Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Krisis TKI, Perusahaan Jasa TKI Makan Apa?

20 Juni 2020   08:06 Diperbarui: 20 Juni 2020   10:17 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Hardy, 2016. Personal Collection 

Di kompleks perumahan kami, rumah paling ujung, penghuninya bekerja di Irak, seorang insinyur minyak. Biasanya dua bulan sekali pulang. 

Tapi dalam tiga bulan terakhir ini tidak nampak. Besar kemungkinan karena pandemi corona ini. Dampaknya memang luar biasa. 

Bukan hanya liburan para pekerja migran. Sistem kerja pun, pekan lalu saya ikuti sebuah seminar online terkait pekerja lepas pantai di Qatar, yang biasanya terjadi pergantian shift dua minggu sekali, diubah menjadi 4 minggu. Tidak sedikit yang mengeluh, imbasnya juga pada besarnya upah.

Tahun 2018 lalu, remittance BRI dari TKI mencapai Rp 153.6 Trilliun (Katadata). Devisa negara yang diperoleh dari pekerja migran kita sejumlah 4.3 juta, sekitar 8.7% dari jumlah APBN kita tahun 2020. Rata-rata per bulan mencapai Rp 38 Trilyun (CNBC, 2019). Sebuah jumlah yang cukup besar, yang juga kena hantaman.

Menurut Kepala Balai Pelayanan Penempatan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BNP3MI) Yogyakarta, Suparjo, ada 53 negara tujuan pekerja migran Indonesia. 

Yang terbanyak di Korea Selatan dan Malaysia. Eropa, Amerika, Australia, dan Timur Tengah merupakan beberapa wilayah negara tujuan Pekerja Migran Indonesia (PMI). 

Korea Selatan banyak diminati karena gajinya tinggi. Para pekerja migran ini bekerja di sektor manufaktur pabrikan. Mayoritas lulusan SMA/SMK. Kini tidak lagi lancar prosesnya. Sebanyak 38.000 PMI diprediksi akan pulang ke Indonesia akibat corona ini (Kompas, Mei, 2020). 

Sementara puluhan ribu yang gagal berangkat. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah memulangkan 433 calon PMI yang gagal berangkat karena pandemi ini di lokasi penampungan perusahaan penyalur buruh migran di Bekasi 17 April 2020 lalu. 

Penghentian penempatan ini terjadi di 209 negara, termasuk penempatan di Malaysia, Singapore, Taiwan, Hongkong, Korea, Saudi Arabia, dan lain-lain.

Karyawan yang bekerja pada perusahaan jasa penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) tulang punggung ekonominya bertumpu pada bisnis ini. Terdaftar ada 444 perusahaan P3MI per Juni 2019 (BNP2PMI). 

Lantaran Covid-19 ini, aktivitasnya terancam gulung tikar sementara dan mereka belum tahu kapan mulai aktif lagi. Setidaknya selama 3 bulan terakhir, mandeg kegiatannya. 

Mereka nyaris tidak memiliki aktivitas sama sekali, mulai dari pemasangan iklan, seleksi, interview, medical, pengurusan visa, hubungan dengan kantor kedutaan di Jakarta yang semuanya tutup, hingga persiapan pembekalan. 

Karyawan mereka juga dirumahkan. Padahal kebutuhan hidup jalan terus. Bayar sekolah, pajak, makan, air, listrik hingga sabun cuci.

Bisnis afiliasinya juga terhenti. Misalnya yang terkait pelatihan bahasa, tutor-tutor pengajar, dan tentu saja para calon PMI yang sudah meninggalkan kampung halaman mereka.

Bagi yang tidak paham tentang perusahaan-perusahaan PMI ini, sekilas kita menyangka penghasilan mereka sangat besar. Sejatinya tidak demikian. Apalagi di era sekarang ini, di mana ada KPK. 

Terkait pembayaran atau fee tidak lagi seperti zaman Orde Baru. Dulu, ribuan jumlah PJTKI yang beroperasi, omsetnya milliaran.

Saya dengar dari ekspor PRT, PJTKI bisa jaya. Eksport PRT adalah yang paling menguntungkan. Sekarang ini, PRT nyaris zero. Ada pembatasan yang sangat ketat. Sehingga perolehan keuntungan dari sector ini boleh disebut tidak ada.

Memang, ada beberapa perusahaan yang memiliki kerja sampingan dengan memberikan pelatihan kepada calon PMI, berupa misalnya pembekalan bahasa Jepang, Korea, Inggris, Jerman dan lain-lain. Yang ini pun sekarang terhenti.

Jika dirata-rata setiap perusahaan jasa TKI memiliki 10 orang karyawan, sedikitnya 444 x 10 = 4.440 orang yang mengalami kesulitan hidup dalam tiga bulan terakhir. Padahal, pekerjaan utama mereka umumnya melulu hanya itu. Dari pagi kadang hingga malam hari, ngurusi rekrutmen. Kasihan memang.....

Saya tahu karena pernah bergaul dengan mereka, dari beberapa perusahaan selama sekian bulan. Dari mulai persiapan hingga pemberangkatan calon PMI. Saya sempat dapat curhat, mengetahui rincian pembiayaan. 

Saya diberitahu "rahasia" perusahaan. Misalnya mana pekerja sektor yang menguntungkan dan profesional mana yang seret, sedikit keuntungannya.

Contoh konkritnya adalah seperti tetangga kami yang saya sebut di atas. Merekrut insinyur atau tenaga teknik, khususnya oil and gas, sangat menguntungkan. Tidak ribet, profitnya besar. 

Tidak berbelit dalam artian birokrasinya. Calon PMI-nya juga tidak butuh motivasi. Tidak pula butuh persiapan seperti bahasa, sertifikat profesi dan sejenisnya yang merepotkan.

Beda halnya dengan profesi perawat. Ini yang katanya paling ribet, ruwet, birokrasinya panjang, keuntungan sedikit. Merekrut perawat, kata Pak Luthfi dan Pak Arief, keduanya senior yang malang melintang di bisnis ini, tergolong sulit.

Syarat merekrutnya bertele-tele. Kandidatnya susah carinya. Kalaupun ada, kompetensinya belum tentu sesuai. Belum lagi fee-nya. 

Perawat kita rata-rata susah diajak ke luar negeri, meski di negeri sendiri sulit cari kerja. Mereka juga enggan diminta untuk membayar fee yang sebetulnya tidak seberapa besarannya.

Maklumlah, merekrut perawat untuk kepentingan rumah sakit atau klinik tidak sama dengan industri pertambangan yang kaya. Kerja di tambang atau minyak, rata-rata tidak ditarik biaya. 

Semua free dari pihak employer. Sedangkan di RS atau klinik swasta, tidak demikian. Tidak sedikit yang tiket saja, disuruh keluar biaya sendiri. Akibatnya, beban tambah berat bagi calon PMI.

Oleh sebab itu, pendapatan perusahaan PMI, tidak sebesar yang kita duga, terutama karyawannya. Di era corona ini mereka sangat terpukul kondisi ekonominya.  

Di sinilah pentingnya memiliki keterampilan ganda yang mempunyai nilai jual. Bukan hanya untuk perusahaan jasa TKI saja. Untuk semuanya. Agar ke depan, kita punya cadangan. 

Jika tidak bisa menjual keju, jual singkong. Begitu ibaratnya. Selain, kita diharapkan pegang bisnis utama, masih punya 'bisnis sampingan'. 

Maklumlah, di Indonesia ini banyak sekali hal-hal yang sulit diduga terjadinya. Apalagi jika status kita sebagai pekerja dengan status kontrak.

Kalau sekadar makan sehari-hari sih, mungkin masih bisa. Namun kebutuhan hidup kan tidak hanya makan?

Malang, 20 June 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun