Pungguk merindukan bulan artinya mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi/mustahil untuk digapai atau diraihnya. Demikianlah perkiraan saya pribadi sekitar tiga tahun lalu ketika kasus Novel Baswedan pertama kali muncuat.
Boleh dikatakan 90% teman-teman saya memiliki ramalan yang sama. Bahkan yang 10% ekstrim, yakni kasusnya tidak akan selesai alias hingga kadaluwarsa. Kecuali di film-fim Korea. Kasusnya Baswedan akan ditangani serius jika ada dalam film India.
Sedemikian buruk citra Pengadilan pada rakya di negeri ini. Jagankan kepada rakyat kecil. Pada orang-orang gede selevel Novel Baswedan juga segini berakhirnya. Makanya orang sering tidak mau mengangkat kasusnya ke atas, karena keyakian di awal bahwa tidak bakal diselesaikan oleh petugas yang berwenang.
Tapi tidak ada salahnya berharap. Makanya, ketika kasus Baswedan yang mulanya dibuka pada 22 Februari 2018, kemudian diungkap lagi tahun ini, bikin harap-harap cemas.Â
Bagaimanapun benar seperti dugaan banyak orang, termasuk saya dan teman-teman. Karena "Tidak Sengaja" nyiram air keras ke wajah, hukuman jadi ringan. Penyerangnya hanya dituntut 1 tahun penjara.
Melihat beberapa kejanggalan dalam proses pengadilan, orang awam pun bisa berkesimpulan bahwa untuk mencerna hasil keputusan pengadilan, ternyata tidak perlu kecerdasan intelektual.Â
Anak-anak yang tidak sekolahpun ngerti apa artinya 'sengaja' dan 'tidak sengaja'. Makanya, orang-orang pada ramai memanfaatkan momen ini untuk guyonan. Ada yang bilang janggal, ada yang bilang lucu. Â Mulai dari Stand-Up Comedy, hingga banyolan.
Mengapa ini terjadi?
Bukan lagi rahasia umum. Pasti ada unsur kepentingan, begitu komentar mayoritas. Yang penting ada pihak yang diuntungkan, keadilan dinomer-sekiankan. Tidak ada yang peduli. Toh kalau masuk penjara, dijamin hidupnya. Ibaratnya, mengharap keadilan di negeri +62 ini, teramat susah. Keadilan di penjuru dunia memang susah didapat. Kecuali dalam sejarah Islam.
Sosok Umar bin Khattab (RA) dan Umar bin Abdul Aziz adalah contohnya. Keduanya merupakan Great Leader yang dikenal besar karena sikap adilnya. Umar bin Khatab (RA), sahabat Rasulullah Muhammad SAW, Khalifa kedua sesudah Abu Bakar (RA). Beliau berwatak keras, pemberani sangat cerdas tapi berhati lembut.Â
Beliau merupakan sosok pemimpin langka yang suka ronda malam. Memeriksa rakyatnya yang kelaparan, terdzalimi, butuh bantuan atau yang punya derita, yang mesti beliau selesaikan sebagai pemimpin negara.
Pernah pada suatu hari beliau memanggul sendiri sebuah karung, bahan makanan yang diambil dari Baitul Mal untuk diberikan kepada seorang janda. Janda tersebut sedang memasak batu untuk menghibur anak-anaknya yang sedang kelaparan, karena tidak punya apa-apa untuk dimakan. Umar datang, kemudian membantu memasak makanan untuk mereka pada malam itu.
Adakah pak Lurah, Camat, Bupati, Gubernur dan Presiden kita yang seperti Umar (RA)?
Namun Umar (RA) juga sangat disiplin mengontrol kerja staff nya. Terutama kekayaan mereka. Umar (RA) pernah memukul Abu Hurairah yang bertambah kaya setelah Umar menunjuknya sebagai Guberur. Padahal Abu Hurairah mendapatkan uang tersebut secara halal.Â
Umar bin Khattab yang saat itu sudah menguasai 1/3 bumi sebagai pemimpin besar, pakaiannya nampak seperti orang paling miskin di negerinya. Sungguh sulit ditiru sikap adilnya. Bahkan anak-anaknya berpakaian seperti orang melarat padahal saat Idul Fitri.
Pemimpin kedua yang juga terkenal adil dalam sejarah Islam adalah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang berkuasa dari tahun 717-720. Terkenal sebagai sebutan Umar II. Beliau mengharamkan diri dan keluarganya untuk memakai fasilitas negara.Â
Suatu hari anaknya datang menemuinya ketika dia sedang memeriksa sesuatu di ruang kerjanya. Umar bertanya,: "Pembicaraan untuk kaum muslimin atau urusan pribadi?" Ketika anaknya menjawab urusan pribadi, Umar memadamkan lampu ruangannya. Umar mengatakan bahwa lampu tersebut minyaknya berasal dari uang negara.
Sedemikian besar kepedulia beliau terhadap harga sebuah keadilan, sehingga tiada bandingnya dalam sejarah manusia moderen. Â
Membandingkan penanganan kasus Novel Baswedan dengan kasus-kasus yang terjadi pada zaman Khalifah Umar bn Khattab kayaknya memang tidak pas. Munghukum itu mudah, tetapi memberi keadilan iu sulit.Â
Ketika keadilan tidak tegak, pertanda bahwa bangsa sedang berada di ambang kehancuran. Forum Keadilan di negeri masih ini dianggap sebagai 'jual beli perkara'. Sedih memang. Namun itulah kenyataannya. Â
Tegaknya keadilan sepertinya hanya ada dalam dongeng dan buku sejarah. Novel Baswedan adalah contoh korban. Sebagai warna negara yang berhak mendapatkan keadailan seadil-adilnya. Bukan seperti pungguk yang merindukan bulan.
Malang, 14 June 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H