Contoh konkritnya adalah seperti tetangga kami yang saya sebut di atas. Merekrut insinyur atau tenaga teknik, khususnya oil and gas, sangat menguntungkan. Tidak ribet, profitnya besar.Â
Tidak berbelit dalam artian birokrasinya. Calon PMI-nya juga tidak butuh motivasi. Tidak pula butuh persiapan seperti bahasa, sertifikat profesi dan sejenisnya yang merepotkan.
Beda halnya dengan profesi perawat. Ini yang katanya paling ribet, ruwet, birokrasinya panjang, keuntungan sedikit. Merekrut perawat, kata Pak Luthfi dan Pak Arief, keduanya senior yang malang melintang di bisnis ini, tergolong sulit.
Syarat merekrutnya bertele-tele. Kandidatnya susah carinya. Kalaupun ada, kompetensinya belum tentu sesuai. Belum lagi fee-nya.Â
Perawat kita rata-rata susah diajak ke luar negeri, meski di negeri sendiri sulit cari kerja. Mereka juga enggan diminta untuk membayar fee yang sebetulnya tidak seberapa besarannya.
Maklumlah, merekrut perawat untuk kepentingan rumah sakit atau klinik tidak sama dengan industri pertambangan yang kaya. Kerja di tambang atau minyak, rata-rata tidak ditarik biaya.Â
Semua free dari pihak employer. Sedangkan di RS atau klinik swasta, tidak demikian. Tidak sedikit yang tiket saja, disuruh keluar biaya sendiri. Akibatnya, beban tambah berat bagi calon PMI.
Oleh sebab itu, pendapatan perusahaan PMI, tidak sebesar yang kita duga, terutama karyawannya. Di era corona ini mereka sangat terpukul kondisi ekonominya. Â
Di sinilah pentingnya memiliki keterampilan ganda yang mempunyai nilai jual. Bukan hanya untuk perusahaan jasa TKI saja. Untuk semuanya. Agar ke depan, kita punya cadangan.Â
Jika tidak bisa menjual keju, jual singkong. Begitu ibaratnya. Selain, kita diharapkan pegang bisnis utama, masih punya 'bisnis sampingan'.Â
Maklumlah, di Indonesia ini banyak sekali hal-hal yang sulit diduga terjadinya. Apalagi jika status kita sebagai pekerja dengan status kontrak.