Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampus Keperawatan Terbaik di Era Corona

19 Juni 2020   16:00 Diperbarui: 19 Juni 2020   16:02 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat sebelum kuliah. Masuk kampus negeri, merupakan kebanggan tersendiri. Tempat kumpulnya anak-anak pintar, kuliah lebih murah, disiplin, lulus jadi pejabat atau orang terkenal. Rata-rata senior yang duduk di DPR/MPR, menduduki posisi Menteri Negera, Kepala BUMN dan kantor-kantor penting lainnya adalah jebolan kampus negeri.

Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi pergeseran nilai kampus negeri dan swasta. Jadi orang sukses tidak harus dikampus terkenal atau jadi juara dengan IP Cum Laude. Saya ikuti perkembangan dunia modern dengan melihat kiprah orang-orang yang berhasil seperti Jack Ma, Gabe Newell, Jack Dorsey, Sean Parker, Steven Speilberg, Ralf Lauren, Michael Dell, Mark Zuckerberg, Bill Gates, adalah sederetan orang-orang yang kuliahnya tidak tamat (Cermati.com). 

Orang terkaya di dunia 32 tidak lulus kuliahnya (Inews. 2019). Sebanyak 20 orang miliarder dunia merupakan pebisnis sukses (Tempo, 2019). Bahkan 5 orang terkaya di dunia ternyata tidak lulus SMA (merdeka.com., 2019).

Dari sana saya kemudian berfikir, bahwa ada yang salah dengan pola fikir kita. Kalau begitu, kalau hanya mencari uang tujuan hidup ini, tidak perlu kuliah. Yang terakhir saya sebut ini, saya tidak ingin. Bagaimanapun, Nabi Muhammad Rasulullah SAW menasihatkan, bahwa mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim (HR-Imam Al Baihaqi). Makanya, saya kuliah.

Saya kuliah di sebuah kampus swasta di Banda Aceh. Jujur saja, pilihan pertama dulu masuk kampus negeri, tapi tidak diterima. Awalnya menyesal. Lama-lama biasa. Kami sudah terbiasa untuk mengambil hikmah dari setiap kejadian. Yang penting belajar rajin, disiplin kuliah. 

Soal masa depan, saya yakin tidak akan mengkhianati kerja keras. Kuliah jalan terus, Alhamdulillah lancar. Saya bisa menggondol predikat lulusan terbaik. Alhamdulillah.

Sesudah wisuda, saya melihat kesulitan hidup jauh lebih kompleks daripada kuliah. Kadang saya ditanya lulusan apa, kampus mana dan di mana asalnya. Itu kalau wawancara dengan orang Indonesia. Namun ketika bergaul dengan orang asing, Belanda, Jerman, Kuwait, Arab Saudi, India dan Jepang, saya tidak pernah ditanya lulusan apa dan dari kampus mana. 

Itu artinya, nama kampus sebetulnya bukan menjadi pertimbangan utama dalam pergaulan dunia. Walaupun ada yang disebut dengan the Best University in the World menurut berbagai versi.  

Universitas Indonesia menduduki ranking ke-57, Airlangga ke-199, Padjadjaran ke-255, Brawijaya di atas urutan ke-301(Top Universities.com, 2019). Kriterianya mencakup: academic reputation, employer reputation, faculty/student ratio, citation per faculty, international faculty ratio dan international student ratio (Top University Ranking, 2021). 

Di tingkat ASEAN dari 15 universitas terbaik, Universitas Indonesia berada di urutan ke-9, UGM ke-12, dan ITB ke-13 (seasia, 2019). Urutan pertama tingkat ASEAN adalah Nanyang Technological University (Singapore), dan yang ke-2 juga Singapore, National University. Posisi ke 4,5,6,7 digondol oleh Malaysia. Urutan ke-8 milik Thailand, Chulalongkorn.

Bagaimana dengan kampus keperawatan di era pandemic Corona saat ini, di mana semua nyaris dilakukan online?

Kita semua tahu, di era New Normal ini, protokolnya meliputi: cuci tangan, gunakan masker, jaga jarak dan hindari kerumunan. Semua kriteria yang disebut dalam the Best Campus on Earth tidak berlaku. Gedung, seberapa megahpun tidak disinggung. Professor, seberapa pintarpun juga tidak disebut. Alat, seberapa canggih pun tidak pula. 

Intinya, semua bentuk perkuliahan tatap muka langsung, berhenti. Semuanya harus online. Yang penting ada HP, internet serta pulsa.

Laboratorium canggih tidak berlaku. Perspustakaan lengkap juga tidak digunakan. Buku-buku tidak disentuh. Semuanya serba online. Daftar ulang, kuliah, ujian tengah semester, ujian akhir, pelatihan hingga wisuda, semuanya online. Jadi, apa yang dibanggakan dengan nama besar kampus?

Apa kampus yang mahasiswanya paling banyak cuci tangan adalah yang terbaik? Apa yang koleksi maskernya terbanyak yang the best? Apa yang jaga jaraknya paling jauh? Atau yang paling sedikit kasus Corona nya?

Saya pernah kenal dengan seorang perawat lulusan Akper Semarang, yang saat ini sukses di Texas Amerika Serikat. Kini mas Arif namanya, sedang ambil S2, sudah lebih dari 15 tahun di USA. Ada lagi mas Zaenal di Belanda yang hanya lulus SPK dari Jawa Barat. Ada bang Asep lulusan Akper Tasikmalaya jadi senior staff di Qatar Petroleum. 

Ada juga pak Nurhadi sebagai Lead Nurse Qatar Petroleum yang jebolan Akper Muhammadiyah Semarang. Ada pak Sugy asal Palu yang juga hanya Akper namun bisa terus kuliah di Middle East University di Kuwait. Ada lagi Mas Dharmawan juga lulusan Poltekkes Malang. 

Semua yang saya sebut di atas adalah perawat-perawat sukses yang kuliah di kampus biasa-biasa saja, bukan dari kampus besar sekelas Universitas Indonesia.

Ini merupakan bukti bahwa keberhasilan seseorang lebih bergantung pada perjuangan individu. Bukan nama kampus. Walaupun memang, ada orang-orang yang beruntung seperti Anies Baswedan yang turunan orang kaya, pintar dan punya pengaruh pula. He is very lucky person. Demikian pula Sandiaga Uno. He is also one of the luckiest persons in Indonesia.

Pada prinsipnya, saya lebih percaya pada minat, kemauan dan kerja keras. Forget about the best kampus. Mau lulusan kampus keperawatan mana saja boleh. Asal rajin belajar dan kerja keras, insyaallah cita-cita sedang menunggu. Tidak perlu terlalu panjang antriannya. 

Mau kuliah di Jakarta atau Papua, Aceh atau Atambua, sama saja. Di era online ini, semua mahasiswa dituntut rajin belajar mandiri, gunakan gadget untuk peningkatan kualitas profesi. Bukan untuk main Game sepanjang hari.

Malang, 19 June 2020
Ridha Afzal     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun