batas Umur Orang Sukses

21 Juni 2020   06:45 Diperbarui: 21 Juni 2020   06:56 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Isak JH Tukayo, M.Sc. Personal Collection

Kayaknya teman-teman kuliah sepakat. Yang disebut sukses itu idealnya adalah kombinasi atau gabungan dari pencapaian tiga aspek yakni perolehan kekayaaan, terkenal namanya dan professional pekerjaannya. 

Dari ketiga kriteria itu, yang boleh ditawar ada dua: terkenal dan professional. Terkenal bisa ditawar, karena tidak sedikit orang yang sukses tanpa mempedulikan ketenaran. Demikian pula professional. Orang ingin sukses, tapi tidak mau kuliah, atau ikut pelatihan yang tersertifikasi. Yang penting: kaya.

Sebut saja Bob Sadino, Susi Pudjiastuti, Andy F. Noya, MH Ainun Najib, Ajib Rosidi, dan Andrie Wongso. Mereka dinilai oleh public sebagai figure yang sukses. Apa kebetulan? Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini.

Pertanyaannya adalah, apa kriterianya dan pada umur berapa harus sukses? Saya mengidentifikasi ada tiga kriteria yang harus dijadikan sebagai pertimbangan ukuran keberhasilan.

Pertama, mau bekerja apapun.
Saya punya teman. Fahmi namanya. Saat ini lagi kuliah ambil S2 di sebuah kampus negeri terkenal di Banda Aceh. Dibesarkan dalam kalangan keluarga sederhana, Fahmi punya tekad luar biasa. Sambil kuliah S1 waktu itu, Fahmi sudah memulai usaha dengan jualan pulsa. Di Aceh, seperti halnya di banyak tempat di negeri ini, semua orang butuh pulsa. Prospeknya menurut Fahmi besar.

Di Aceh, bisnis ini menurut Fahmi bisnis model begini sangat menjanjikan. Sementara di Malang, saya heran. Di tempat saya tinggal saat ini, beda. Orang tidak banyak jualan pulsa sebagaimana yang ada di Aceh. Apa cukup jualannya model online ya? Saya tidak melihat banyak orang berjajar jualan pulsa seperti di Aceh. Di Banda Aceh misalnya, yang namanya penjual pulsa itu ramai banget. Fami memanfaatkan golden opportunity ini. Dia geluti bisnis 'kecil' ini dari bawah.

Khairul Fahmi. Personal Collection 
Khairul Fahmi. Personal Collection 

Mulailah dia menjual eceran. Hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan pun berganti tahun. Kami yang tidak begitu memperhatikan bagaimana prosesnya, tiba-tiba melihat Fahmi sudah punya toko jualan pulsa di lima tempat, dalam kurun waktu 4-5 tahun. Cepet banget. Of course saya tidak akan bandingkan Fahmi denga Ibu Susi atau Bapak Bob Sadino.

Yang saya salut adalah, dalam usia yang relatif muda, saat masih kuliah saja, ide yang Nampak simple ini, sudah ada. Fahmi konsisten dengan passion nya. Hasilnya, dia bisa kuliah dengan duit sendiri. Dengan dana sendiri dia bayar program pasca sarjananya. Dia tidak sia-siakan masa mudanya hanya dengan bermain Hape, motor atau sekedar ngobrol, duduk ramai-ramai di Warung Kopi sebagaimana banyak pemuda Aceh lakukan.

Fahmi tidak menganggap bahwa jualan pulsa itu pekerjaan orang-orang kecil dan sepele. Sungguh saya sempat dibuat 'iri'. Di usia 25 tahun, mampu berdiri sendiri, tidak bergantung pada orangtua. Jumlah penghasilannya bukan jadi kriteria sukses menurut saya. Karena besarnya income itu relatif. Namun lepas dari hidup ketergantungan orang lain, harusnya lebih utama. Saya bisa katakan bahwa Fahmi, termasuk kategori orang sukses.

Kedua, dalam keadaan apapun.
Sosok kedua yang saya kenal adalah mas Akhir Fahruddin. Asal Sumbawa. Dari keluarga teramat sederhana. Saat kuliahnya, dia repot bagaimana mendapatkan biaya. Sesaat sesudah wisuda, dengan predikat mahasiswa terbaik, Cum Laude, Ayahandanya meninggal. Nyaris tidak ada lagi tulang punggung bagi keluarganya. Cita-citanya kerja di manca negara. Hebatnya, tercapai. Luar biasa.

Entah bagaimana awal sepak terjangnya. Mas Akhir akhirnya bisa kerja di luar negeri. Tentu dengan usaha yang tidak ringan. Harus nabrak sana-sini guna menutup dana yang dibutuhkan sebagai sangu ke sana.

Kerja di Saudi Arabia sebagai perawat, tidak gampang. Dengan penghasilan yang boleh dikata pas-pasan untuk ukuran perawat pemula di negeri orang, mas Akhir mencoba bertahan dan membantu Ibu serta seluruh keluarganya.

Akhir Fakhruddin (kanan). Personal Collection 
Akhir Fakhruddin (kanan). Personal Collection 

Dari catatan-catatannya, mas Akhir yang rajin nulis juga di Kompasiana, perjuangan hidupnya cukup berat. Tetapi dia mampu bertahan. Menjadi karyawan terbaik, sempat dihaji-umrah-kan oleh koleganya, seorang dokter, yang membantunya. Padahal waktu itu statusnya masih sebagai karyawan yunior. Artinya belum boleh untuk kesana-kesini, termasuk hak menunaikan Haji dan Umrah. Alhamdulillah dia dapatkan semua.

Mas Akhir bilang, sewaktu pulang ke Tanah Air, setelah tiga tahun di negeri orang, memang ada sedikit tabungan untuk oleh-oleh Ibu dan keluarganya. Tentu saja tidak cukup kalau untuk menutupi biaya kuliah. Dia ingin menyelesaikan S1 nya di Jakarta. Akan tetapi hal ini tidak menghalanginya untuk berjuang melanjutkan kuliah lagi. dengan satu tekad: apapun keadaannya, dia harus tetap maju.

Dengan sambil kerja di sana sini, malang melintang hidup di Jakarta, mas Akhir melanjutkan kuliahnya hingga selesai. Prinsip hidup yang membuat saya salut adalah ketekunan, kesederhanaan pribadi, serta konsistensi dengan cita-citanya. Itu, menurut saya ukuran kesuksesan seseorang.

Ketiga, menempuh pendidikan di manapun.
Sebagai manusia, ijazah itu penting. Namun ada yang jauh lebih penting daripada sekedar selembar ijazah, yakni pendidikan. Esensi pendidikan adalah belajar. Belajar itu wajib. Karena belajar inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Manusia yang cerdas tidak pandang waktu, tempat dan keadaan dalam menempuh proses belajarnya. Jika sudah sampai pada tahapan ini, saya mengatakan: sukses.

Saya mengenal seorang perawat senior asal dan asli Papua. Namanya Bapak Isak Tukayo. Beliau menyelesaikan program S3 nya dari Unhas Makassar. Pasca Sarjana ditempuh di Inggris. S1 di UI Jakarta. Program akademinya di Japapura. Saat ini memang usia beliau tidak lagi muda. Akan tetapi pembelajaran yang saya dapatkan adalah, beliau tidak pernah berhenti belajar. Di manapun, kapanpun dan bagaimanapun.

Karir beliau dirintis mulai dari bawah di Jayapura. Waktu itu tahun 1980-an belum selengkap sekarang fasilitasnya. Dengan berbagai keterbatasan, nyatanya tidak menghalangi beliau untuk terus maju. Beliau merupakan salah satu generasi lulusan S1 Keperawatan pertama asal Papua di Universitas Indonesia. Meraih gelar doctor kedua untuk profesi yang sama di provinsi Papua. Sosok seperti beliau patut jadi contoh dan kebanggaan daerah asalnya.

Pada intinya, tiga contoh orang yang berhasil di atas bisa dijadikan sebagai referensi keberhasilan. Saya tidak melihat adanya relevansi antara umur dan kesuksesan. Mau di awal 20-an atau akhir 60-an tidak masalah.

Sukses tidak harus dipaksakan karena kemampuan dan potensi individual manusia itu tidak sama. Sukses bisa berarti relatif, bukan absolut. Namun kesuksesan dalam kehidupan harus dicapai agar hidup ini dipenuhi dengan semangat dan dinamika. 

Malang, 21 June 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun